Special Content: Prediksi Jakarta Tenggelam, Imbas Konflik Manusia dengan Air

Masalah banjir di ibu kota Jakarta belum juga teratas kendati gubernur telah silih berganti. Lalu, apa yang sudah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?

diperbarui 25 Sep 2021, 00:22 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2021, 13:00 WIB
Ilustrasi banjir DKI Jakarta (Liputan6.com / Triyasni)
Ilustrasi banjir Jakarta (Liputan6.com / Triyasni)

Jakarta - Banjir kembali melanda Jakarta. Kejadian ini berulang setiap tahun dan seakan belum ada solusi untuk mengatasi bencana ini.

Terakhir, pada 20 Februari 2021, banjir menyebabkan 113 wilayah di Jakarta terendam, 3.311 warga terpaksa mesti mengungsi, dan lima orang meninggal dunia. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) memprediksi curah hujan tinggi masih bakal turun di Jakarta sampai akhir Februari 2021.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan karena dianggap gagal menangani permasalahan banjir Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga lalai memberikan peringatan dini bencana banjir.

Gubernur berganti gubernur, persoalan banjir Jakarta tidak juga kunjung teratasi. Padahal, janji-janji mampu mengatasi banjir semasa kampanye gencar diperdengarkan.

Di sisi lain, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) beberapa kali telah mengingatkan tentang potensi Jakarta tenggelam, karena menurunnya kualitas lingkungan. Dalam situs LIPI, Jakarta juga disebut benar-benar harus berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan kerawanan sosial, risiko bencana, krisis, dan perubahan iklim.

Peneliti senior LIPI, Jan Sopaheluwakan, sebelumnya pernah menyatakan, bisa saja sebagian wilayah Ibu Kota tenggelam, jika tidak segera diantisipasi. Menurunnya permukaan tanah Jakarta dan banjir adalah salah dua dari kontribusi tidak terintegrasinya pembangunan Jakarta.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa keprihatinan mengenai berbagai kerusakan di Jakarta sudah menjadi perhatian masyarakat," jelas Jan Sopaheluwakan di situs resmi LIPI.

Jan Sopaheluwakan mengungkapkan, Jakarta harus dapat memenuhi empat syarat, yakni keadilan terhadap lingkungan dan sosial, pemenuhan akan kebutuhan pangan, air, dan energi, adanya konstruksi sosial dan ekonomi yang sehat dan terakhir, adalah pembenahan tata ruang.

Sementara itu, hasil penelitian Nature Communication yang dirilis pada 29 Oktober 2019, menyebutkan bahwa beberapa negara, salah satunya Indonesia, bakal tenggelam pada 2050. Menurut penelitian itu, permukaan laut akan mengalami kenaikan 30 sampai 50 cm, yang tak lain merupakan dampak dari perubahan iklim.

Apabila tidak ditangani, permukaan air laut kian tinggi akibat mencairnya es di Antartika sehingga bisa menenggelamkan kota-kota di dunia. Dalam laporan itu, kota-kota dengan ketinggian di bawah permukaan laut seperti Jakarta, Bangkok, Bangladesh, River Delta di Tiongkok diprediksi akan tenggelam pada 2050.

 

Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, prediksi Jakarta akan tenggelam pada 2050 sulit dihindari jika kita melakukan tindakan untuk mencegahnya dan salah satu caranya membangun Giant Sea Wall. Dia percaya, prediksi berdasarkan penelitian itu tidak lain karena aspek pemanasan global, aspek penurunan permukaan tanah, dan kenaikan permukaan laut.

Yayat menjelaskan, 2050 itu tinggal 29 tahun lagi dan bukan waktu yang lama. Yang menjadi pertanyaan, apa yang dilakukan menjelang 2050. Sebab, bukan saat di 2050 Jakarta baru tenggelam, bisa jadi itu puncaknya dan proses menuju ke sana bertahap.

"Bagaimana menghadapi itu, kalau kita kesulitan anggaran? Kita kan enggak tahu di tengah pandemi ini saja kita masih banyak proyek-proyek besar yang harus kita selesaikan. Pindah ibu kota, itu butuh angka Rp400-500 triliun. Sementara untuk Giant Sea Wall hanya untuk menyelamatkan Jakarta. Enggak tahu Jakarta masih ibu kota apa enggak ke depan nanti. Tapi yang jelas, biaya untuk menyelamatkan Jakarta itu cukup besar," papar Yayat ketika dihubungi Liputan6.com.

"Apa makna kita menyelamatkan Jakarta kalau hanya membuat tanggul (Giant Sea Wall), sementara di daratan Jakarta sendiri sampai sekarang kita belum beres menyelesaikan persoalan, sebelum mengurus ke laut. Mungkin Jakarta tidak akan tenggelam karena persoalan lautnya. Mungkin bisa saja disebabkan oleh kondisi-kondisi yang disebabkan karena penurunan permukaan tanah."

Terkait penelitian itu, anggota DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan, menyebut pihaknya menghargai semua kajian-kajian yang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi, dia masih optimistis apabila antisipasi dilakukan secara maksimal, Jakarta tenggelam pada 2050 tidak akan terjadi.

Jika ternyata penelitian itu benar dan tenggelamnya Jakarta pada 2050 tidak terhindarkan, politikus PDI Perjuangan ini menyarankan relokasi. Menurut Pantas, pemindahan kawasan langganan banjir memang jadi opsi yang masuk akal demi mengurangi dampaknya.

"Kawasan yang rutin banjir, sudah tidak bisa diapa-apakan lagi ya memang enggak ada jalan lain. Relokasi. Beli itu tanah oleh pemerintah. Harus begitu, harus ada keberanian itu. dan Undang-Undang juga, tadi disampaikan hanya ada dua kan, soal pembebasan itu. Yang pertama deal, bayar. Yang kedua tidak deal, konsiliasi. Itu ruang yang diberikan oleh Undang Undang untuk percepatan. Konsiliasi di Pengadilan," papar Pantas Nainggolan saat dihubungi Liputan6.com.

"Sebagian orang-orang pelaksana mungkin tidak begitu cepat, dan tidak begitu mau ambil risiko-risiko yang menurut dia risiko, langkah tidak populis. Padahal seorang pemimpin harus melakukan itu. Sebab kuasa yang dimilikinya dan semua yang kita tuntut masih dalam kompetensi kuasa itu. Jadi, kuasa itu harus betul-betul diberikan untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat."

Saksikan Video Berikut Ini

4 Tipe Banjir Kepung Jakarta

FOTO: Banjir di Kemang Timur Lambat Surut
(merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ahli Tata Kota, Nirwono Joga, menjelaskan, secara umum ada 4 tipe banjir yang mengepung Jakarta. Pertama adalah tipe banjir kiriman dan ini yang terjadi di ibukota pada 20 Februari 2021.

"Jadi, wilayah DKI hujannya tidak terlalu lebat, tapi di Depok dan Bogor cukup lebat. Ini mengakibatkan air yang mengalir melalui sungai-sungai yang mengarah ke Jakarta melebihi kapasitas. Semua pemukiman yang dekat bantaran kali paling terdampak dan penyebabnya adalah meluapnya air sungai. Ini diperparah dengan masih banyaknya pemukiman di bantaran kali," kata Nirwono kepada Liputan6.com.

Yang kedua, kata Nirwono, adalah tipe banjir lokal dan ini menimpa Jakarta tahun lalu. "Jadi, DKI hujan lebat dan merata, bahkan sampai 377 mm/hari tahun lalu, tetapi di luar Jakarta tidak terlalu lebat. Banjir ini terjadi karena buruknya sistem drainase Jakarta. Kapasitas drainase kita hanya 100 mm/hari."

"Pertanyaannya kenapa selama 3,5 tahun ini tidak dilakukan rehabilitasi saluran air, padahal saat bersamaan Pemda sibuk melakukan revitalisasi trotoar."

Banjir ketiga adalah tipe banjir rob dan ini terjadi tiap bulan di kawasan pesisir utara Jakarta.

"Ini terkait dengan prediksi Jakarta akan tenggelam di 2050. Secara fenomena alam, permukaan air laut di utara naik 4-8 cm per tahun, sementara penurunan permukaan tanah lebih cepat sampai 28 cm per tahun. Di luar itu, pembangunan masif di Jakarta Utara mengakibatkan penurunan permukaan tanah semakin cepat, sementara air laut naik, ya otomatis saat air pasang dengan mudah menggenangi kawasan pesisir utara."

Banjir tipe keempat adalah banjir kiriman, lokal dan rob yang terjadi secara bersamaan. "Ini pernah terjadi pada 1996, 2002, 2007, 2012, 2017. Dan sekarang intensitas hujan bukannya semakin berkurang, tapi justru semakin sering. Ini yang harus jadi perhatian pemerintah DKI."

