Warga Takut Berpendapat, ICJR Sebut Jadi Tamparan untuk Pemerintah

Tindakan represif aparat terlihat saat aksi penolakkan Omnibus Law Cipta Kerja pada Oktober lalu dimana pihak kepolisian melakukan penggunaan kekuatan secara berlebihan.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 27 Okt 2020, 15:39 WIB
Diterbitkan 27 Okt 2020, 15:39 WIB
20160929-Demo-Buruh-Jakarta-FF
Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Survei Lembaga Indikator Politik Indonesia menilai 76,6 persen warga makin takut menyuarakan pendapat. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai hasil survei ini akibat dari aparat yang bersikap represif. Hal ini seharusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia. ICJR pun mencatat bahwa aparat memang sering bertindak represif saat masyarakat menyatakan pendapat.

"Dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, aparat sering bertindak represif dengan tidak mengindahkan batasan kewenangan yang diatur dalam UU dan melanggar hak asasi manusia yang fundamental," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dikutip dari siaran pers, Selasa (27/10/2020).

Menurut dia, tindakan represif aparat terlihat saat aksi penolakkan Omnibus Law Cipta Kerja pada Oktober lalu dimana pihak kepolisian melakukan penggunaan kekuatan secara berlebihan. Selain itu, polisi juga dinilai melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum.

"Diketahui juga aparat melakukan tindakan berlebihan terhadap warga, polisi melakukan penggeledahan, penyitaan dan pengaksesan tanpa dasar terhadap telepon genggam," kata dia.

ICJR juga mendapat laporan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bahwa sebanyak 56 jurnalis menjadi korban kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa. AJI Indonesia turut melaporkan jurnalis yang menjadi korban kekerasan sulit untuk mendapatkan keadilan.

"Hal ini perlu menjadi sorotan bagi Pemerintah dan DPR untuk mempercepat langkah untuk perbaikan substansial hukum acara pidana di Indonesia," ucapnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pengawasan Ketat Terhadap Aparat

Dia meminta agar Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR, menjamin adanya pengetatan pengawasan. Kemudian, membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan dan penuntutan.

Erasmus turut meminta agar dilakukan melakukan pengawasan yang ketat terhadap aparat penegak hukum. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang berasaskan demokrasi pancasila dsn menjunjung perlindungan hak asasi manusia.

"Salah satunya dengan mempercepat reformasi subtansial hukum acara pidana lewat pembaruan KUHAP dan memperbaiki hukum pidana materil yang memuat pasal karet, yang utama UU ITE yang terus memakan korban, dan menghadirkan ketakutan di masyarakat," jelasnya.

Pemerintah dan DPR juga diminta melakukan reformasi di tubuh aparat penegak hukum. Khususnya, penggunaan pasal-pasal pidana.

"Seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu dengan tujuan membungkam ekspresi yang sah," ucap Erasmus.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya