Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada Ketua KPK, Firli Bahuri. Menurut ICW, tindakan Firli menggunakan helikopter seharusnya dijatuhi sanksi berat.
"Mengingat secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya, Kamis (24/9/2020).
ICW memberikan lima catatan atas putusan Dewan Pengawas KPK yang menjatuhkan sanksi ringan kepada Firli. Pertama, sikap Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan sangat tidak masuk akal.
Advertisement
Kurnia mengatakan sebagai Ketua KPK, semestinya Firli memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Namun, sikap Firli justru tidak menggambarkan sosok pemimpin dari lembaga antirasuah.
"Tindakan Firli itu juga berseberangan dengan nilai Integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana," ucap dia.
Kedua, ICW menyebut Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan. ICW menuturkan Firli pernah dijatuhkan sanksi pelanggaran berat oleh KPK atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara.
"Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," kata Kurnia.
Ketiga, Kurnia menilai Dewan Pengawas mengabaikan tindakan Firli sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan. Mulai dari, tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan hingga pengembalian penyidik KPK Kompol Rossa Purbo Bekti.
"Pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif," tutur dia.
Keempat, putusan Dewan Pengawas terhadap Firli Bahuri dinilai tidak akan mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.
"Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan," pungkas Kurnia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dalami Potensi Gratifikasi
Kelima, Dewan Pengawas seharusnya mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut. Dalam putusannya, Dewan Pengawas hanya menyatakan bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana.
"Terlepas dari putusan sanksi ringan yang mengecewakan tersebut, ICW menilai pelanggaran kode etik yang terbukti dilakukan Firli sudah lebih dari cukup untuk dirinya mengundurkan diri. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar," jelas Kurnia.
Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK memutuskan Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik terkait gaya hidup mewah karena menggunakan helikopter pada saat bepergian ke Baturaja, Sumatera Selatan. Firli dinyatakan melanggar Pasal 4 ayat 1 huruf n dan pasal 8 ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020, sanksi teguran tertulis dua berlaku selama 6 bulan. Selama 6 bulan, Firli tidak bisa mengikuti program promosi, mutasi, rotasi maupun pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam maupun luar negeri.
Advertisement