Nirwono mengatakan, 40 persen wilayah DKI, terutama daerah pusat, timur dan barat ke arah utara, berada di bawah permukaan laut.

"Kalau tidak ada tindakan yang tepat, maka banjir dengan mudah akan menenggelamkan minimal 40 persen wilayah DKI. Ini yang perlu kita khawatirkan ke depan karena kalau kita lihat curah hujan makin tinggi, sementara pemprov DKI tidak melakukan banyak hal."

"Jadi, yang akan dikorbankan tidak hanya warga yang terdampak banjir sekarang seperti di bantaran kali, tapi juga menganggu pemukiman warga secara umum," ucap Nirwono.

Respons Anies Baswedan

Rapat Paripurna Penetapan Pimpinan DPRD DKI
(Liputan6.com/Herman Zakharia)

Ketika banjir sudah terjadi sejak 19 Februari 2021, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemudian memastikan banjir di wilayah ibu kota telah surut 100 persen pada Senin (22/2/2021).

"Senin dini hari jam 3 pagi tadi, dipastikan 100 persen sudah surut. Jadi alhamdulillah Senin pagi seluruh kegiatan perekonomian kegiatan pemerintahan bisa berlangsung tanpa ada gangguan sedikit pun akibat curah hujan ekstrem pada Sabtu yang lalu," kata Anies, di Balai Kota Jakarta, Senin (22/2/2021).

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menambahkan, kondisi tersebut adalah upaya positif yang dilakukan Pemprov DKI bersama seluruh jajaran terkait dalam penanganan banjir Jakarta 2021. Sebab, kata dia, dengan curah hujan ekstrem, banjir di Jakarta telah surut dalam kurun 24 jam.

Anies mengatakan, curah hujan di Jakarta pada Jumat-Sabtu (19-20/2) mencapai 226 mm per hari. Angka ini melebihi curah hujan di kota-kota penyangga Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor sebesar 150 mm lebih per hari.

Dari data BMKG, Anies mengungkapkan bahwa beberapa wilayah kawasan pesisir utara Pulau Jawa, berisiko mengalami curah hujan ekstrem. Pemprov DKI akan terus meningkatkan kinerja terkait kewaspadaan curah hujan yang tinggi di kawasan Jabodetabek. Sayang, Anies tidak merinci kinerja seperti apa yang dilakukan Pemprov DKI agar banjir tidak lagi terjadi di waktu-waktu berikutnya.

"Insya Allah di pekan-pekan ke depan kita akan tingkatkan kinerjanya sehingga curah hujan yang turun di kawasan Jabodetabek khususnya Jakarta bisa menjadi rahmat dan kita kurangi sesedikit mungkin dampaknya," tutur Anies.

Pada tahun keempat masa kepemimpinannya, Anies masih mengungkit soal banjir Jakarta 2021 akibat kiriman dari daerah penyangga seperti Bogor dan Depok. Padahal, saat kampanye, salah satu janjinya adalah bekerja sama dengan Pemda Jawa Barat dan Kabupaten Bogor demi mengurangi debit air kiriman ke Jakarta ketika terjadi hujan.

"Kalau teman-teman lihat di bawah, catatan bahwa air kiriman dari kawasan hulu (Bogor) dan kawasan tengah (Depok) sekarang dalam perjalanan ke Jakarta. Nah, dalam perjalanan ke Jakarta itu tentu berdampak pada kawasan-kawasan di sekitarnya," ucap Anies di Pintu Air Manggarai, Sabtu (20/2/2021).

Anggota DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan, mengaku heran dengan respons Anies Baswedan, yang masih menyebut banjir ini air kiriman dari daerah penyangga. Menurut Pantas, faktor-faktor itu tidak perlu dipersoalkan lagi.

"Sudah pastilah ini banjir kiriman. Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) lebih tinggi. Dari dulu sudah begitu. Kapan terjadi, mungkin sampai kiamat enggak akan terjadi, dari Jakarta (air) mengalir ke Puncak. Itu kodratnya," kata Pantas.

"Ini kembali kepada kuasa. Kuasa yang diberikan kepada pemerintah itu adalah untuk mengatasi hal-hal itu. Apa yang bisa dilakukan? Normalisasi kali, bangun semuanya termasuk SIG (Sistem Informasi Geografis) air, perbaikan drainase kota, kalau ada rob ya bangun tanggul laut. Kan itu saja. Memperdalam kali, pemeliharaan, bikin waduk, bikin embung. Artinya itu dalam kapasitas kewenangan kita sebagai penguasa. Kita punya kompetensi untuk itu dan DPRD selalu mendukung anggaran, berapa pun dibutuhkan untuk itu, kita dukung," bebernya.

Namun, persoalannya, Pantas melihat Pemprov DKI Jakarta tidak ada tindakan signifikan mengatasi banjir. Itu terlihat dari kejadian banjir berulang dan alasan yang dipakai selalu air kiriman, curah hujan tinggi, dan rob. Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara ini berpendapat, kalau sudah ada upaya maksimal dalam mencegah banjir, masyarakat pasti maklum dan tidak menyalahkan.

Realisasi Program Pemprov DKI Atasi Banjir

Menanti Janji Naturalisasi Kali Ibu Kota
(merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Gubernur Anies Baswedan sejak awal kepemimpinannya mengusung program naturalisasi sungai, yakni dengan menghidupkan ekosistem sungai lewat menanam pohon di bantaran sungai.

Program lain adalah gerebek lumpur atau pengerukan tumpukan lumpur di dasar sungai, waduk, dan embung untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air. Kemudian ada program pembangunan sumur resapan yang ditargetkan mencapai satu juta titik hingga tahun 2022 dengan memakan anggaran hingga Rp800 miliar lebih. Terakhir, program memperbanyak pemasangan pompa air.

Saat masa kampanye sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyebut ada empat hal utama yang akan dia lakukan ketika terpilih diantaranya; (1) Membereskan sumber banjir di hulu sehingga volume air yang sampai ke Jakarta berkurang. (2) Melakukan gerakan membangun sumur- sumur resapan di Jakarta. (3) Memastikan aliran air tidak terhambat dengan membersihkan gorong-gorong hingga sungai. (4) Memastikan tidak terjadi sedimentasi yang berlebihan di hilir.

Lalu, bagaimana sesungguhnya program-program itu dikerjakan selama Anies memimpin Jakarta sejauh ini? Realisasi dari empat hal utama itu masih begitu minim. Untuk pembangunan sumur resapan saja, Pemprov DKI baru merealisasikan 0,29 persen dari target yang akan dicapai pada 2020-2022.

Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini Jusuf, target pembangunan sumur serapan adalah sebanyak satu juta, namun yang baru dibangun sampai akhir 2020 baru mencapai 2.974 sumur resapan. Masih sangat jauh dari target.

Alasan Pemprov DKI Jakarta masih jauh dalam target pembangunan sumur resapan adalah karena mereka baru menggandeng dua vendor. Untuk proyek satu juta sumur resapan butuh setidaknya 100 vendor agar pengerjakan lebih cepat. Tapi, yang menjadi pertanyaan, kenapa baru menggandeng dua vendor, padahal kebutuhan pembangunan sumur resapan amat penting.

Komisi D DPRD pada 22 Februari 2021 sudah memanggil Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta. Beberapa hal dibahas, termasuk kelambatan pembebasan-pembebasan lahan serta koordinasi dengan pemerintah pusat.

"Masalah trase pembebasan lahannya kan urusan DKI, sementara pembangunan SIG air atau semuanya, urusan pusat. Dari pembicaraan tadi itu, DKI Jakarta sendiri lambat dalam melakukan pembebasan, yang akibatnya, dropping technology atau pembangunan dari pusat jadi tidak bisa dilaksanakan. Ada mungkin koordinasi-koordinasi yang kurang baik," kata Pantas.

"Untuk sekarang yang bisa dilakukan ya mitigasi saja. Bagaimana membantu orang-orang yang terdampak. Yang begitu-begitu. Karena ini pekerjaan harus dilakukan pada waktu tidak hujan. Jadi, pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sarana dan prasarana semuanya, yang mungkin nanti bisa kita dorong supaya segera dilakukan. Untuk sekarang, yang paling perlu ya mitigasi bencananya."

Pantas menjelaskan, berbicara tentang banjir ya hanya bicara apa yang bisa manusia buat atau ciptakan, seperti infrastruktur, sarana, dan prasaran pendukungnya. Untuk penanganan banjir, menurut Pantas, upaya tambahan dari peraturan daerah dan penegakan-penegakan hukum juga diperlukan.

"Terhadap sarana dan prasarana yang ada sekarang ini, praktis tidak banyak perubahan dari 3-4 tahun yang lalu. Infrastruktur yang kita maksud antara lain, sungai dan drainase. Kalau kita lihat komposisi ini sebenarnya kan, hanya itu sumbernya. Banjir di Jakarta kan kalau berdasarkan hitungan-hitungan yang saya pernah baca, 40 persen itu dari sungai, dan 60 persen itu bersumber dari drainase yang buruk," ujar pria berumur 59 tahun ini.

"Terhadap insfrastuktur ini yang terus kita desak, perbaikan-perbaikannya. Katakanlah normalisasi. Tapi ternyata Gubernur Pak Anies malah menonjolkan terminologi baru yaitu naturalisasi dan drainase vertikal. Sementara berdasarkan hitungan para ahli, tanah Jakarta ini dulunya kan bersumber dari lumpur, yang daya serap airnya itu sudah sangat rendah.

Konflik Manusia dengan Air

FOTO: Banjir Rendam Permukiman Warga di Kebalen
(Liputan6.com/Johan Tallo)

Jakarta menjadi wilayah yang seringkali bermasalah dengan air. Jumlah air tanah atau air baku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Jakarta kini mulai terbatas.

Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan tambahan masalah bagi Jakarta adalah potensi terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. Selain itu, ke depan, Jakarta juga harus menerima fakta dan kenyataan bahwa hujan ekstrem adalah bentuk kenormalan baru.

Yayat membeberkan, di waktu-waktu mendatang mungkin cuaca dengan hujan ekstrem, dengan intensitas tinggi, dengan durasi waktu yang tidak panjang sekitar 5-6 jam saja akan membuat Jakarta kelimpungan. Tanda-tanda itu, menurut Yayat, sebetulnya sudah terjadi sejak fenomena banjir besar di awal tahun 2020 di mana intensitas curah hujannya kala itu ada yang mencapai lebih dari 300mm.

"Dilanjutkan tahun ini 2021, mungkin tahun depan peristiwa yang sama akan terjadi karena penyebabnya adalah pemanasan global, perubahan iklim, yang mengubah persoalan intensitas curah hujan yang durasi waktu makin lama curah hujannya makin tinggi dengan waktu yang tidak terlalu panjang," kata Yayat.

"Kejadian ini tidak mungkin terjadi pada 10 atau 20 tahun yang lalu, karena hujan rata-rata mungkin turun dengan durasi curah hujan di bawah 100mm, tapi sekarang rata-rata curah hujan sudah di atas 150mm, pada kondisi-kondisi tertentu. Ini bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi hampir di seluruh Pantau Utara Pulau Jawa."

Yayat juga menyebut bagaimana bertambah parahnya kerusakan daerah aliran sungai. Dia berpendapat, apabila ingin menyelamatkan Jakarta, persoalannya bukan sekadar membuat tanggul, tapi bagaimana pemerintah mengubah tata manajemen kota dan tata manajemen air.

Menurut Yayat, ini juga merupakan persoalan konflik antara manusia dengan air. Saat ini terjadi perebutan ruang, antara ruang untuk manusia dan ruang untuk air, di mana sesungguhnya ruang untuk air semakin terkikis dan hilang.

"Contohnya misalnya, air yang mau masuk ke laut, lautnya pasang, sehingga dari sungai-sungai itu air terpaksa harus parkir. Dia parkir di tepi laut, sampai lautnya surut, baru airnya masuk ke dalam laut. Tempat parkir itu disebut dengan rumah air. Sekarang rumah air itu berubah jadi rumah manusia dan ketika air berhenti di situ, orang pada teriak kebanjiran. Padahal di situ lah rumah air," terangnya.

"Rumah air juga makin hilang ketika namanya waduk dan yang namanya Situ itu diuruk. Artinya tidak ada tempat lagi buat air. Nah, akibatnya air akan ke mana-mana, mencari tempat yang paling rendah. Air akan terus mengalir. Air tidak pernah berhenti."

Karena manusia tidak pernah menempatkan, mencari, atau menyediakan ruang untuk air, jadi air tidak bisa terkendali lagi. Ketika air melimpah, maka akan merendam kota. Sementara ketika kemarau, sudah tidak ada air tersimpan untuk manusia.

INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Deretan Bencana Alam yang Menerjang Indonesia di Awal 2021 (Liputan6.com / Triyasni)
INFOGRAFIS: Deretan Bencana Alam yang Menerjang Indonesia di Awal 2021 (Liputan6.com / Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya