Liputan6.com, Jakarta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menyampaikan organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) memang menyalurkan aliran dana ke dalam dan luar negeri. Meski begitu, tidak hanya dalam bentuk yayasan saja, namun juga secara individu.
"Laporan 2014 sampai 2022 terkiat entias yang kita diskusikan, kita melihat ada 10 negara yang terbesar terkait incoming, menerima atau pun keluar ya. PPATK melihat ada lebih dari 2 ribu kali pemasukan dari entitas asing ke yayasan ini. Angkanya di atas Rp 64 miliar. Lalu Kemudian ada ke luar dari entitas ini ke luar negeri, lebih dari 450 kali angkanya Rp 52 miliar sekian, jadi kegiatan dari entias ini ada aktivitas dengan luar negeri," tutur Ivan di Kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Ivan sedikit merinci setidaknya ada 10 negara besar yang terdeteksi dalam aliran dana ACT, antara lain Jepang, Turki, Inggris, Malaysia, Singapura, Amerika, Jerman, Hongkong, Australia, Belanda. Adapun angka tertinggi Rp 20 miliar.
Advertisement
"Banyak teman-teman menanyakan mengenai transkinya. Namun kita tidak bicara sesuatu yang ada salah dulu di sini," jelas dia.
Kemudian, lanjut Ivan, pihaknya turut melihat transkasi yang dilakukan yayasan kepada pihak tertentu, yang apabila dipatok pada Rp 700 juta ke atas, maka ada sekitar 16 pihak luar negeri baik individu atau pun lembaga asing yang menerima dana dari ACT.
Â
Dalami Sosok dan Kepentingan Transaksi
"Kemudian 10 negara terbesar yang terafiliasi, terbesar keluar antara lain adalah Turki, Thailand, China, Palestina, kemudian beberapa negara lain. Dan ada beberapa transaksi lainnya yang perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut oleh aparat penegak hukum, terkait diduga terkait aktivitas terlarang di luar negeri sana, baik langsung dan tidak langsung. PPATK sudah memberikan hasil analisis terhadap teman-teman penegak hukum terkait," ujar Ivan.
Selanjutnya, PPATK mendalami lebih lanjut terkait sosok pemberi aliran dana secara individu yang merupakan anggota ACT ke beberapa negara dan pihak lainnya. Termasuk terkait dengan kepentingan dari transaksi tersebut.
"Misalnya salah satu pengurus melakukan pengiriman dana periode 2018-2019 hampir senilai Rp 500 juta ke Turki Kazakhstan, Bosnia, Albania, dan India oleh para pengurus. Kemudian ada juga salah satu karyawan yang dilakukan selama periode 2 tahun, mengirim ke negara-negara beresiko tinggi terkait pendanaan terorisme dengan 17 kali transaksi dengan nominal Rp 1,7 miliar, antara Rp 10 juta sampai Rp 552 juta, jadi kita lihat beberapa melakukan sendiri-sendiri ke beberapa negara," Ivan menandaskan.
Advertisement