UU Kekarantinaan Dinilai Tak Bisa Dijadikan Acuan Pemecatan Kepala Daerah

Jerry memandang, ada aspek psikologis dari kepala daerah yang coba mengatur adanya kerumunan massa.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 20 Nov 2020, 09:06 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2020, 09:06 WIB
mendagri
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat politik dari Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie, menyoal ancaman pemecatan kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito karnavian karena lalai cegah kerumunan masaa saat pandemi Covid-19. 

Menurut Jerry, hal itu tidak gampang, terlebih mereka dipilih oleh masyarakat.

"Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memang pidana berlaku bagi pelanggar aturan tersebut. Tapi kalau pemberhentian kepala daerah barangkali perlu diatur lagi," kata Jerry melalui pesan singkat, Jumat (20/11/2020).

Jerry memandang, ada aspek psikologis dari kepala daerah yang coba mengatur adanya kerumunan massa. Dia meyakini para kepala daerah sudah coba melarang hal tersebut, kendati masifnya massa membuat hal itu sulit dihentikan.

"Contoh sudah dilarang, namun warga tetap datang berkerumun. Nah agak sulit kan untuk menghentikan. Semua tergantung disiplin," nilai dia.

Karenanya, adanya denda untuk membuat jera menjadi pilihan yang dapat diterapkan sebagai faktor sosiologis. 

"Sistem denda seperti yang diterapkan Pemda DKI Jakarta yang memberikan denda Rp 50 juta terhadap Habib Rizieq," jelas Jerry. 

Jerry meyakini, pemecatan yang mencuat terhadap kepala daerah bisa saja sah, jika mereka tersandung kasus korupsi dan pelanggaran moral. Namun, jika disangkut dengan UU Karantina Kesehatan, belum ada ketentuan yang bisa menegaskan pemecatan terhadap si kepala daerah.

"Kepala daerah diberhentikan perlu juga ada aturan yang mengatur, jangan hanya ancaman pemberhentian," singgung Jerry.

Seperti diketahui, dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri; c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Pejabat yang baru; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

"Jadi saya duga bisa Anies Baswedan bisa ke arah pemberhentian tapi secara politis. Apalagi sudah diperiksa pihak kepolisian," dia memungkasi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Instruksi Mendagri

Sebelumnya,  Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Nomor 6 tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Adapun instruksi ini ditujukan kepada gubernur, bupati, atau wali kota pasca terjadinya kerumunan massa beberapa hari lalu.

Setidaknya, ada enam poin dalam instruksi yang diteken Rabu (18/11/2020) hari ini. Dalam poin keempat, Tito mengingatkan bahwa kepala daerah dapat diberhentikan apabila melanggar ketentuan.

"Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, diingatkan kepada kepala daerah tentang kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah," seperti dikutip dari salinan Instruksi Mendagri, Rabu.

Pada diktum keempat, dijelaskan bahwa dalam Pasal 78 UU Pemda, kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Pasal 78 ayat (2) UU Pemda, berdasarkan diktum keempat Instruksi Mendagri, kepala daerah dapat diberhentikan salah satunya jika dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.

Kemudian, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, hingga melakukan perbuatan tercela. Instruksi Mendagri sendiri dibuat sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tentang konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya