HEADLINE: Muncul Wacana Penyelenggaraan Pemilu 2024 Diundur 2027, Peluangnya?

Ada dua cara pemilu dapat diundur penyelenggaraannya. Yaitu melalui amandemen UUD 1945 dan Perppu. Sejauh mana potensi keduanya menjadi celah memundurkan Pemilu 2024.

oleh Nanda Perdana PutraDelvira HutabaratMuhammad Radityo PriyasmoroYopi Makdori diperbarui 20 Agu 2021, 15:35 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2021, 00:01 WIB
Ilustrasi pemilu
Tata cara pemilu 2019. (Foto: merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sebuah diskusi bertajuk Pandemi dan Konstelasi Politik 2024, Jazilul Fawaid ditanya oleh pembawa acara. Pertanyaan yang diajukan kepadanya ialah apakah Pemilu akan benar-benar dilaksanakan pada 2024 atau tidak.

Wakil Ketua MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini lantas mengungkapkan, pagelaran pesta demokrasi pada 2024 masih menjadi tanya. Lantaran saat ini, pandemi covid-19 yang sudah menyelimuti negeri sejak 2020 lalu, masih belum bertepi.

"Kalau kondisinya seperti ini jangankan TPS, masjid saja ditutup. Jadi kalau kondisinya seperti ini, tentu unpredictable sampai hari ini," kata Jazilul pada Sabtu 14 Agustus 2021.

Ketidakpastian penyelenggaran Pemilu 2024 ini menghadirkan anggapan publik tentang adanya kemungkinan pesta demokrasi ini bakal diundur. Kendati KPU telah menafikannya, namun ada aturan yang menyebutkan pemilu bisa mundur melalui amandemen UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Menurut Pengamat Politik Ujang Komarudin, kedua cara ini kemungkinanya tipis digunakan sebagai celah untuk mengundurkan pemilu. Karena dua cara itu dinilainya tidak memiliki alasan kuat untuk diterapkan saat ini.

"Kemungkinannya ada tapi tipis. Karena masyarakat menolak itu semua. Misalkan (DPR - Pemerintah membahasnya) secara diam-diam, tapi rakyat sudah paham dan sudah mengawal ini semua. Kalau pun dikeluarkan Perppu, tidak ada kepentingan yang memaksa." kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

Kendati demikian, masyarakat diminta untuk tetap mengawal rencana MPR mengamandemen UUD 1945 terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ujang mengatakan, jangan sampai amandemen tersebut melebar ke pasal lain kendati Ketua MPR Bambang Soesatyo telah menegaskan hanya melakukan perubahan terbatas.

"Ucapan politisi kan tidak bisa dipegang dan dipercaya. Kalau GBHN, rakyat masih memaklumi, tapi kalau sudah melebar kemana mana, rakyat yang akan protes," ujar dia.

Ujang mewanti-wanti, bila pengunduran pemilu 2024 ini dipaksakan, bakal ada resistensi yang besar dari masyarakat. Untuk itu, para segelintir elite politik agar tidak membuat keresahan publik di tengah pandemi saat ini.

"Bisa chaos kalau pemilu diundur dan tidak ada urgensi apa pun dan hanya mengakomodir kepentingan segelintir elite. Ini rakyat akan chaos. Saya melihatnya, jalan terbaik tidak ada istilahnya mundur pemilu dan sebagainya. Sesuai saja dengan ketentuan konstitusi, jalankan amanah itu dengan baik. Itu saja," jelas Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini.

"Dan tidak ada alasan apa pun yang menjadi pembenaran untuk mundur. Kalau ada isu-isu ingin mundur adalah isu orang yang tidak bertanggung jawab," imbuhnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut tidak masalah penyelenggaraan pemilu tersebut diundur. Asalkan pengunduran waktu tersebut harus didasari pada alasan yang jelas seperti terjadi bencana atau kondisi yang memang menghambat proses penyelenggaraan Pemilu.

"Jika kita lihat bahwa sekarang memang kondisi bencana, tetapi di titik tertentu, proses pilkada tetap bisa dilangsungkan. Karena sudah pernah dicoba pada 2020 dan sudah terlaksana. Karena itu tidak tepat lagi bicara soal kondisi bencana yang dapat memundurkan pilkada," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

Dia menegaskan, tak ada alasan kuat untuk memundurkan Pemilu 2024. Karena jabatan presiden dan wapres sudah jelas ditentukan dalam undang-undang.

"Kalau seandainya pilkada dan pilpres mundur hampir tidak mungkin ya. Karena secara konstitusional memang ada batasnya waktu yang tegas untuk kemudian seorang presiden kapan memulai jabatan dan kapan berakhirnya," kata dia.

Jika Pemilu diundur, kata dia, dampaknya tentu saja ada pemerintahan darurat dan membahayakan bagi kehidupan bernegara. Ini lantaran legitimasi dan konstitusionalitas presiden yang memimpin di kondisi darurat itu pasti bakal dipertanyakan.

"Kondisi seperti itu jelas-jelas mengancam demokrasi dan tidak sehat," tegas dia.

Karena itu, jalan terbaik saat ini ialah pemilu tetap digelar sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Sebagaimana penegasan KPU bahwa Pemilu tetap akan dilangsungkan pada 2024.

"Saya pikir KPU sudah menyatakan bahwa tidak jadi mengundurkan pilkada serentak sehingga memang itu pilihan terbaik dan harus mempersiapkan diri untuk menghadapi pilkada dan pemilu di masa pandemi sebaik-baiknya," dia menjelaskan.

Infografis Muncul Wacana Pemilu 2024 Diundur 2027. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Muncul Wacana Pemilu 2024 Diundur 2027. (Liputan6.com/Abdillah)

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, isu pemilu 2024 diundur ke 2027 adalah isu inkonstitusional, kontraproduktif dan tidak relevan untuk diwacanakan di tengah situasi ketatanegaraan saat ini. Isu itu bisa memicu kekacauan politik akibat ketidakpuasan masyarakat.

"Akhirnya bisa mengganggu upaya kita dalam menangani pandemi yang justru memerlukan kondisi yang solid dan kondusif," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

Selain itu, penundaan pemilu ke 2027 juga tidak memiliki landasan hukum sebab Pasal 7 UUD Tahun 1945 jelas menyebut bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Sehingga masa jabatan presiden menurut Konstitusi kita tidak boleh ditambah atau dikurangi. Maka, Pilpres tetap harus terselenggara pada 2024 agar pada 20 Oktober 2024 bisa dilakukan pelantikan dan pengucapan sumpah janji calon presiden dan wakil presiden terpilih," tegas dia.

Tak hanya itu, lanjut dia, Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 juga sudah jelas menyebut bahwa model keserentakan pemilu harus tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Maka kalau Pilpres tidak bisa diundur berdasar teks Konstitusi, pemilu DPR dan DPD juga demikian sebagai konsekwensi Pemilu serentak sebagaimana termaktub dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019.

Dia menegaskan penundaan Pilpres tidak dimungkinkan untuk dilakukan tanpa Amendemen Konstitusi atas Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945. Perpu atau revisi atas UU Pemilu tidak memiliki kapasitas hukum untuk menegasikan keberadaan Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 dan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019.

"Sebab tidak dimungkinkan untuk memisahkan penyelenggaraan Pilpres dengan Pemilu Anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD (vide Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019)," kata dia.

Namun demikian, berdasar preseden Pemilu 1999 yang merupakan pemilu legislatif yang dipercepat, yang dimungkinkan itu adalah untuk menata penjadwalan Pemilu Anggota DPRD dan Pilkada. Dimana dengan instrumen UU yang diatur sejak awal, bisa saja ada percepatan atau penundaan pemilu DPRD dan Pilkada.

Selain itu, dia juga menilai, mengamendemen Konstitusi hanya untuk memundurkan pemilu adalah langkah penuh kesia-siaan. Amanat reformasi tentang masa jabatan dan periodisasi presiden dan wakil presiden lahir dari sejarah panjang yang tidak boleh dinegasikan begitu saja.

"Apalagi tidak ada alasan yang benar-benar masuk akal untuk menunda pemilu. Kalau pilkada di tengah pandemi saja pemerintah dan DPR hanya menoleransi penundaan selama 3 bulan dengan alasan urgensi kehadiran pemimpin daerah yang definitif serta untuk menjaga sirkulasi elit yang demokratis, apalagi untuk pemilu nasional yang sudah tegas diatur Konstitusi batasan-batasan waktunya," terangnya.

Sementera itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai sulit mencari alasan untuk menggolkan penundaan pemilu 2024. Alasan pandemi yang kerap didengungkan dinilainya tidak tepat.

"Melihat potensi pandemi berkepanjangan saya kira sangat tidak relevan bila dijadikan penundaan pemilu karena pemilu itu kan bukan sesuatu yang tiba-tiba, semua telah terencana dan KPU sebagai penyelenggara seharusnya sudah memiliki antisipasi untuk hal itu," jelasnya kepada Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

"Jadi saya tidak paham alasan untuk berpikir menunda pemilu ke 2027, kemudian jika diundur siapa yang menjadi presidennya? Jadi itu yang paling penting," dia mengimbuhkan.

Karena itu, Lucius menengarai wacana ini muncul dari kerja orang yang tidak puas dengan rencana amandemen yang semakin tidak jelas. Kemudian menutup ruang mereka terkait masa jabatan presiden menjadi tiga periode sehingga menghidupkan wacana liar penundaan pemilu ini.

"Kalau ini isu liar terus dibicarakan publik, akan ada ruang untuk berdiskusi solusi lain. Misalkan amandemen. Saya kira ke sana arahnya. Karena kan bersinggungan dengan Pemilu 2027, muncul juga berita kesepakatan lisan antara MPR dan Presiden yang sudah menyepakati amandemen walau disebeut hanya GBHN," ungkap dia.

Isu ini, menurutnya, akan menjadi celah untuk menggolkan hasrat politik segelintir elite politik. Dengan begitu, semua aktor akan bermain dengan agendanya masing-masing.

"Ini sama saja artinya dengan buka keran. Kalau GBHN bisa, kenapa yang lain tidak? Begitu keran terbuka, ini urusannya sudah politik. Semua bisa bermain dengan agendanya masing-masing," katanya.

Infografis Ragam Tanggapan Wacana Pemilu Diundur 2027. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Wacana Pemilu Diundur 2027. (Liputan6.com/Abdillah)

Isu untuk Pembusukan Terhadap Jokowi

Wakil Ketua Komisi II Luqman Al Hakim menegaskan bahwa isu Pemilu diundur 2027 adalah hoaks. Ia menduga kabar tak valid itu disulut oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan ketidakpastian dan keresahan masyarakat.

"Tujuan akhir mereka adalah menciptakan perluasan ketidakpercayaan rakyat kepada Presiden Joko Widodo. Upaya pembusukan ini ada kaitannya dengan Pilpres 2024, yakni untuk membuat Jokowi tidak menjadi faktor penentu (determinant factor) siapa yang akan menjadi Presiden 2024-2029," kata Luqman kepada Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

Ia mengungkapkan, KPU bersama Pemerintah, Komisi II, Bawaslu dan DKPP sudah menyusun draft tahapan dan jadwal pelaksanaan Pemilu 2024. Ia pun meminta KPU segera memfinalisasi keputusan mengenai tahapan dan jadwal Pemilu 2024 serta mengumumkan kepada masyarakat.

"Isu Pemilu 2024 diundur ke 2027 dikaitkan dengan pandemi covid-19, juga tidak masuk akal. Pertama, negara ini telah dan sedang bekerja keras untuk mengendalikan covid-19. Banyak kemajuan yang telah dicapai. Banyak pihak yang memprediksi pandemi covid-19 akan berakhir 2022. Sudah banyak negara lain yang berhasil mengendalikan covid-19 dan kehidupan masyarakatnya kembali normal," jelas dia.

Kedua, Luqman menambahkan, bangsa Indonesia memiliki pengalaman menggelar event electoral pada saat Pandemi Covid-19 sedang ganas, yakni Pilkada serentak bulan Desember 2020 kemarin. Pilkada serentak 2020 berjalan lancar dan demokratis.

"KPU dan Bawaslu terbukti dapat menjalankan agenda kenegaraan itu dengan sangat baik. Tidak ada kekacauan atau kegagalan Pilkada serentak kemarin yang disebabkan faktor covid-19," ujarnya.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 jelas mengatur Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali pada jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Ketentuan UUD tidak bisa dianulir dengan UU atau Perppu.

"Jelas bahwa setiap lima tahun harus dilaksanakan Pemilu. Sama sekali tidak ada celah konstitusional untuk memundurkan pemilu 2024 ke tahun 2027. Clear ya!" tegas dia.

Ia pun meminta kepada semua pihak untuk tidak terus menggoreng isu pengunduran pemilu tahun 2027. Keresahan masyarakat yang ditimbulkannya dapat mengganggu penanganan covid-19.

"Seluruh energi bangsa ini harus difokuskan untuk menangani bencana covid-19 agar segera bisa berakhir," ujar Luqman.

Hal senada diungkapkan kolega Luqman di DPR. Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menegaskan bahwa pelaksanaan gelaran pesta demokrasi lima tahunan tetap dilaksanakan pada tahun 2024. Tidak ada pergeseran waktu pelaksanaan menjadi 2027.

Menurutnya, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, harus taat dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Dalam hal ini Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang pada prinsipnya mengatur bahwa pemilu dan pemilihan serentak nasional dilaksanakan pada tahun 2024,” ujar Guspardi dalam keterangannya, Kamis (19/8/2021)

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta KPU RI membuat dua opsi skenario terkait pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), yang akan digelar pada 2024.

Kedua skenario itu, yakni pemilu dalam situasi pandemi covid-19 dan pemilu dalam situasi normal. Itu diperlukan sebagai antisipasi berbagai risiko, apabila pandemi belum berakhir.

"Karena pada pilkada 2020 lalu, digelar di tengah pandemi. Kita belum bisa memprediksi kapan pandemi covid-19 selesai," kata dia.

Guspardi mengimbuhkan, dua skenario tersebut tentunya nanti berdampak pada penambahan anggaran. Pada pilkada 2020, DPR sudah memfasilitasi dan meminta Kementerian Keuangan untuk menambah anggaran.

“Begitu pula untuk pemilu dan pilkada serentak pada 2024. Apabila pandemi tak kunjung usai, akan ada penambahan anggaran, seperti untuk penerapan protokol kesehatan,” tuturnya.

Guspardi mengatakan, KPU RI tengah menyusun regulasi terkait tahapan pelaksanaan pemilu dan pilkada. KPU mewacanakan usulan pemilu presiden dan legislatif digelar pada 21 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024. DPR terbuka dengan usulan KPU.

Namun, dia mengingatkan agar jangan sampai ada tahapan yang berhimpitan antara pilkada dan pemilu. Termasuk pelaksanaannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak berbarengan dengan hari besar dan juga memperhatikan faktor alam seperti musim hujan dan lain sebagainya. Dan usulan tanggal pelaksanaan oleh KPU juga belum difinalisasi.

“Jadi Jadwal pelaksanaannya belum diputuskan. Kita mencari waktu yang tepat. Setelah masa reses ini selesai Komisi II akan membicarakan dan membahasnya bersama penyelenggaraan pemilu dan Kemendagri," ujar dia.

"Baru berlaku menjadi keputusan setelah dibicarakan dan disahkan oleh DPR dan pemerintah,” dia mengimbuhkan.

Sedangkan Kepala Badan Komunikasi Strategis/Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menilai masih terlau dini untuk berspekulasi dan membahas Pemilu 2024. Partai Demokrat menyarankan agar fokus mengkritisi dan membantu pemerintah dalam menangani pandemi.

"Masih banyak yang perlu dilakukan, untuk memastikan penurunan jumlah pasien positif covid-19 harian, penurunan jumlah meninggal harian, penurunan positivity rate, dan penurunan death rate, agar bisa mencapai angka seperti sebelum PPKM Darurat 3 Juli 2021," kata Herzaky dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/8/2021).

Saat ini, beberapa indikator memang turun dibandingkan beberapa minggu terakhir. Tapi masih belum serendah seperti sebelum PPKM Darurat pada 3 Juli 2021.

"Apakah sekarang angka positif harian sudah di bawah 10 ribu kembali? Apakah angka kematian sudah di bawah 500, seperti sebelum akhir Juni 2021? Target testing dan vaksinasi harian saja masih jauh dari harapan. Kita butuh kerja dengan hasil nyata, bukan kerja sekedar citra belaka," ujar dia.

 

Jangankan TPS, Masjid Saja Ditutup

Isu ketidakpastian Pemilu 2024 sebelumnya dilontarkan Jazilul Fawaid dalam sebuah acara diskusi bertajuk Pandemi dan Konstelasi Politik 2024. Kala itu, Wakil Ketua MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini ditanya apakah Pemilu 2024 itu benar-benar ada atau tidak.

Jazilul mengungkapkan, sampai saat ini masih belum diketahui ujung dari akhir pandemi covid-19 ini. Bila pandemi masih terus mengganas, kegiatan-kegiatan di tempat yang menimbulkan kerumunan tentu tidak diperbolehkan. Karenanya gelaran pesta demokrasi lima tahunan ini masih unpredictable

"Ini yang menjadi tanda tanya kita semua. Jadi kalau kondisinya seperti ini jangankan TPS, masjid saja ditutup. Jadi kalau kondisinya seperti ini tentu unpredictable sampai hari ini," kata Jazilul pada Sabtu 14 Agustus 2021.

Untuk itu, Gus Jazil--begitu sapaan akrabnya-- meminta semua pihak terkait untuk mempersiapkan rencana kemungkinan terburuk. Karena menurutnya, jika itu benar-benar terjadi akan menimbulkan permasalahan terkait ketatanegaraan.

"Itu tentu akan ada problem ketatanegaraan kalau ternyata misalkan pada jadwal yang ditentukan oleh KPU itu kira-kira Februari 2024 ternyata varian Delta itu main lagi, otomatis semua ditutup termasuk TPS. Nah kalau kejadian seperti itu tentu para politisi harus berkumpul mencari jalan," ujarnya.

Kabar ini pun kemudian menuai polemik. Bahkan semakin menghangat setelah tersebar pernyataan Komisioner KPU Ilham Saputra yang menyebut adanya kemungkinan pergeseran waktu Pemilu 2024 menjadi 2027.

Kata Ilham, wacana itu sedang digodok oleh pemerintah dan DPR RI dalam proses revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Wacana yang belakangan muncul adalah keserentakan pilkada pada 2024 digeser untuk diterapkan 2027.

"Sepertinya akan diundur lagi pilkada dan pemilu serentaknya pada 2027," kata Ilham dalam Seminar Nasional "Mewujudkan Kualitas Pilkada Serentak Tahun 2020 di Era New Normal", Selasa 23 Juni 2020.

Isu ini lantas dibantah oleh Komisioner KPU RI I Dewa Raka Sandi. Dia menegaskan, pernyataan Ilham itu diambil dari kutipan sebuah berita pada Juni 2020 lalu, saat ada wacana revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan.

"Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Ilham Saputra selaku narasumber yang diambil kutipan untuk berita telah menyampaikan klarifikasi kepada media massa bahwa Pemilu sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 diselenggarakan pada tahun 2024," kata Raka Sandi dalam keterangannya, Selasa 17 Agustus 2021.

Yang shahih adalah, tegas Raka, KPU menaati dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, terkait penyelengaraan Pemilu dan Pemilihan. 

"Yang pada prinsipnya mengatur bahwa Pemilu dan Pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024," ungkap Raka Sandi.

Adapun kewenangan dalam hal pembentukan dan perubahan UU, lanjutnya, ada pada pembentuk UU, dalam hal ini adalah DPR bersama Pemerintah.

"KPU selaku penyelenggara Pemilu fokus pada tugas, wewenang dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau sebatas memberikan masukan dan pengalaman menjalankan Pemilu dan Pemilihan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku perwakilan Pemerintah dan DPR selaku perwakilan legislatif," jelas Raka Sandi.

KPU menyebut kesepakatan Tim Kerja Bersama bahwa Pemilu dan Pemilihan tetap diselenggarakan pada tahun 2024.

"Tetap diselenggarakan tahun 2024, sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016. Pemilu direncanakan pada tanggal 21 Februari 2024 dan Pemilihan Kepala Daerah pada tanggal 27 November 2024," kata Raka Sandi.

Penegasan lainnya juga disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Dia menyebut pemunduran jadwal pemilu tidak mungkin terjadi.

"Pemerintah maupun KPU sudah sama-sama membantah bahwa apa yang kemudian berkembang di media massa itu pemilu yang kemudian diundur 2027 itu kan tidak mungkin karena aturannya tidak mengatur soal itu," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (19/8/2021).

Saat ini, KPU dan pemerintah tengah fokus persiapan pemilu sesuai tahapan yang telah disepakati yakni 2024.

"Kita fokus saja pada persiapan-persiapan tahapan-tahapan yang mungkin akan segera disampaikan KPU. Kepada masyarakat jangan termakan isu-isu yang membuat imun turun. Ini kan kalau yang membuat dinamika-dinamika tidak perlu itu bisa membuat imun turun," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya