Liputan6.com, Jakarta Perkembangan teknologi terus bergerak dinamis mengikuti kebutuhan zaman. Salah satu yang terus berkembang adalah teknologi kesehatan.
Ya, perubahan teknologi kesehatan tentunya membutuhkan tenaga ahli yang bisa menguasai teknologi dalam ilmu pengetahuan terapan. Dalam dunia medis, ilmu fisika berperan penting untuk pengobatan. Misalnya saja jika berbicara soal radiologi, maka sesuai standar yang ditetapkan, kini harus dilaksanakan oleh ahlinya.
Baca Juga
Tak berlebihan rasanya jika melihat posisi lulusan Fisika Medis akan sangat signifikan di masa kini dan mendatang. Salah satu rekomendasi pendidikan terbaik yang berkaitan dengan ilmu Fisika Medis adalah Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).
Advertisement
Ketua Program Studi (Prodi) Fisika, Reinard Primulando, Ph.D, bersama dosen Prodi Fisika program Fisika Medis, Flaviana Catherine, S.Si., M.T., mengatakan meski Fisika Medis baru dibuka secara resmi pada 2020, namun sudah memiliki pengalaman yang cukup luas dan multidisiplin. Tak hanya berfokus pada Fisika Medis, mahasiswa kerap berkolaborasi dengan bidang keilmuan fisika lainnya.
Landasan UNPAR membuka program Fisika Medis sesuai regulasi Pemerintah. Pertama merujuk Kepmenkes No.048/MENKES/SK/I/2007 yang intinya telah mengatur satu keputusan bahwa fisikawan medik menjadi salah satu tenaga kesehatan yang harus ada di tiap rumah sakit.
Didukung pula oleh UU Nomor 36 Tahun 2014 dan terbaru dikeluarkannya Permenkes Nomor 24 Tahun 2020 yang isinya pun mengatur bahwa di setiap radiologi klinik wajib memiliki paling tidak satu tenaga fisikawan medik.
Dilandasi regulasi tersebut, UNPAR pun membuka program Fisika Medis yang memang nantinya tentunya dibutuhkan untuk memenuhi profesi fisikawan medis tersebut.
“Kami cukup banyak berkolaborasi dengan bidang ilmu fisika lainnya. Misalnya fisika material yang dikaitkan dengan bidang medis. Kemudian berkolaborasi dengan fisika instrumentasi dan juga dengan bidang fisika partikel. Walau Fisika Medis baru dibuka, kami sudah punya pengalaman yang cukup luas,” tutur Flaviana.
Sementara itu, Reinard secara simpel memaparkan bahwa program Fisika Medis bukan jalur pendidikan seorang dokter. Diksi ‘medis’ yang memang erat kaitannya dengan dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya perlu dipahami sebagai bagian baru dari fisika itu sendiri. Fisika Medis merupakan bidang ilmu yang mengaplikasikan ilmu fisika ke dalam dunia kedokteran, terutama dalam bidang radioterapi dan radiodiagnostik.
“Misalnya sinar-X, itu kan perlu pengetahuan fisika, itu radiodiagnostik namanya untuk tahu diagnosis. Seperti untuk mengetahui posisi kanker, pakai bone scan, disuntikkan radioaktif, terus nanti kelihatan daerah kanker itu. Fokusnya ada dua, radiodiagnostik dan radioterapi. Mengurusi alat dan menganalisis perhitungan radiasi yang benar,” ujar Reinard.
Lebih lanjut, Flaviana pun mengungkapkan bahwa risiko dari penggunaan alat medis terutama pada peralatan yang menggunakan radiasi tak pernah bisa dipastikan. Secara paralel risiko radiasi sejalan dengan manfaat yang diberikan.
Lulusan Fisika Medis, lanjut dia, berpotensi untuk berprofesi sebagai Fisikawan Medik yang mengoptimalkan manfaat dari paparan radiasi sekaligus meminimalisir risiko radiasinya.
Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan untuk Fisikawan Medis dimulai dengan menempuh jalur pendidikan Strata-1 (S1) Program Studi Fisika yang memiliki konsentrasi atau program Fisika Medis. Setelah lulus S1, persis seperti seorang dokter dan perawat, lulusan Fisika Medis harus menempuh clinical training.
"Dalam satu sampai dua semester ini biasanya akan lebih banyak praktik dan nanti langsung bekerja secara langsung di rumah sakit di bagian radiologinya. Setelah menempuh clinical training, nantinya seorang Fisikawan Medik akan memperoleh gelar tambahan sebagai profesi, yaitu F.Med," ucap Flaviana.
Namun jika ingin memperdalam secara keilmuan, usai menempuh S1 Fisika, disarankan untuk mengambil S2 Fisika Medis dan mengikuti clinical training dua tahun. Jika semua tahapan tersebut telah selesai ditempuh, nantinya akan mendapat gelar Fisikawan Medik Spesialis (Sp.RT/Sp.RDI/Sp.IKN).
“Gelarnya cukup beragam bergantung nanti karena ada sub-subnya lagi dari apa yang dipelajari selama jenjang S2 Fisika Medis ke clinical training tersebut,” katanya.
Di Program Studi Fisika UNPAR, secara umumnya S1 Fisika harus lulus minimal 144 SKS (Satuan Kredit Semester). Di mana nantinya dibagi menjadi 111 SKS mata kuliah (matkul) wajib dan 33 SKS matkul pilihan. Jika nantinya memilih Fisika Medis, maka perlu mengambil 30 SKS matkul pilihan untuk mendalami bidang ilmu Fisika Medis.
Contoh mata kuliah di antaranya adalah Pendahuluan Fisika Radiologi dan Dosimetri, Fisika Kesehatan dan Proteksi Radiasi, Prinsip Dasar Instrumentasi Medis, Radiobiologi, Fisika Pencitraan Medis, Fisika Radioterapi, Praktikum Fisika Radiodiagnostik dan Radioterapi/kerja praktik di RS, dan Kapita Selekta Fisika Medis.
"Nama-nama mata kuliah ini memang sudah sangat spesifik tapi dimulai dari yang basic-nya dulu. Mulai dari pendahuluannya, prinsip dasarnya, kita juga mempelajari peralatan-peralatan atau instrumentasi medis di mana kita tahu bahwa peralatan-peralatan yang digunakan di bidang medis ini sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep fisika yang ada," tuturnya.
Di Program Fisika Medis UNPAR pun perlu mempelajari tentang Anatomi dan Fisiologi. Nantinya mahasiswa akan diajar langsung oleh seorang dokter. Secara berjenjang, matkul nantinya bersifat lebih tinggi lagi dan akan ada kesempatan untuk mengambil Praktikum Fisika Radiodiagnostik dan Radioterapi.
"Kalau misalkan kalian berminat untuk menjadi seorang Fisikawan Medik, dari level sarjana pun kalian berkesempatan untuk bisa mengambil kerja praktik di RS dan langsung secara spesifik juga ada kurikulumnya. Jadi kalian nanti bisa mengambil sejumlah praktikum lab di lab radiologi yang ada di RS tempat kami bekerja sama," ujarnya.
Advertisement
Peluang Karier
Tantangan dan peluang kerja lulusan Fisika Medis berkaitan erat dengan stakeholder bidang kedokteran di Indonesia. Merujuk data yang ada, lanjut dia, saat ini ada lebih dari 2.800 rumah sakit dan 1.000 klinik.
Dari jumlah tersebut, terdapat 2.000 pusat radiologi dan 120 di antaranya merupakan pusat radiologi interventional. Kemudian dari 120 itu, sudah memiliki sebanyak 16 pusat kedokteran nuklir dan 4 pusat radioterapi.
Berdasarkan data Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Indonesia membutuhkan minimal 1.500 Fisikawan Medik klinik. Dengan perhitungan distribusinya, Jawa dan Bali membutuhkan sekitar 1.100 Fisikawan Medik, Indonesia bagian Barat dan Timur masing-masing membutuhkan 200 Fisikawan Medik.
Meski demikian, sampai September 2019, tenaga Fisikawan Medik yang baru dimiliki Indonesia hanya 282. Dengan pembagiannya sebanyak 107 Fisikawan Medik di Radioterapi, 15 Kedokteran Nuklir, dan 160 Radiodiagnostik.
“Dari sini bisa kita lihat bahwa dari segi kebutuhan rasionya dengan yang tersedia itu masih rendah. Jadi memang beberapa tahun ke depan, fisikawan medik ini masih dibutuhkan sekali di sejumlah rumah sakit di Indonesia,” ucap Flaviana.
Sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik dijelaskan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) seorang Fisikawan Medik.
Di antaranya melakukan pengukuran dan analisa data radiasi dan menyusun tabel data radiasi untuk penggunaan klinik, pelaksanaan aspek teknis dan perencanaan radiasi, pengadaan prosedur QA dalam radiologi diagnostik, meliputi pelaksanaan diagnosis dan terapi, keamanan radiasi, dan kendali mutu.
Kemudian melakukan perhitungan dosis, terutama untuk menentukan dosis janin pada wanita hamil, jaminan bahwa spesifikasi peralatan radiologi diagnostik sesuai dengan keselamatan radiasi. Melakukan acceptance test dari unit yang baru, supervisi perawatan berkala peralatan radiologi diagnostik.
Selanjutnya berpartisipasi dalam meninjau ulang secara terus menerus keberadaaan sumber daya manusia (SDM), peralatan, prosedur, dan perlengkapan proteksi radiasi. Tak hanya itu saja, Fisikawan Medik juga turut berpartisipasi dalam investigasi dan evaluasi kecelakaan radiasi, meningkatkan kemampuan sesuai perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) serta menjadi Petugas Proteksi Radiasi (PPR).
Seiring berkembangnya teknologi kesehatan yang otomatis juga berpengaruh pada industri kesehatan, di mana lulusan Fisika Medis dapat bekerja di industri alat kesehatan dan berpotensi bekerja di lembaga penelitian dan pengembangan.
“Ke depan tentunya akan sangat dibutuhkan, tidak terbatas di lingkup rumah sakit saja. Tetapi di industri kesehatannya sendiri seperti untuk produksi alat-alat kedokteran juga rasanya secara paralel akan dibutuhkan. Jika tidak mau menjadi Fisikawan Medik, bisa mengaplikasikan ilmunya ke ranah industri atau lembaga riset dan sebagainya,” demikian dikatakan Flaviana dan Reinard.
Meski tergolong muda, program Fisika Medis UNPAR telah memiliki pengalaman yang mumpuni dan potensi besar untuk berkontribusi sejalan dengan perkembangan zaman. Tentunya cabang baru dari jurusan fisika ini pun memiliki prospek kerja yang menjanjikan. Siapa bilang, belajar fisika hanya bisa jadi ilmuwan?
Yuk bergabung bersama Fisika Medis UNPAR dan ambil peran dalam menghadapi perkembangan teknologi kesehatan.
Untuk informasi selengkapnya bisa dilihat di laman pmb.unpar.ac.id atau melalui Layanan Informasi PMB UNPAR dengan mengirimkan pesan pada e-mail admisi@unpar.ac.id, telepon (022) 2032655 atau info lebih lanjut di akun @unparofficial (Instagram) dan @unpar (Official Line)
(Adv)