Resmi Jadi UU, Berikut Perjalanan Omnibus Law Cipta Kerja yang Penuh Pro Kontra

Presiden Jokowi menandatangani Cipta Kerja. Omnibus Law itu resmi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 di tengah penolakan dari buruh dan mahasiswa.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 03 Nov 2020, 10:23 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2020, 10:23 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Cipta Kerja. Omnibus Law itu resmi menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 di tengah penolakan dari buruh dan mahasiswa.

Munculnya RUU Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Rancangan UU ini diungkapkan pertama kali oleh Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya di Sidang Paripurna MPR RI pada 20 Oktober 2019. Pada pidatonya, dia mengatakan segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan.

Pemerintah, lanjut dia, akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.

"Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang undang, bahkan puluhan undang-undang," kata Jokowi saat itu.

Rencana Jokowi terkait Omnibus Law itu berjalan mulus sejak dicetuskan. Bak gayung bersambut, program itu ditindaklanjuti dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.

Pada Sidang Paripurna DPR RI 17 Desember 2019, DPR RI menetapkan 248 RUU prioritas, 3 RUU di antaranya merupakan Omnibus Law, yaitu RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Sejak awal, Jokowi ingin pembahasan RUU ini untuk dikebut. Meski drat RUU belum resmi diserahkan ke DPR untuk dibahas, Jokowi sudah meminta DPR agar mengebut pembahasan yakni selama 100 hari.

"Kita sudah sampaikan ke DPR, mohon ini bisa diselesaikan maksimal 100 hari. Saya angkat jempol saya, dua jempol kalau DPR bisa menyelesaikan ini 100 hari," ujar Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) di Ritz-Charlton Hotel, Jakarta, Kamis 16 Januari 2020.

Pemerintah sendiri baru menyerahkan draf ke pimpinan DPR pada 12 Februari 2020. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan RUU yang diserahkan itu bernama Cipta kerja atau Ciker, bukan Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka.

"Ciker singkatannya bukan Cilaka," kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (12/2/2020).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dibahas Kurang dari 6 Bulan

FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) memberikan pandangan akhir pemerintah mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Permintaan Jokowi pun dipenuhi oleh legislator. DPR kebut pembahasan RUU Cipta Kerja. Wakil rakyat ini pun masih bekerja untuk membahasnya saat reses.

Pembahasan tak hanya dilakukan di DPR. Mereka juga membahasnya di hotel-hotel.

Enam bulan lamanya, mereka membahas RUU tersebut. Akhirnya, Sabtu 3 Oktober 2020 tengah malam, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah sepakat membawa omnibus law itu ke pembicaraan tingkat dua atau rapat paripurna DPR.

Ketua Badan Legislasi atau Panitia Kerja (PANJA) DPR RI, Supratman Andi Agtas memimpin rapat tersebut.

"Sejak tanggal 14 April 2020, PANJA telah membahas RUU Cipta Kerja dengan Pemerintah. Pembahasan diawali dengan mengundang berbagai narasumber terkait dan membahas pasal-demi-pasal secara detail, intensif, dan dengan mengedepankan prinsip musyawarah untuk mufakat," ucap Supratman dikutip dari Laporan Ketua Panja yang diterima, Minggu (4/10/2020).

"Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan undang-undang, PANJA berpendapat bahwa RUU tentang Cipta Kerja dapat dilanjutkan pembahasannya dalam Pembicaraan Tingkat II yakni pengambilan keputusan agar RUU tentang Cipta Kerja ditetapkan sebagai undang-undang," tambah dia.

 

Sepakat Disahkan

FOTO: Diwarnai Aksi Walk Out, DPR Sahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pengesahan draf RUU Cipta Kerja pada awalnya ditargetkan dilakukan pada 8 Oktober 2020. Namun, DPR sepakat mempercepatnya menjadi 5 Oktober 2020.

Wakil Ketua Baleg Ahmad Baidowi menyebut, paripurna dipercepat lantaran banyaknya kasus Covid-19 di DPR.

5 Oktober 2020 malam hari, DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang. Kesepakatan tersebut dicapai dalam sidang pripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU Cipta Kerja.

Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari sembilan fraksi, enam di antaranya menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan dua di antaranya menolak.

"Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!" kata dia sembari mengetok palu dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Tujuh fraksi yang telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.

 

 

Penolakan dari Masyarakat

Buruh Gelar Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Massa buruh dengan berbagai atribut melakukan unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di area Patung Kuda, Jakarta, Rabu (28/10/2020). Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, mereka menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu guna membatalkan UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tahu soal kesepakatan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja itu, buruh dan mahasiswa bergerak, turun ke jalan. Mereka berdemo di sekitar gedung DPR dan Istana Merdeka.

Sebanyak 32 federasi dan konfederasi serikat buruh bergabung dalam unjuk rasa serempak nasional pada 6-8 Oktober 2020 yang diberi nama mogok nasional setelah RUU Cipta Kerja sepakat untuk disahkan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebut mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

Dia menyebut, mogok nasional ini akan diikuti 2 juta buruh yang meliputi pekerja dari sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, dan perbankan.

Penolakan UU Cipta Kerja itu disampaikan berbagai elemen rakyat di berbagai daerah di Indonesia dengan turun ke jalan, Kamis 8 Oktober 2020.

Sayangnya, demo yang dilakukan mahasiswa di Jakarta yang semula damai berujung anarkistis. Ada massa lain yang memicu kericuhan tersebut. 

Di Ibu Kota, demonstrasi yang digelar di Harmoni, Jakarta Pusat, diwarnai kericuhan. Massa dengan polisi terlibat bentrok. Petugas kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa.

Tak hanya di Jakarta, kericuhan juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Sejumlah fasilitas publik seperti tempat sampah, pot bunga di jalan sekitar kawasan Balai Pemuda dirusak dan dibakar oleh massa pengunjuk rasa tolak UU Cipta Kerja.

Penolakan juga disampaikan berbagai ormas seperti Muhammadiyah dan NU. Namun, pemerintah dan DPR bergeming....

Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud Md akhirnya angkat bicara mengenai demo penolakan RUU Cipta Kerja yang berujung ricuh di berbagai daerah pada Kamis (8/10/2020),

Mahfud mengklaim RUU tersebut adalah respons dari kebutuhan masyarakat terutama buruh.

"Undang-undang itu dibuat untuk merespons keluhan masyarkat buruh bahwa pemerintah itu lamban dalam menangani proses perizinan berusaha. Oleh sebab itu dibuat Undang-Undang yang sudah dibahas lama," kata Mahfud dalam konpers virtual, Kamis (8/10/2020),Mahfud menyebut beredar hoaks yang menyebut berisi RUU Cipta Kerja, diantaranya penghapusan pesangon dan cuti.

Draf Berubah-ubah

 

Meski pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja pada rapat paripurna DPR pada Senin 5 Oktober 2020, draf final dari Omnibus Law itu tak jelas. DPR tak kunjung menunjukkan draf yang diklaim asli. Pada sisi lain, mereka menyebut draf yang beredar di masyarakat bukan yang final.

"Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan. Oleh karena itu, kalau ada pihak-pihak menyampaikan melalui pandangan lama, pastinya akan beda dengan yang final," kata Anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (7/10/2020).

Firman menyebut, draf yang beredar kurang akurat. Dia mengambil contoh seperti cuti haid, cuti kematian yang disebut hilang, padahal tidak.

"Itu (cuti) masih ada semua, lalu upah minimum ada semua, kemudian outsorching ada pembatasannyac kemudian pesangon itu ada semua. Khusus pesangon itu memang awalnya sesuai UU 13 itu kan ada sebanyak 32 kali tetapi 32 kali itu yang mampu melaksanakan itu hanya 7 persen perusahaan," tutur dia.

Setelah melalui pengeditan dan perubahan berkali-kali jumlah halaman, DPR RI akhirnya selesai melakukan edit terhadap draf RUU Cipta Kerja. Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin menyatakan, RUU 812 halaman siap dikirim ke Presiden untuk disahkan.

Jumlah halaman RUU tersebut berbeda dengan yang dikatakan Sekjen DPR pada 12 Oktober yakni 1.035 halaman. Azis menyebut meski ada perbedaan jumlah, substansi RUU tidak berubah.

"Substansi clear tidak ada yang berubah, saya jamin itu," kata Azis di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (13/10/2020).

Azis membantah kabar adanya penyusupan pasal saat proses editing pasca paripurna. Ia bahkan mempersilakan apabila ada anggota Dewan yang meragukan untuk mengecek rekaman saat RUU digodok.

Politikus Golkar itu menyebut, koreksi terhadap RUU yang sudah disahkan sejak 5 Oktober itu bukanlah hal yang dilarang untuk dilakukan.

"Perlu diketahui bahwa apabila ada hal-hal kekeliruan dalam teknis dan redaksional, maka secretariat negara masih dimungkinkan untuk mengoreksi namun dengan persetujuan dan klarifikasi dari DPR," ucap Azis.

Jumlah halaman RUU yang telah diedit kini 812 halaman. Azis menyebut berkurangnya jumlah halaman lantaran adanya perbedaan kertas dalam penyusunan RUU antara Baleg dan Sekjen.

Kini, setelah menjadi UU, halaman Omnibus Law kembali berubah. Salinan UU Cipta Kerja sudah bisa diakses oleh masyarakat melalui situs jdih.setneg.go.id. Naskah UU tersebut terdiri dari 1.187 halaman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya