Liputan6.com, Jakarta - Pada 16 Maret 15 tahun lalu kerusuhan berdarah terjadi di depan Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama "Uncen Berdarah".
Peristiwa berdarah itu bermula ketika ratusan mahasiswa Universitas Cendrawasih melakukan aksi demo menolak keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua. Namun, demo yang digelar selama 3 hari sejak 14 Maret 2006 itu berujung rusuh pada 16 Maret 2006. Empat orang polisi dan seorang anggota TNI menjadi korban.
Tuntutan pendemo kala itu adalah meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kala itu, pendemo ingin bertemu dengan Panglima Komando Daerah Militer XVII/Trikora kala itu, Mayor Jenderal George Toisutta, Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Polisi Tommy T. Jacobus, dan Ketua Majelis Rakyat Papua Agus Alue Alua, serta manajemen PT Freeport.
Advertisement
Akibat demonstrasi tersebut, kegiatan belajar-mengajar di kampus Uncen menjadi lumpuh. Bentrok antara mahasiswa Universitas Cenderawasih dengan polisi mulai terjadi pada Kamis, 16 Maret 2006 pagi.
Bentrok dipicu saat polisi membongkar ban-ban bekas dan pepohonan yang digunakan untuk menutup jalur Jalan Abepura-Sentani. Pembongkaran itu membuat mahasiswa emosi.
Bentrokan berdarah pada Kamis (16/3/2006) disebut sebagai puncak protes terhadap operasi penambangan emas PT Freeport di Timika. Kerusuhan terjadi pada pukul 12.15 WIT.
Saat itu ada beberapa pendemo yang melempar batu dan botol ke arah aparat yang sedang bernegosiasi dengan Ketua Front Pepera Kota Jayapura, Arnoldus Omba dan Sekjen Front Pepera PB, Selpius Bobii.
Ketika negosiasi terjadi, pendemo memblokir jalan. Aparat dengan pakaian anti huru hara jalan berbaris dan berusaha mendesak massa.
Upaya polisi membubarkan massa yang menutup jalan menuju bandar udara mendapat perlawanan. Korban jiwa pun tak terhindarkan.
Massa bergerak ke halaman kampus Uncen sambil melemparkan batu, botol, dan kayu ke arah aparat yang berjumlah sekitar 20-an orang.
Bentrokan makin sengit setelah polisi melesatkan tembakan peringatan untuk membubarkan massa.
Namun, aksi masa semakin brutal dan mereka menghujam pukulan dan batu ke arah aparat yang terjatuh. Akibatnya 4 anggota aparat keamanan tewas.
Menurut rekonstruksi pembunuhan yang digelar Markas Besar Polri dan Kepolisian Daerah Papua terungkap, Brigadir Polisi Kepala Arisuna Horota tewas di tangan Ferry Pakage dan Lois Gede. Keduanya memukul kepala Arisuna dengan batu.
Selain itu, keduanya juga membunuh Briptu Syamsudin dan Daud Sulaiman dengan cara serupa.
Pelaku pembunuhan, Ferry Pakage diketahui adalah kondektur angkutan umum sedangkan Lois Gede adalah pengangguran. Enam tersangka lainnya mengaku hanya melempari petugas dengan batu.
Pada Rabu, 22 Maret 2006 pagi, menyusul Satu Polisi Brigadir Suhat Eko Pranoto, meninggal dunia. Ia tewas setelah dirawat sepekan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abepura.
Sementara itu korban jiwa satu orang berasal dari TNI Angkatan Udara, yakni Sersan Dua Agung Prihadi Wijaya. Dengan begitu, jumlah korban yang tewas menjadi lima orang.
Polisi kemudian melakukan penyisiran ke rumah-rumah penduduk dan asrama mahasiswa di sekitar Abepura dan Waena hingga malam hari.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sekolah Diliburkan
Situasi menjadi amat tegang di daerah Abepura, Waena dan sekitarnya. Polisi pun menangkap beberapa warga yang diduga terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Pada 18 Maret 2006, tim penyidik dari Polresta Jayapura dan Polda Papua menetapkan 14 tersangka dalam kasus 16 Maret 2006 antara lain: Selfius Bobi (25) Sekjen Front Pepera PB yang berstatus mahasiswa, Luis G. (27) Karyawan Toko Metro Jaya Abepura, Fery P. (22) Tukang parker, Fenius W. (22) mahasiswa, Alex C.W. (21) mahasiswa, Othen D. (25) swasta, Thomas U. (22) mahasiswa, Elkana L. (22) pelajar SMU, Ellyas T. (30) mahasiswa, Patrisius A. (30) swasta, Markus K. (47) pegawai, Moses L. (35) buruh bangunan, Musa A. (28) pegawai honorer, Jefri O.P. (21) pengangguran.
Pada 20 Maret, Direktur Reskrim Polda Papua, AKBP Paulus Waterpauw mengatakan dari hasil penyidikan ada 2 tersangka yang mengaku melakukan pengeroyokan terhadap Brimob dan Dalmas yaitu Feri Pakage (22) dan Lois Gede (27).
Suasana haru menyelimuti korban tewas bentrok Abepura 15 tahun silam. Jenazah Briptu Suhat Eko Pranoto dimakamkan di Ngawi, Jawa Timur.
Ibu almarhum diceritakan sempat pingsan setelah menaburkan bunga ke liang lahat putranya. Pemakaman Suhat didahului dengan upacara militer yang dipimpin Kepala Kepolisian Resor Ngawi Ajun Komisaris Besar Polisi Basyaruddin.
Belakangan, tak berapa lama dari kerusuhan tersebut, situasi Kota Jayapura dan Timika masih terlihat lengang. Bahkan, beberapa sekolah diliburkan atau memulangkan para siswanya lebih cepat.
Advertisement