Anggota DPR Luluk Nur Hamidah Minta Pemerintah Percepat Bentuk PP Perpres Turunan UU TPKS

Luluk menilai, korban kekerasan seksual pasca-disahkannya UU TPKS, tidak langsung ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU tersebut karena tidak adanya pedoman teknis.

oleh stella maris diperbarui 09 Jul 2022, 18:35 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2022, 18:18 WIB
DPR Sahkan UU TPKS
Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyerahkan laporan tanggapan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani mengenai pengesahan RUU TPKS dalam rapat paripurna ke-19 masa persidangan IV di Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Jakarta, Selasa (12/4/2022). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah perlu segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2020 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Demikian ditegaskan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah. Luluk mengingatkan bahwa UU TPKS mengamanatkan pembentukan 10 PP dan Perpres sebagai pedoman teknis pelaksanaan UU TPKS.

"Meskipun UU memberikan waktu hingga dua tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, namun mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan seksual di Tanah Air, maka mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan PP dan Perpres tersebut," kata Luluk di Jakarta, Jumat (8/7).

Dia menilai, hingga saat ini publik menilai bahwa sosialisasi yang dilakukan Pemerintah tidak cukup terkait UU TPKS yang dilakukan melalui media cetak elektronik, ataupun saluran media lainnya.

Menurut dia, sosialisasi justru lebih banyak dilakukan kelompok masyarakat sipil ataupun individu-individu yang sejak awal melakukan pengawalan terhadap pembentukan UU TPKS, padahal semestinya menjadi tanggung jawab Pemerintah.

"Hingga saat ini, aparat penegak hukum di lapangan juga kesulitan menjadikan UU TPKS sebagai rujukan dalam penanganan kasus kekeraaan seksual karena tidak adanya sosialisasi, SOP, pelatihan dan bimbingan teknis terkait hukum acara yang digunakan dalam UU TPKS," ujarnya.

Dia menilai, korban kekerasan seksual pasca-disahkannya UU TPKS, tidak langsung ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU tersebut karena tidak adanya pedoman teknis. Hal itu menurut dia seharusnya menjadi atensi serius pemerintah, jangan terkesan masih memiliki waktu dua tahun, lalu tidak ada alasan untuk segera membuat PP dan Perpres.

"Berbagai peristiwa kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini, terutama korban anak-anak yang terjadi di lingkungan keluarga, ataupun korban di bawah pelindungan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan berasrama-pesantren, panti asuhan, seperti kejadian di Depok, Cianjur, dan berbagai daerah lainnya, masih terus terjadi dengan intensitas yang mengerikan," katanya.

Selain itu menurut dia, kebuntuan prosedur penanganan TPKS karena koordinasi yang belum terpadu antar-institusi, yang pada akhirnya korban kekerasan seksual akan tetap menderita karana tidak segera mendapat pendampingan dan pemulihan.

"Saya harap pemerintah melakukan langkah cepat yg menyangkut masalah teknis dengan mengintensifkan koordinasi antar K/L terkait. Seharusnya dalam waktu enam bulan sejak ditetapkan sebagai UU, pemerintah sudah siap dengan PP dan Perpres," ujarnya.

Menurut dia, hal yang harus segera dipercepat adalah pelatihan bagi aparat penegak hukum (APH) yaitu mendapat sosialisasi dan minimal SOP yang dapat digunakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pasca UU TPKS disahkan.

 

(*)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya