Jaksa Pinangki Didakwa Terima Suap, Pencucian Uang, hingga Permufakatan Jahat

Jaksa Pinangki sebenarnya diminta memberikan USD 100 ribu kepada Anita Kolopaking, namun nyatanya hanya diberikan USD 50 ribu saja.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 23 Sep 2020, 15:01 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2020, 14:56 WIB
Jaksa Pinangki Jalani Sidang Dakwaan
Tersangka dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang terkait kepengurusan fatwa untuk Djoko Tjandra di Mahkamah Agung, Pinangki Sirna Malasari saat menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9/2020). Sidang beragenda pembacaan dakwaan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan dakwaan berlapis. Dia didakwa menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat.

"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).

Uang tersebut diperoleh jaksa Pinangki dari suap pengurusan mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk Djoko Tjandra. Hal itu agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Awalnya, jaksa Pinangki bertemu dengan Anita Kolopaking dan Rahmat. JPU menyebut Anita merupakan pengacara, sementara identitas Rahmat tidak disampaikan.

Jaksa Pinangki meminta Rahmat memperkenalkannya dengan Djoko Tjandra yang pada akhirnya bermaksud memberikan bantuan pengurusan hukum dan penanganan fatwa MA. Anita Kolopaking pun ikut andil dengan mengaku memiliki rekanan di MA.

"Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Djoko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut," ujar jaksa.

Pertemuan pun dilakukan di The Exchange 106, Kuala Lumpur Malaysia. Jaksa Pinangki awalnya menawarkan proposal action plan pengurusan fatwa MA dengan biaya USD 100 juta. Namun Djoko Tjandra hanya menyanggupi USD 10 juta.

Uang muka sebesar USD 500 ribu pun diberikan ke jaksa Pinangki melalui almarhum Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik ipar Djoko Tjandra dengan perantara Andi Irfan Jaya.

"Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal Djoko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu sehingga Djoko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan," kata jaksa.

Jaksa Pinangki yang telah menerima uang USD 500 ribu dari Djoko Tjandra melalui Andi Irfan Jaya, sebenarnya diminta memberikan USD 100 ribu kepada Anita Kolopaking. Namun nyatanya hanya diberikan USD 50 ribu saja.

"Sehingga terdakwa menguasai USD 450 ribu atau setidak-tidaknya sekitar sejumlah itu supaya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku PNS atau penyelenggara negara yaitu sebagai jaksa," ujar jaksa.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dakwaan Berlapis Jaksa

Pada kurun waktu 2019-2020, jaksa Pinangki berupaya menyembunyikan asal harta kekayaannya lewat penukaran uang sebesar USD 337.600 di money changer atau senilai Rp 4,7 miliar. Dia juga meminta suaminya menukarkan mata uang USD 10 ribu atau senilai Rp 147,1 juta melalui anak buahnya.

Nilai total keseluruhan penukaran mata uang yang dilakukan terdakwa pada periode 27 November 2019 hingga 7 Juli 2020 sebesar USD 337.600, menjadi mata uang rupiah sebesar Rp 4.753.829.000.

Penggunaannya adalah untuk pembelian 1 unit mobil BMW X5 senilai Rp 1,7 miliar, pembayaran sewa Apartemen Trump International di Amerika Serikat pada 3 Desember sebesar Rp 412,7 juta, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat yang bernama dokter Adam R Kohler sebesar Rp 419,4 juta.

Kemudian pembayaran dokter home care atas nama dr Olivia Santoso untuk perawatan kesehatan dan kecantikan serta rapid test sebesar Rp 176,8 juta; pembayaran kartu kredit di berbagai bank, Rp 467 juta, Rp 185 juta, Rp 483,5 juta, Rp 950 juta; pembayaran sewa apartemen The Pakubuwono Signature dari Februari 2020-Februari 2021 sebesar USD 68.900 atau setara Rp 940,2 juta; dan pembayaran Sewa Apartemen Darmawangsa Essence senilai USD 38.400 atau setara Rp 525,2 juta.

"Maka jumlah keseluruhan uang yang digunakan oleh terdakwa adalah sebesar USD 444.900 atau setara Rp 6.219.380.900 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi," sebut jaksa.

Dari situ, JPU mendakwa jaksa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 11 UU Tipikor, juga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang.

Jaksa Pinangki juga didakwa terkait permufakatan jahat pada Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Tipikor.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya