Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka baru kasus korupsi e-KTP, Isnu Edhi Wijaya dan Husni Fahmi. Kini, KPK didorong untuk melanjutkan pengusutan kasus mafia peradilan yang melibatkan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman mengapresiasi penahanan terhadap dua tersangka kasus korupsi e-KTP tersebut.
Baca Juga
"Saya beri apresiasi atas kinerja KPK yang menahan dua tersangka kasus korupsi e-KTP itu," kata Bonyamin Saiman saat dihubungi melalui telepon, Senin (7/2/2022).
Advertisement
Bonyamin menyebutkan, sampai saat ini tidak ada kasus korupsi yang tuntas ditangani KPK. Dia menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu kasus korupsi KPU tahun 2005, Miranda Goeltom, dan kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA yang melibatkan Nurhadi.
Khususnya untuk kasus suap dan gratifikasi eks Sekretaris MA Nurhadi, Bonyamin menyebut makelarnya belum ditangkap. Ia menyebut, ada tiga orang saksi yang diperiksa oleh penyidik KPK beberapa tahun lalu dilepas begitu saja.
"Padahal tiga saksi ini dicurigai ikut bermain dalam kasusnya Nurhadi. Kenapa mereka dilepas," ujarnya. Namun, Bonyamin tidak menyebutkan tiga saksi yang dimaksud.
Bonyamin menegaskan, ketidaktuntasan penanganan kasus Nurhadi tidak akan membuat jera oknum dan para mafia peradilan. Mereka akan terus mengulangi lagi di kasus yang berbeda.
Ia juga mempertanyakan kenapa rencana dikenakannya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap Nurhadi tidak diterapkan hingga kini.
"KPK enggak tuntas menangani perkara suap dan gratifikasi Nurhadi dan kasus-kasus lainnya," pungkas Bonyamin.
Diketahui, pada 17 Juni 2020 lalu, penyidik KPK memanggil lima orang saksi untuk dimintai keterangan dalam kasus suap dan gratifikasi eks Sekretaris MA Nurhadi. Kelima saksi itu adalah Direktur PT Delta Beton Indonesia tahun 2016 Roy Tahuwidjaja, dua pihak swasta bernama Mahendra Dito dan Moh Suli, serta manajer Hotel Subreeze bernama Bona Sakti Nasution, dan seorang karyawan Hotel Sunbreeze Dita Yusuf Pambudi.
Dieksekusi ke Lapas Sukamiskin
Jaksa KPK telah mengeksekusi eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono ke Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022) lalu. Keduanya merupakan terpidana kasus suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA. Mereka divonis enam tahun penjara.
"Memasukkannya ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara selama enak tahun dikurangi selama masa penangkapan dan penahanan yang dijalani," kata Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri, Jumat (7/1/2022).
Eksekusi tersebut berdasarkan putusan MA RI Nomor: 4147 K/Pid.Sus/2021 tanggal 24 Desember 2021 Jo Putusan Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta Nomor: 12/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI tanggal 28 Juni 2021 Jo Putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Maret 2021.
Selain pidana badan, keduanya juga diwajibkan membayar pidana denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Selain itu, Jaksa KPK juga melaksanakan eksekusi pidana badan terhadap penyuap Nurhadi, Hiendra Soenjoto ke Lapas Sukamiskin. Ia akan menjalani pidana pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara.
Eksekusi terhadap Hiendra berdasarkan putusan MA RI Nomor: 4555 K/Pid.Sus/2021 tanggal 8 Desember 2021 Jo putusan Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI tanggal 16 Juni 2021 Jo putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 02/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst tanggal 31 Maret 2021.
Selain itu, Hiendra juga dibebankan pidana denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
Dalam kasus ini, Nurhadi dan Rezky dinyatakan menerima suap sebesar Rp35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
Selain itu, keduanya juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Â
Advertisement