Liputan6.com, Jakarta - Mantan Dirut PT Pelindo II, RJ Lino menghadapi putusan praperadilan yang diajukan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang putusan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) hari ini, Selasa (25/5/2021).
Pengacara RJ Lino, Agus Dwiwarsono berharap kliennya mendapat putusan yang adil dari hakim atas gugatan praperadilannya terhadap KPK. Menurut dia, putusan adil terhadap kliennya, semata demi kepastian hukum maka sepatutnya layak dikabulkan.
"Kami meyakini bahwa praperadilan ini cukup alasan hukumnya untuk dikabulkan," kata Agus dalam keterangannya, Selasa (24/5/2021).
Advertisement
Agus membeberkan sejumlah alasan, mengapa praperadilan yang diajukan kliennya layak dikabulkan. Pertama, kliennya telah dilanggar hak asasi manusia karena ketidakpastian hukum oleh KPK.
Diketahui dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) pada PT Pelindo II, RJ Lino sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak akhir 2015. Namun RJ Lino baru ditahan pada Maret 2021.
KPK diyakini telah melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang lantaran menyalahi Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019 mengenai asas kepastian hukum dan penghormatan hak asasi yang harus dipedomani KPK dalam jalankan tugas dan wewenangnya terkait penghentian penyidikan atau SP3.
"KPK tidak terbitkan SP3 atas penyidikan terhadap RJ Lino yang perkaranya telah melewati batas waktu dua tahun dan tidak dilimpahkan ke pengadilan ini merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK," jelas Agus.
Kedua, lanjut Agus, penghitungan kerugian negara dalam kasus yang menjerat kliennya juga dinilai bermasalah. KPK dengan tenaga ahli accounting forensik pada Direktorat Deteksi dan Analisis pada KPK menghitung sendiri dan menyatakan kerugian negara sebesar US$ 1.974.911,29 setara Rp 17 miliar dalam laporannya tertanggal 6 Mei 2021.
Padahal, sesuai aturan yang diketahui Agus, KPK tidak memiliki wewenang terkait itu. Penghitungan kerugian hanya dapat dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional.
"KPK tidak memiliki kewenangan konstitusional menyatakan (men-declare) kerugian negara. Karena itu tindakan KPK ini merupakan penyalahgunaan wewenang," kritik Agus.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Beda Nilai Kerugian Versi KPK dan BPK
Ketiga, imbuh Agus, berdasarkan surat BPK perihal penyampaian LHP Investigatif untuk penghitungan kerugian negara atas pengadaan QCC Tahun 2010 PT Pelindo ll, lembaga auditor negara itu tidak melakukan penghitungan kerugian negara yang nyata dan pasti.
"BPK hanya menemukan dugaan kerugian sebesar US$22.898 (setara Rp 308,4 juta) atas pemeliharaan QCC dari 2012 sampai 2017," jelas dia membedakan angka kerugian antara audit BPK dan KPK.
Atas dasar angka kerugian, maka Agus menyatakan, KPK dianggap tidak memiliki wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan perkara yang menyangkut kliennya lantaran kerugian negara di bawah Rp 1 miliar.
Advertisement