Repatriasi Prasasti Pucangan Dinilai Bagian Upaya Penanaman Nilai Kebangsaan

Menurut Lestari, Prasasti Pucangan mengungkapkan pentingnya nilai persatuan yang lahir dari hubungan sosial yang harmonis yang dipraktikkan pada pemerintahan Raja Airlangga.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Sep 2022, 19:44 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2022, 19:02 WIB
MPR
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta Mengedepankan nilai-nilai kebangsaan dalam proses pembangunan sangat penting. Repatriasi Prasasti Pucangan, yang mengandung nilai-nilai kebangsaan pada masa Raja Airlangga, merupakan bagian upaya negara untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada setiap anak bangsa.

"Repatriasi Prasasti Pucangan selain didorong karena nilai historisitasnya, juga merupakan bukti sudah diterapkannya nilai-nilai kebangsaan di masa itu. Apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah dan semua pihak yang terlibat dalam percepatan proses repatriasi Prasasti Pucangan ke tanah air," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Repatriasi Prasasti Pucangan dari India yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama DPP Partai NasDem Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dan Bidang Hubungan Sayap dan Badan, Rabu (14/9/2022).

Diskusi yang dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Irwansyah itu dihadiri Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan, Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru, Duta Besar RI untuk Republik India Y.M Ina Hagningtyas Krisnamurthi, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Badri Munir Sukoco,  Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Agus Aris Munandar dan Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia Ninny Susanti Tejowasono sebagai narasumber.

Menurut Lestari, Prasasti Pucangan mengungkapkan pentingnya nilai persatuan yang lahir dari hubungan sosial yang harmonis yang dipraktikkan pada pemerintahan Raja Airlangga, kendati petaka seperti perang, bencana dan persaingan kekuasaan antarkerajaan tak bisa dihindari.

"Lewat Prasasti Pucangan kita bisa memahami bahwa keragaman Indonesia hari ini bukan proses sesaat," ucap Rerie, sapaan akrab Lestari dalam keterangannya.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai keterhubungan emosi dan ideologi suatu bangsa menjadi penentu pelestarian setiap benda bersejarah yang dimiliki.

"Tanpa keterkaitan emosi dan ideologi, sejarah dengan segala kekayaannya hanya akan menjadi catatan masa lalu tanpa implikasi berarti dalam perjalanan suatu bangsa," tegas Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu.

Sementara itu Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan berpendapat, repatriasi Prasasti Pucangan dari India merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas kesejarahan Indonesia.

Apalagi, ujar Farhan, pada Peraturan Pemerintah no 87 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU no 5 tahun 2017 mengenai Pemajuan Kebudayaan, pada Pasal 55 sudah mengamanatkan bahwa penyelamatan objek pemajuan budaya dilakukan dengan cara revitalisasi, repatriasi dan restorasi.

"Jadi memang ada kewajiban negara yang diamanatkan oleh Pasal 55 di PP Nomor 87 Tahun 2021 terkait repatriasi benda-benda bersejarah,"  tegas Farhan.

Proses repatriasi Prasasti Pucangan, ujar Farhan, bisa dijadikan bagian dari strategi diplomasi budaya antara Indonesia dan India.

Menurut Farhan, pemerintah Indonesia dapat menawarkan tindakan resiprokal kepada Pemerintah India, terkait repatriasi Prasasti Pucangan ke Indonesia. Farhan mengusulkan, antara Indonesia-India dibangun kerja sama wisata religi agama Hindu dengan tujuan candi-candi Hindu di Indonesia.

 

Bagian dari Jati Diri Bangsa

Sedangkan Anggota Komisi X DPR RI, Ratih Megasari Singkarru berpendapat, Prasasti Pucangan merupakan bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Diakuinya, upaya pemulangan kembali Prasasti Pucangan yang sudah berlangsung 3 tahun terakhir, saat ini sudah memperlihatkan titik terang.

Ratih mengapresiasi respons Pemerintah Indonesia yang cepat dan serius dalam proses repatriasi Prasasti Pucangan ini.

"Karena nilai-nilai yang terkandung pada Prasasti Pucangan bisa menjadi sumber ilmu dalam proses edukasi bagi setiap anak bangsa," ujar dia.

Adapun Duta Besar RI untuk Republik India, Y.M Ina Hagningtyas Krisnamurthi mengungkapkan, pihaknya sudah melacak keberadaan Prasasti Pucangan yang di India yang dikenal sebagai Calcuta Stone.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), ujar Ina, berhasil menemukan catatan pengiriman barang oleh pihak-pihak terkait seperti badan arkeologi dan pengelola museum, dalam proses pencarian prasasti tersebut.

"Dalam proses diplomasi, diplomasi budaya adalah bagian penting untuk membangun rasa saling percaya antarnegara. Karena itu, Ina sependapat dengan usulan Farhan untuk membangun kerja sama wisata religi agama Hindu dengan India, terkait proses repatriasi,"  tegas Ina.

Lewat kerja sama itu, jelas Ina, sekaligus dapat membangun keterhubungan kedua negara yang berkelanjutan. "Dalam proses repatriasi, kita harus menjaga momentum lewat membina komunikasi berkelanjutan dalam bentuk apa pun," ujar dia.

Selain itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid juga mengungkapkan, saat ini Prasasti Pucangan berada di Indian Museum di Calcuta, India. Menurutnya, pembicaraan terkait proses repatriasi baru pada tahap untuk melakukan penelitian bersama antara Indonesia dan India untuk memastikan keaslian dan asal-usul prasasti tersebut.

"Hasil penelitian tersebut akan menjadi dasar untuk menentukan langkah selanjutnya dalam upaya memulangkan Prasasti Pucangan ke Tanah Air," jelas Hilmar. 

Untuk mempercepat proses pemulangan prasasti itu, Hilmar mengusulkan, untuk mempercepat pengiriman para ahli dalam rangka persiapan penelitian bersama itu.

 

Bertuliskan Jawa Kuno

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Badri Munir Sukoco berpendapat untuk melakukan transformasi suatu bangsa bisa dilakukan lewat penetapan tujuan bernegara yang dipahami setiap warga negara.

Badri mengungkapkan cerita sukses Tiongkok yang saat ini menjadi salah satu penguasa ekonomi dunia, lewat penanaman tujuan negara kepada setiap warganya sejak usia dini.

"Dalam membuat tujuan bernegara itu, bisa didasari atas kisah sejarah masa lalu di mana kerajaan-kerajaan di Nusantara pernah menjadi bangsa yang unggul di kawasan," jelas Badri.

Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia, Ninny Susanti Tejowasono mengungkapkan, Prasasti Pucangan yang terdiri dari dua bagian itu memaparkan perjalanan sejarah Raja Airlangga dan orang-orang di sekitarnya dan ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.

Sejak 2003, ungkap Ninny, pihaknya sudah menjadikan Prasasti Pucangan sebagai bagian kajian terkait sepak terjang Raja Airlangga. Menurut Ninny, pada bagian prasasti yang bertuliskan bahasa Jawa Kuno sudah mengalami kerusakan yang cukup parah.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar mengungkapkan bahwa Prasasti Pucangan adalah sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja atau raja sejajar dengan titah dewa-dewa, sehingga prasasti itu dianggap keramat.

Kekuatan Raja Airlangga di masa lalu, tegas Agus, ikut menjaga keutuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara dari serbuan pihak luar, pascajatuhnya Kerajaan Sriwijaya.

Di akhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat menilai Prasasti Pucangan merupakan benda bersejarah yang sangat penting untuk segera dibawa kembali ke Indonesia.

Raja Airlangga, ujar Saur, sudah menerapkan prinsip-prinsip toleransi dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di masa kepemimpinannya. Namun saat ini, di negeri ini masih saja terjadi praktik intoleransi di sejumlah daerah. Karena itu, tegasnya, sangat penting Prasasti Pucangan untuk bisa segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Saur menyarankan tim ahli Indonesia-India harus segera dibentuk agar bisa melakukan penelitian. Sedangkan untuk upaya diplomasi dalam proses repatriasi, Saur mendorong, agar diangkat ke tingkat politik yang lebih tinggi setingkat pimpinan negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya