Yusril: Kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 Telah Diputus MK, MA Tak Punya Wewenang

MA mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 3 Ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019 terkait pilpres yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 08 Jul 2020, 09:51 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2020, 09:51 WIB
Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra
Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra (Liputan6/Lizsa Egeham)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 3 Ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019 terkait pilpres yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri.

Ahli hukum tata negara yang juga kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan MA tersebut tidak menyinggung kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Terlebih, MA tidak berwenang mengadili sengketa pilpres.

"Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019. Menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya. MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat," kata Yusril dalam keterangan yang diterima, Jakarta, Rabu (8/7/2020).

Menurut dia, KPU dalam menetapkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf, sudah merujuk pada putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno.

"Lagipula putusan uji materil itu diambil oleh MA pada 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiai Ma'ruf dilantik oleh MPR. Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang," tegas Yusril.

Dia menilai aturan pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal paslon capres dan cawapres hanya dua pasangan.

"Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri," jelas Yusril.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ada Kekhawatiran

Menurut Yusril, kalau pasangan calon hanya 2 dan harus diulang-ulang terus agar memenuhi syarat kemenangan berdasarkan sebaran wilayah, maka pilpres tidak jelas kapan akan berakhir. Sementara masa jabatan Presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR.

Jika hal tersebut terjadi, maka akan ada kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini.

"Karena itu, kalau paslon pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tatanegara adalah pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya," kata Yusril.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya