Cerita SMA Prisma Pioneer Adaptasi Pembelajaran Digital dengan Ruangkelas

SMA Prisma Pioneer sejak Juli 2021 memutuskan untuk menggunakan Learning Management System (LMS) dalam kegiatan pembelajaran blended learning atau hybrid learning yang dilaksanakan di sekolah.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 22 Feb 2022, 11:10 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2022, 11:10 WIB
Cerita SMA Prisma Pioneer Adaptasi Pembelajaran Digital dengan Ruangkelas
Suasana belajar dengan LMS Ruangkelas. (Dok. Ruangguru)

Liputan6.com, Jakarta Situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia telah memberikan dampak besar di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah harus berhenti dan digantikan dengan pembelajaran jarak jauh secara online. Perubahan yang besar ini menimbulkan banyak masalah, namun seiring berjalannya waktu dunia pendidikan dan berbagai stakeholder beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi digital dan internet.

Pandemi telah melahirkan metode pembelajaran digital, guru dan siswa tidak lagi bertatap muka langsung di kelas melainkan melalui layar ponsel, laptop maupun komputer yang terkoneksi dengan internet. Awalnya mudah tinggal memberikan tugas melalui group chatting dan email, hingga akhirnya timbul masalah yang mungkin tak diprediksi sebelumnya. Tugas menumpuk, memori kepenuhan, hingga kehilangan jejak dokumen-dokumen. Itu baru dari segi administrasi, belum lagi urusan sekolah yang terhitung jumlah.

Itulah sekilas cerita seputar adaptasi pembelajaran digital di era pandemi yang datang dari Kepala Sekolah sekaligus guru di SMA Prisma Pioneer dan mungkin banyak juga dialami oleh sekolah-sekolah lain di Indonesia. Untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi para siswa di masa pandemi, SMA Prisma Pioneer sejak Juli 2021 memutuskan untuk menggunakan Learning Management System (LMS) dalam kegiatan pembelajaran blended learning atau hybrid learning yang dilaksanakan di sekolah.

Learning Management System

Learning Management System secara umum merupakan sebuah perangkat lunak yang khusus dirancang guna untuk melakukan distribusi, membuat, dan melakukan pengaturan terhadap konten pembelajaran. Sistem yang dirancang dengan harapan bisa membantu para pengajar terutama guru untuk dapat merencanakan dan melakukan pembuatan silabus, mengelola bahan untuk pembelajaran, mengelola aktivitas belajar para siswa-siswanya, nilai para siswa, merekapitulasi absensi para siswanya, menampilkan transkrip nilai para siswa, dan mengelola tampilan untuk e-learning.

"Saya dan mungkin semua guru di Indonesia pernah mengira belajar dari rumah di awal pandemi itu paling lama mungkin beberapa minggu saja. Namun, diperpanjang jadi beberapa bulan dan akhirnya sudah masuk tahun kedua. Dari yang masih santai bikin kelas via WA (Whatsapp), setelahnya kita pake zoom, terus tugas dikumpulkan via google classroom, sampai akhirnya tiba di tingkatan administrator, saya jadi berpikir, kelas-kelas yang lain jalannya bagaimana ya?" ungkapnya.

Menjaga dan mengontrol kualitas kegiatan belajar menjadi pekerjaan rumah bagi para guru dan juga kepala sekolah. Rekapan menumpuk dan kadang-kadang mulai kehilangan jejak beberapa dokumen karena grup WA jadi puluhan jumlahnya. Begitu juga dengan tugas-tugas siswa yang akhirnya memenuhi memori smartphone. Menggunakan google classroom akhirnya sangat membantu, namun belum menjawab semua pertanyaan para pengajar.

"Bagaimana caranya melakukan supervisi kelas secara digital? Saya butuh LMS yang bisa mengijinkan saya masuk ke semua kelas yang dibuat oleh guru," katanya.

Tujuannya, supaya sebagai kepala sekolah dan pengajar dapat bisa melihat kegiatan belajar siswa, materi yang diunggah oleh guru, tugas-tugas dan soal-soal ujian yang dibuat oleh guru, dan persentase siswa-siswi yang merespon tepat waktu, serta hasil belajar berupa rata-rata nilai yang dihasilkan.

Setelah dikuatkan dengan visi digitalisasi sekolah dari Kemdikbud, Kepala Sekolah SMA Prisma Pioneer pun mengambil sebuah keputusan untuk menggunakan LMS berbayar.

"Ternyata tidak mudah meyakinkan Yayasan untuk mendukung keputusan saya menggunakan LMS berbayar. Kami rapat bersama sampai 6 kali dan saya revisi proposal saya sebanyak 5 kali. Saya membuat perbandingan dari beberapa provider hingga akhirnya saya memutuskan untuk memilih Ruangkelas, LMS dari Ruangguru," ceritanya.

Pengalaman SMA Prisma Pioneer dengan Ruangkelas

Ruangkelas
Ruangkelas. (Dok. Ruangguru)

Walaupun mulainya agak terlambat di pertengahan Agustus, namun Kepala Sekolah SMA Prisma Pioneer senang karena tim dari Ruangguru sangat support untuk pelatihan guru-guru dan bahkan tersedia grup WA khusus untuk troubleshooting apa saja seputar Ruangkelas, selama 24 jam 7 hari.

"Saat memulai, kami memang perlu beberapa hari pelatihan intens agar guru-guru bisa percaya diri mengoperasikan LMS Ruangkelas. Sebenarnya tidak sulit, saya bisa menggambarkannya sesederhana kita menggunakan Facebook, alias bisa karena biasa. Tampilan dan menu-menu di Ruangkelas sangat ramah pengguna, sehingga asalkan ada niat mencoba, saya jamin semua pasti bisa. Guru-guru di SMA Prisma Pioneer pun sangat beragam usianya, mulai dari usia 20-an hingga hampir pensiun diatas 60 tahun juga ada. Namun, bisa dan tidak bisa menggunakannya ternyata bukan karena faktor umur, tapi faktor motivasi diri," ujarnya.

Evaluasi Mingguan dan Target Terukur

Untuk membuat guru-guru termotivasi menggunakan LMS Ruangkelas, Kepala Sekolah membuat beberapa aturan dan target.

"Saya membuat evaluasi mingguan, menetapkan target terukur, misalnya: penggunaan menu absensi di minggu ke 1, memotivasi guru-guru untuk mencapai target tersebut, kemudian mengevaluasi aitem tersebut, dan melaporkan hasil evaluasi dalam pembagian kategori yang terinspirasi dari istilah pandemi," ujarnya.

Selanjutnya memberikan feedback evaluasi hasil kerja guru untuk penggunaan LMS berbentuk kartu-kartu yang terbagi dalam 3 kategori, yaitu: Zona Hijau, Zona Kuning, dan Zona Merah. Zona Hijau untuk yang performanya 80% keatas, Zona Kuning untuk yang performanya di antara 60% hingga 79%, dan Zona Merah untuk guru-guru yang performanya dibawah 60%.

Hasilnya, mayoritas guru-guru masuk ke Zona Hijau dan mengalami peningkatkan kualitas pembelajaran.

"LMS Ruangkelas sudah banyak membantu saya secara administrasi selama semester ini. Semua absensi terkumpul di sana, tugas-tugas siswa tidak lagi memenuhi memori smartphone saya, nilai-nilai siswa tercatat rapi dan bisa di download. Selain itu, saya bisa chat secara eksklusif tentang tugas di aplikasi tersebut," tuturnya.

Kepala Sekolah mengatakan dengan LMS Ruangkelas, siswa-siswa  mulai sadar bahwa smartphone bukan hanya tentang hiburan, tapi juga tentang belajar dan bertanggung jawab untuk mencatat kehadiran diri sendiri.

"Buat para siswa, mereka bilang kalau aplikasi Ruangguru mengingatkan mereka kapan ada tugas baru yang keluar, berapa tugas yang sudah selesai dan berapa yang belum, nilai-nilai setiap tugas juga langsung hadir “real-time”, sehingga kalau ada nilai kurang, mereka bisa langsung inisiatif minta remedial. Guru-guru juga dimudahkan karena remedial bisa dibuat kapan saja dan dimana saja. Bisa bikin soal baru, tapi kalau mau pake yang lama juga tinggal di duplikat," jelasnya.

Harapan Dibalik Sekolah Tatap Muka 100 Persen

Di saat sudah nyaman dengan LMS, Kepala Sekolah menghadapi kegalauan dengan rencana masuk sekolah 100 persen luring. Dia khawatir menghadapi arus balik untuk menggunakan cara lama.

Cara lama yang dimaksudkan adalah balik menggunakan kertas-kertas dan kertas lagi. Cara lama, dimana supervisi kelas harus dibuat dengan mengunjungi kelas yang sudah di setting untuk dikunjungi. Cara lama, dimana arus balik ini bisa membunuh visi digitalisasi sekolah dengan melemahkan motivasi guru untuk semakin paham literasi digital.

“Jangan sampai kita menyerah untuk belajar dan makin meningkatkan literasi digital, sementara kita harus mengajar si generasi digital," katanya.

Kepala Sekolah menyadari bahwa literasi digital sangat penting seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Dia bahkan tak percaya, kalau gambaran mengenai sekolah digital sudah ada sejak 17 tahun silam dalam buku biru, buku mind map dari impian-impian yang ditulis seusai tamat SMA.

"Di sana, di tahun 2004, tujuh belas tahun yang lalu, saya menulis, saya ingin membuat sekolah digital. Sekolah digital! Saya agak tidak percaya kalau saya pernah menulisnya 17 tahun silam.

Mengingat hal tersebut, Kepala Sekolah mengajak segenap pengajaran dan stakeholder lainnya untuk terus mengusahakan digitalisasi sekolah.

"Jadi, jangan menyerah, temukan saja caramu berselancar di atas arus balik itu.”

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya