Liputan6.com, Jakarta Sekitar 7 juta orang meninggal tiap tahunnya akibat polusi udara. Bahkan, The Lancet menyebut, polusi udara bertanggung jawab atas hampir 9 juta kematian dini pada 2019.Â
Tak heran jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut polusi udara sebagai satu-satunya ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia.
Bagaimana tidak? Sekitar 99 persen penduduk di dunia, hidup di lingkungan yang tidak aman bagi kesehatan. Setiap hari, mereka terpapar polusi udara yang berasal dari outdoor (ambient) dan indoor (rumah tangga).
Advertisement
Sumber polusi outdoor paling utama berasal dari penggunaan energi dari batu bara, kebakaran hutan, pembakaran sampah, dan asap pabrik. Sedangkan, sumber polusi indoor misalnya penggunaan plastik sebagai bahan bakar alternatif.
Jika berbicara soal polusi udara di Indonesia, setiap mata otomatis tertuju ke DKI Jakarta. Beberapa kali, DKI Jakarta memang menjadi juara pertama, kota paling buruk kualitas udaranya versi IQAir. Sebut saja pada 22 Juni 2022 atau tepat pada hari ulang tahunnya.
Sejak saat itu, hingga sekarang, belum banyak perbaikan kualitas udara yang tercatat.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Ibu Kota pada tahun ini hingga 20 Desember 2022 menunjukkan hanya ada 3 hari baik, 213 sedang dan 136 tidak sehat.
Angka ini bahkan lebih buruk dari ISPU Jakarta pada 2021, di mana tercatat ada 6 hari dalam kategori sehat, 220 hari sedang dan 139 hari tidak sehat.
Sumber polusi udara terbesarnya berasal dari sektor transportasi untuk polutan PM 2,5, NOx, dan CO. Kontributor kedua adalah industri pengolahan terutama untuk polutan SO2.
Laporan Pemprov DKI dan Vital Strategies menunjukkan total emisi PM 2,5 di Ibu Kota pada 2018 mencapai 7.842 ton. Dari jumlah tersebut, 67,04 persennya berasal dari sektor transportasi.
Jika ditengok lima tahun terakhir, hanya ada 78 hari di Jakarta dengan kualitas udara sehat. Hal ini dari rangkuman catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta via Jakarta Open Data, selama 2017-2022. Namun dengan catatan, untuk Mei 2019 hanya tersedia data tanggal 1-12.Â
Variabel yang diukur adalah PM 10, SO2, CO, O3, NO2, PM 2,5.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara, ada enam polutan yang dijadikan sebagai indikator kualitas udara, yakni karbon monoksida, ozon permukaan, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, PM 10, dan PM 2,5.
Peneliti dari McGill University menyebut, di antara berbagai jenis polusi udara, PM 2,5 lah yang membunuh paling banyak orang di seluruh dunia. Saking kecil ukurannya, miliaran partikel ini dapat masuk ke sel darah merah.Â
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, secara umum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kadar PM 2,5. Salah satunya, cuaca. Hujan dapat mengurangi kadar PM 2,5. Begitu juga sebaliknya jika musim kemarau tiba.Â
Liputan6.com bersama Pacmann kemudian mencoba membuktikan korelasi antara curah hujan, temperatur, dan kecepatan angin sebagai faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi PM 2,5 di udara, dengan menggunakan Spearman Correlation. Sampel data yang dipakai berasal dari Jakarta Pusat.
Hasilnya, temperatur permukaan, curah hujan, dan kecepatan angin memang memiliki korelasi dengan konsentrasi PM 2,5.
Â
Terlepas dari hal itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pun merancang strategi pengendalian pencemaran udara. Pertengahan September 2022 lalu, Pemprov DKI pun menyampaikan ke publik komitmennya dalam mengendalikan pencemaran udara hingga 2030.
Salah satu tujuannya, menurunkan persentase polutan paling fatal, yakni partikel halus partikulat mikron atau PM 2,5. Targetnya, tingkat polutan PM 2,5 ini turun hingga 41 persen pada 2030.
Liputan6.com menganalisis data tersebut. 2022 hanya tinggal hitungan hari. Anggap saja usaha pengurangan PM 2,5 dimulai pada awal 2023, maka setidaknya ada penurunan 5,86 persen tiap tahunnya.
Hal ini menjadi penting ditepati, lantaran Air Quality Life Index (AQLI) atau indeks kehidupan kualitas udara berdasarkan laporan dari Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) mengungkap potensi terburuk jika tingkap polusi di Jakarta tidak mengalami perbaikan.
EPIC memperkirakan, penduduk Jakarta berpotensi kehilangan harapan hidup sekitar 3-4 tahun akibat polusi udara. Estimasi ini tertuang dalam laporan tahunannya yang dirilis pada 14 Juni 2022.
Laporan tersebut menyebut hampir seluruh wilayah Asia Tenggara dianggap memiliki tingkat polusi yang mengkhawatirkan. Kenyataan ini bahkan tidak berubah selama pandemi terjadi pada 2020.
Kala pandemi, polusi udara justru meningkat 25 persen di sejumlah wilayah.
"Penduduk yang tinggal di bagian paling tercemar di Asia Tenggara pada 2020 di wilayah sekitar kota Mandalay, Hanoi, dan Jakarta diperkirakan kehilangan harapan hidup rata-rata tiga hingga empat tahun," isi laporan AQLI.
Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan keterkaitan antara polusi udara dan harapan hidup seseorang.Â
Dokter yang juga Ahli Kesehatan Lingkungan itu mengawalinya dengan mengingatkan soal pentingnya isu polusi udara, tak hanya di DKI Jakarta, tapi juga global. Dia menilai polusi udara adalah isu krusial.
"Siapa yang enggak perlu udara? Siapa yang enggak perlu oksigen? Setiap makhluk hidup perlu oksigen, sehingga sangat amat layak dan sangat penting bahkan, karena ini vital kita semua memiliki concern kualitas udara yang baik," ujar Dicky saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 21 Desember 2022.
Dia menuturkan, kualitas udara yang sehat merupakan salah satu kontributor dalam perbaikan di segala aspek. Salah satunya pada kesehatan manusia.
Menurut dia, jika berbicara soal udara, tentu menyertakan soal patogen-patogen. Patogen adalah organisme kecil yang menyebabkan gangguan kesehatan.
"Jadi polutan itu kan yang mencemarinya. Polutan itu bisa menjadi wahana atau alat nebeng-nya patogen," kata Dicky.
Contohnya pada kasus Covid-19 yang disebabkan Virus Corona. Virus Corona, lanjut dia, mampu menulari manusia pada jarak rata-rata 2 meter.Â
"Tapi kalau dia di situ polutannya banyak, bisa lebih jauh. Bisa terbawa lebih jauh. Dia bisa menempel ke polutan," ucap dia.
Oleh karena itu, polusi dapat memicu dampak buruk pada kesehatan, bukan hanya terkait dengan polutan yang terhirup manusia. Tak heran, jika WHO merekam data, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian per tahun.
Memang, 7 juta jiwa ini setara dengan 1 persen dari jumlah penduduk dunia. Namun, persentase itu tidak dapat disepelekan.
"1 Persen itu tentunya tidak bisa remehkan karena tentunya kalau kita berbicara populasi Indonesia yang besar, 1 persen itu besar. Kita itu bukan penduduk seperti Singapura atau negara kecil di Pasifik yang di bawah 1 juta, 1 persennya kecil. Tapi 1 persen dari 100 juta setahun? Besar. 1 Juta setahun," tutur Dicky.Â
Hanya saja, pendataan di Indonesia soal kolerasi polusi udara pada kematian, masih buruk di dunia. Sehingga tidak terdata berapa jiwa yang meninggal karena polusi udara.
Padahal, 800 kematian akibat kanker, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan jantung yang secara langsung disebabkan oleh hirupan udara yang berpolusi. Ini merujuk pada penelitian yang dilakukan Coperniucus Atmosphere Monitoring Service dan sejumlah pihak, di 47 kota di Eropa.
Yang jelas, kata Dicky, data-data dan penelitian di tingkat global telah membuktikan adanya korelasi antara kualitas buruk udara dengan harapan hidup penduduk.
"Kalau mengatakan bahwa di tengah kualitas udara di Jakarta yang tidak baik-baik saja, kemudian dikatakan harapan hidupnya tidak terganggu, itu jelas dipertanyakan," ujar Dicky.Â
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto pun mengamini keterkaitan dua hal tersebut. Dia berharap temuan dari sejumlah lembaga itu mampu menyadarkan seluruh pihak tentang bahaya polusi udara.
"Memang tidak dipungkiri polusi udara berakibat signifikan pada kesehatan manusia. Hal ini yang akan menjadi perhatian kami sebagai pemerintah untuk terus fokus pada upaya pengurangan polusi udara di Jakarta. Kami berharap, dengan adanya temuan ini, banyak juga yang lebih sadar akan bahanya polusi udara dan bersama-sama mengurangi polusi udara bersama-sama," kata Asep kepada Liputan6.com, Selasa 20 Desember 2022.
Apa yang Salah?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menguji coba dan menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi polusi udara. Sebut saja kerja keras Pemprov DKI Jakarta dalam mendongkrak penggunaan transportasi umum. Selain mengatasi kemacetan, upaya ini diharapkan mengurangi polusi udara.
Namun, tidak ada hasil positif. Apa yang salah?
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan kebijakan-kebijakan yang ditelurkan Pemprov DKI Jakarta belum efektif. Misalnya saja dalam pembatasan kendaraan guna mengurai kemacetan lalu lintas yang parah dan polusi udara.
"Belum efektif," ujar Nirwono ketika dihubungi Liputan6.com.
Dia mengatakan Pemprov DKI tidak berani menerapkan kebijakan secara tegas dan tidak populis, seperti perluasan ganjil genap, jalan berbayar elektronik, parkir elektronik progresif, penataan infrastruktur pejalan kaki (trotoar, halte, JPO, jembatan penghubung), dan pembangunan kawasan simpul transportasi massal sebagai kawasan terpadu.
Pada sisi lain, masyarakat masih saja ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi. Seperti yang dibahas di atas, penyebab utama polusi udara di Jakarta adalah sektor transportasi, yakni 70-75Â persen, di mana kendaraan pribadi penyumbang polusi terbesar 50-60Â persen.
"Serta tata ruang kota yang semrawut menjadi penyebab utama akumulasi buruknya kualitas udara," jelas Nirwono.
Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, juga menilai sumber pencemar udara masih terus ada.Â
"Dan tanpa ada rencana pengendalian yang strategis serta terstruktur dari pemerintah," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Sementara, tukas dia, DKI Jakarta tidak bisa mengandalkan cuaca, apalagi menyalahkannya.
Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman memiliki fokus pandangan lain soal ini. Dia memandang celah ketidakefektifan kebijakan tersebut, berasal dari ketiadaan data.
Ketika berbicara advokasi, dia menilai, harus ada data yang memperkuatnya. Advokasi di sini baik yang ditujukan kepada pemimpin maupun masyarakat.Â
"Kita enggak bisa dan kurang kuat dalam upaya advokasi itu, kalau tidak memiliki data. Data sebenarnya tidak mesti yang kaya banget, kompleks waah! Yang sederhana saja ya," kata Dicky.Â
Menurut dia, paling mudah memberi gambaran soal pentingnya kesehatan lingkungan ke pemimpin, dengan mengaitkannya dengan sektor ekonomi.
Dia menyebut, negara yang memiliki human development index yang baik, biasanya merupakan bangsa yang tidak berpolusi lingkungannya. Â
Selain itu, DKI Jakarta dan daerah lainnya bisa memetik pelajaran dari pandemi Covid-19. Belajar dari pandemi Covid-19, kesehatan itu kritikal.
"Jadi tanpa kesehatan, bagaimana negara itu bisa maju ekonominya? Bagaimana bisa melakukan aktivitas? Jadi ini perlu dibangun masalah data. Sekali lagi tidak perlu yang complicated. Sebetulnya data itu ada, tinggal dicari," kata dia.
Jika dana dan tenaga terbatas, pemerintah bisa menggandeng lembaga luar seperti NGO.
Namun, hal utama yang harus dikejar adalah komitmen pemerintah dan dukungan masyarakat. Kampanye melalui media sosial ke masyarakat tidak akan efektif ketika tidak ada data penguat, meski sekarang eranya partisipasi publik.Â
"Caranya apa? Kita bisa memperlihatkan data. Ini ada yang sudah ada, tinggal dikawinkan. Misal dengan data infeksi saluran pernafasan pada anak dikaitkan dengan kadar polusi di Jakarta. Itu bisa dikawinkan. Secara tren, pasti logika ilmiah saja, trennya pasti akan ada liniernya. Kalau kasus ISPA meningkat, berarti di situ ada masalah pada kualitas udara. itu yang harus disampaikan kepada publik. Pasti, wah ini harus kita dukung nih kualitas udara," tutur Dicky.
"Di situ termasuk dukungan untuk program-program yang mendukung. Misalnya kalau pergi dekat ya jalan kaki atau naik sepeda. Ini yang sekali lagi kalau disebut based on evidence ya seperti itu. Itu yang menjadi PR-nya untuk Jakarta," sambung dia.Â
Â
Advertisement
Yang Akan Terjadi di 2023
Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengungkap, selama 2022 hingga 20 Desember lalu, hanya ada 3 hari yang memiliki Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) baik. Sementara, 213 hari lain pencemaran udaranya tergolong sedang dan 136 hari masuk ke kelompok tidak sehat. Â
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan, memprakirakan kualitas udara di Jakarta bakal masih sama pada 2023 jika sumber emisi tidak ditekan secara signifikan.
"Jakarta sebagai wilayah urban dengan sumber antropogenik yang mempengaruhi kualitas udara setempat. Jika tidak terdapat perubahan yang signifikan terhadap aktivitas antropogenik/sumber emisi, maka kualitas udara tidak akan berubah," ungkap Dodo kepada Liputan6.com, Kamis 22 Desember 2022.
Menurut dia, perubahan tersebut harus segera dilakukan. Mumpung baku mutu ozon permukaan di DKI Jakarta masih baik. Hal itu berdasarkan pemantauan ozon permukaan di Stasiun Kemayoran dan Bukit Kototabang.
"Pengukuran kadar Ozon Permukaan dilakukan dengan peralatan otomatis. Pengukuran di Stasiun Kemayoran menggunakan alat Ozone Analyzer dengan metode UV Photometric, sedangkan di Stasiun Bukit-Kototabang menggunakan alat Ozone Analyzer tipe TEI49C dengan metode UV-Absorption. Baku mutu ozone sebesar 120 ppb (baik)," jelas Dodo.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, pada 2023, pemprov berupaya memperbaiki sejumlah aspek untuk menaikkan kualitas udara Ibu Kota. Salah satunya, tegas menerapkan aturan.
"Kami akan berupaya untuk menerapkan sanksi untuk pengguna kendaraan yang tidak lolos uji emisi di Jakarta. Baik itu dari sanksi tarif parkir yang lebih tinggi ataupun sanksi pajak kendaraan yang lebih tinggi untuk kendaraan yang tidak lolos uji emisi," kata Asep.
Pemprov juga berupaya melaksanakan putusan pengadilan terkait citizen lawsuit soal kualitas udara Jakarta. Apalagi, lanjut dia, Pemprov DKI Jakarta menerima putusan terbukti bersalah dari pengadilan.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis bersalah lima pejabat negara atas pencemaran udara di DKI Jakarta. Majelis hakim menghukum mereka agar melakukan sejumlah langkah perbaikan kualitas udara di Ibu Kota.
Juga menghukum Gubernur DKI Jakarta untuk mengawasi ketaatan setiap orang akan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Gubernur DKI Jakarta pun diminta menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melanggar perundang-undangan tersebut. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta harus menyebarluaskan informasi pengawasan dan penjatuhan sanksi berkaitan pengendalian pencemaran udara kepada masyarakat.
"Hingga saat ini, kami terus berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh Pemprov Jakarta sesuai dengan putusan tersebut. Contohnya adalah dengan membuat rencana aksi perbaikan kualitas udara yang terdiri dari 75 rencana aksi yang telah kami paparkan dalam public expose Oktober lalu. Selain itu, pengawasan standar baku mutu industri masih dijalankan bersamaan dengan upaya kami menerapkan sanksi untuk yang tidak lolos uji emisi," jelas Asep.
"Dengan upaya-upaya kami dan juga kerja sama yang baik dengan para mitra, kami yakin akan bisa mengurangi sumber emisi yang ada di Jakarta. Selain itu, kami berupaya untuk bekerja sama dengan kota kota daerah sekitar dalam mengurangi polusi udara di Jakarta," sambung dia.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Greenpeace. Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan polusi udara tidak bisa diselesaikan Pemprov DKI Jakarta sendiri. Sebab, polusi udara bersifat lintas batas.
"Sejatinya polusi udara ini lintas batas, seharusnya ada upaya bersama yang dilakukan bersama dan terstruktur antar pemerintah daerah hingga ke pemerintah pusat. Beban utamanya bukan hanya ada d DKI Jakarta," ucap Bondan.
Namun, dia mengkritik target DKI Jakarta yang ingin menurunkan 41 persen polusi udara pada 2030. Dia menyebut, target itu terlalu kecil.Â
"Saat ini data tahunan PM 2,5 DKI antara 30-40 ug/M3. Nah, kalau ditargetkan hingga 2030 turun 41 persen, ingat BMUA (baku mutu udara ambien) tahunan PM 2,5 adalah 15 ug/m3. Kalau targetnya hanya turun 41 persen, artinya bisa dipastikan hingga 2030 warga DKI masih akan menghirup PM 2,5 yang di atas BMUA atau dalam kata lain masih TERCEMAR," tukas Bondan.
Rindu Langit Biru
Ahli Kesehatan Lingkungan Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan ada cara sederhana mendeteksi kualitas udara baik di sebuah wilayah. Pertama, jika langit berwarna biru dalam waktu relatif lama pada pagi hingga siang hari. Semakin lama langit biru tampak, semakin baik pula kualitas udaranya.
Kedua, adanya hewan malam seperti kunang-kunang pada malam hari.
"Yang salah satu menjadi indikator itu kunang-kunang. Jadi kalau di satu wilayah atau kota kunang-kunangnya masih banyak, itu berarti bagus. Di sini, di Brisbane, dua duanya terpenuhi. Langitnya dari pagi sampai sore itu biru banget. Harusnya kita bisa capai itu untuk konteks Jakarta," kata Dicky.Â
Menurut dia, pada pembatasan pergerakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 lalu, kualitas udara di Jakarta sempat membaik. Langit biru, hampir setiap hari, menghiasi Ibu Kota dari pagi hingga siang.
"Tapi semenjak pengetatan berlalu, pertengahan 2022 ini kita melihat bahwa PM 2,5 itu masih tinggi terutama di pagi sampai siang. Dan itu bisa rata-rata 3 kali lipat di atas yang disarankan. Ini yang saat ini tercatat ya," ujar Dicky.
Ada sejumlah hal yang menyebabkan tingginya polusi udara pada pagi hingga siang hari di Jakarta. Pertama, karena aktivitas masyarakat. Kedua, terkait gravitasi.
Bukan rahasia, di sekitar Jakarta banyak pabrik. Sebagian berproduksi pada malam hari, asapnya pun membumbung ke langit. Namun, karena ada gravitasi, partikel kecil polutan turun. Semakin pagi, partikel itu makin rendah.
"Makanya polusi tinggi di pagi hari. Masyarakat percaya udara pagi sehat, hahaha.. di Jakarta enggak. Ini bahaya. Olah raga pagi itu tidak pas kalau di Jakarta. Pagi jelang siang udaranya bukan yang paling baik. Malah paling tinggi dibanding sore dan malam. Ini yang harus dipahami dalam konteks Jakarta," jelas dia.
Dia menilai ada baiknya Jakarta berkaca pada China. Secara kasat mata, lanjut Dicky, kualitas udara Jakarta hampir sama dengan Shanghai, China.Â
Namun, China sudah menunjukkan perbaikan.Â
"China itu negara yang memperlihatkan, perbaikan memerlukan waktu setidaknya 10-15 tahun. Pada 2000-an mulai meninggalkan batu bara seperti India. dulunya itu buruk banget di China itu. Seperti di India lah. India sekarang banyak kotanya kalau keluar kayak menghirup rokok berapa batang. Dulu China seperti itu," tutur Dicky.
Bagaimana caranya Jakarta bisa meniru China?
Dia menyebut, hal utama adalah leadership yang berbasis science, evidence based, mendengarkan science, dan memiliki health expert group. Pemimpin harus paham, masalah polusi memiliki dampak yang serius dan panjang.
"Bukan hanya berbicara ke sehatan di situ ada ekonomi dan lain-lain. Dengan leadership yang berbasis science, maka dia menerapkan, oke kita perbaiki. Jadi kebijakannya berbasis lingkungan. Sebenarnya kita sudah punya itu sejak zaman Pak Harto (Presiden Kedua RI Soeharto), pembangunan berwawasan lingkungan. Tapi dalam narasinya saja, bahkan merusak lingkungan juga, sampai sekarang. Menurut saya mengkhawatirkan," pungkas Dicky.
Â
Analisis dan Visualisasi Data oleh Pacmann
Analisis: Wahyu Hidayat, Alvin Noza
Visualisasi: Wahyu Hidayat, Alvin Noza
Advertisement