Liputan6.com, Bireuen: Bireuen merupakan kabupaten yang kecil namun memiliki sejarah besar. Warga yang tinggal di tanah pesisir timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bisa berbangga karena daerah mereka pernah menjadi ibukota ketiga RI.
Peristiwa itu terjadi pada 1948 ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua dan Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah. Kala itu dengan menggunakan pesawat Dakota, Presiden Soekarno hijrah ke Bireuen untuk mengendalikan pemerintahan. Bireuen dipilih karena lokasi ini dianggap sebagai wilayah yang aman.
Meski tak lebih dari satu pekan, jejak Bireuen sebagai Ibukota terekam jelas. Sejumlah ruang di Meuligoe atau pendopo yang kini menjadi tempat tinggal bupati adalah saksi bisu keberadaan Bung Karno di Tanah Rencong pada masa genting kemerdekaan. Dari sinilah Bung Karno mengatur jalannya republik yang belum genap tiga tahun merdeka.
Dari pendopo ini pula Radio Rimba Raya, Radio Republik Indonesia darurat mengudara dan menyebarkan berita bahwa Indonesia masih ada. Seperti yang dituturkan Tengku Nurdin Abdul Rahman yang juga negosiator perjanjian Damai Aceh di Helsinski, Swedia.
Kini setelah melewati begitu banyak roda dinamika perjuangan termasuk ketika menjadi markas Gerakan Aceh Merdeka, Bireuen mencoba mempertegas jati diri sebagai kota juang. Ajang Festival Tari Seudati, tari khas Aceh selain Saman, yang menjadi simbol perjuangan pun digelar.
Tari Seudati berasal dari bahasa Arab, Syahadatain yang berarti kesaksian atau pengakuan. Seudati adalah media untuk penyampaian pesan. Saat penyebaran agama Islam di Aceh, Seudati merupakan inilah tarian pembakar semangat. Bahkan ketika Belanda bercokol di Aceh tarian ini dilarang karena bisa memicu gairah untuk melawan pasukan kolonial.
Seudati lalu berkembang dan mendarah daging di Bireuen. Di sinilah kelompok Seudati dan sejumlah syekh handal dilahirkan seperti Syekh Lah Geunta. Nah, bagaimana proses berkembangnya Seudati di Tanah Rencong yang menambah khazanah budaya Indonesia, Anda dapat menyaksikannya dalam tayangan video di bawah ini.(ADI/AIS)
Peristiwa itu terjadi pada 1948 ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua dan Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah. Kala itu dengan menggunakan pesawat Dakota, Presiden Soekarno hijrah ke Bireuen untuk mengendalikan pemerintahan. Bireuen dipilih karena lokasi ini dianggap sebagai wilayah yang aman.
Meski tak lebih dari satu pekan, jejak Bireuen sebagai Ibukota terekam jelas. Sejumlah ruang di Meuligoe atau pendopo yang kini menjadi tempat tinggal bupati adalah saksi bisu keberadaan Bung Karno di Tanah Rencong pada masa genting kemerdekaan. Dari sinilah Bung Karno mengatur jalannya republik yang belum genap tiga tahun merdeka.
Dari pendopo ini pula Radio Rimba Raya, Radio Republik Indonesia darurat mengudara dan menyebarkan berita bahwa Indonesia masih ada. Seperti yang dituturkan Tengku Nurdin Abdul Rahman yang juga negosiator perjanjian Damai Aceh di Helsinski, Swedia.
Kini setelah melewati begitu banyak roda dinamika perjuangan termasuk ketika menjadi markas Gerakan Aceh Merdeka, Bireuen mencoba mempertegas jati diri sebagai kota juang. Ajang Festival Tari Seudati, tari khas Aceh selain Saman, yang menjadi simbol perjuangan pun digelar.
Tari Seudati berasal dari bahasa Arab, Syahadatain yang berarti kesaksian atau pengakuan. Seudati adalah media untuk penyampaian pesan. Saat penyebaran agama Islam di Aceh, Seudati merupakan inilah tarian pembakar semangat. Bahkan ketika Belanda bercokol di Aceh tarian ini dilarang karena bisa memicu gairah untuk melawan pasukan kolonial.
Seudati lalu berkembang dan mendarah daging di Bireuen. Di sinilah kelompok Seudati dan sejumlah syekh handal dilahirkan seperti Syekh Lah Geunta. Nah, bagaimana proses berkembangnya Seudati di Tanah Rencong yang menambah khazanah budaya Indonesia, Anda dapat menyaksikannya dalam tayangan video di bawah ini.(ADI/AIS)