Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir masyarakat dibuat resah oleh maraknya konten ngemis online dalam layanan live streaming di aplikasi TikTok. Cara tersebut diyakini dapat mendatangkan keuntungan dalam waktu yang cepat. Sebab mereka mendapatkan belas kasihan berupa hadiah dari para penonton.
Pelaku yang dipertontonkan dalam kegiatan ngemis online tersebut kebanyakan para lanjut usia atau lansia. Kegiatan live streaming itu juga memperlihatkan seorang nenek mandi lumpur atau berendam di kolam saat tengah malam dan tampak menggigil kedinginan.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan bahwa berdasarkan penelitian yang ada aktivitas meminta-minta bantuan dan disertai dengan perilaku yang ekstrem bukanlah hal yang baru. Menurut dia, kegiatan meminta-meninta dengan pola esktrem juga kerap terjadi dilakukan secara offline.
Advertisement
Misalnya dengan memutilasi tubuhnya sendiri demi mendapatkan rasa iba dan simpati dari orang lain. Devie menyebut aktivitas meminta-minta merupakan bagian dari perilaku manusia. Bahkan di berbagai negara kegiatan meminta-minta di jalanan sudah menggunakan pembayaran secara digital.
"Praktik ini sudah sangat tua. Kebetulan sekarang mediumnya yang berpindah. Kalau dulu mereka meminta minta via offline sekarang pindah ke dunia online," kata Devie kepada Liputan6.com.
Kata Devie, terdapat sejumlah motif yang melatarbelakangi aktivitas meminta-minta. Seperti halnya adanya desakan ekonomi hingga sarana pertolongan akibat situasi yang ada. Misalnya setelah terkena pemberhentian kerja hingga menjadi korban kecelakaan.
Faktor Kecanduan
Kemudian, ada pula faktor kecanduan. Yakni si pelaku membutuhkan dana segar yang cepat dan mudah untuk memenuhi kebutuhan kecanduannya tersebut. Lalu ada faktor kebutuhan gaya hidup dan selanjutnya yaitu motif kejahatan.
Dalam motif kejahatan, Devie menyebut pelaku ingin membohongi hingga mengekploitasi orang lain. Kendati begitu motif pelaku yang melakukan aktivitas minta-minta tersebut sangat sulit diketahui kebenarannya. Yakni benar-benar membutuhkan atau tidak.
Karena hal itu, Devie meminta agar masyarakat sebagai target pemberi dapat memilah ketika memberikan bantuan. Misalnya kepada lembaga yang terpercaya, profesional, dan bisa mempertanggungjawabkan. Hal tersebut untuk memastikan tersalurkannya bantuan kepada orang yang benar membutuhkan.
"Kita semua yang jadi target apakah kita semua akan menonton dan kemudian bisa dikonversi tontonan tersebut menjadi dana atau uang. Kalau memang orang itu membutuhkan bantuan, kita benar-benar bantu, tapi kalau tidak," ucapnya.
Saat ini lanjut Devie, pemerintah tengah beradaptasi dengan perpindahan terhadap pola-pola perilaku kehidupan ke dunia digital. "Artinya perlu dibarengin dengan penambahan-penambahan kebijakan baru. Enggak papa ini bagian dari adaptasi negara hal ini dalam merespons perkenalkan teknologi dunia saat ini," Devie menandaskan.
Manfaatkan Celah Fitur Saweran
Berdasarkan laporan dari Hootsuite (We Are Social) adanya peningkatan jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia yang mencapai 191 juta orang pada Januari 2022. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 12,35 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan peningkatan tersebut terus mengalami peningkatan setiap tahun sejak tahun 2014.
Pengamat media sosial, Abang Edwin Syarif menyatakan fenomena yang saat ini ramai diperbincangkan masyarakat sudah diprediksi dapat dilakukan sejak adanya fitur gift atau hadiah. Mengingat saweran merupakan salah satu budaya yang ada di Indonesia.
Sedangkan untuk saat ini, Edwin menilai banyaknya kemudahan yang membuat orang-orang berlomba menjadi konten kreator. Sebab dari konten yang ada seseorang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bahkan seringkali video yang ramai penonton akan diikuti oleh konten kreator lainnya.
"Salah satu cara yang akhir-akhir ini jadi booming itu minta-minta tadi dengan cara minta saweran. Itu salah satu terbukti dan semua orang pengen ikutan nah itu yang terjadi sebetulnya," kata Edwin kepada Liputan6.com.
Â
Edwin menilai para konten kreator Indonesia cukup kreatif untuk melihat segala hal atau peluang yang dapat menghasilkan cuan. Bahkan konten yang seringkali diunggah oleh para kreator tetap memiliki penikmat atau pangsa pasarnya sendiri.
Sebenarnya fitur saweran dalam sebuah aplikasi disediakan untuk memberikan hadiah kepada pada konten kreator yang videonya dianggap menarik. Namun, kata Edwin ada beberapa konten kreator yang memanfaatkan celah tersebut. Sebab tidak ada batasan atau definisi konten yang bagus untuk masyarakat.
"Sehingga mereka (konten kreator) kerja adalah yang penting traffic tinggi banyak yang ngasih reward itulah yg dikejar," ucapnya.
Sebuah aplikasi, lanjut Edwin memiliki panduan komunitas yang telah ditetapkan. Selama konten yang tayang tidak melanggar aturan akan dianggap aman dari pemblokiran. "Mereka enggak akan mau menurunkan kontennya, bagi mereka penyedia konten mereka platform, kontennya bukan mereka yang buat jadi biasanya dalam agreement penanggung jawab konten itu dikonten kreator-nya," ujar dia.
Menurut dia, media sosial berkembang lebih cepat dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang ada. Sedangkan untuk pengaturan atau pengetatan sebuah platform sangat susah dilakukan. Sebab harus melalui persetujuan dari masing-masing negara. Kendati begitu, Edwin mengharapkan nantinya dalam perkembangan digitalisasi terdapat pengetatan atau aturan yang jelas.
"Pemerintah nge-push dengan UU baru menyematkan mereka dalam aturan tersebut ke dalam aplikasinya di negara tertentu. Jadi agak sulit saya bilang untuk mengatur si platform-nya," paparnya.
Â
Advertisement
Empati Jadi Faktor Utama Konten Pengemis Online Viral
Selanjutnya, dia juga meminta masyarakat atau penonton cukup tegas ketika ada sebuah konten dianggap melanggar hukum atau norma yang ada. Hal tersebut kata Edwin sebagai bentuk teguran kepada para konten kreator agar tidak kembali membuat konten serupa.
Selain itu, dengan adanya kontrol sosial memberikan dampak pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat lainnya mengenai kelayakan sebuah konten.
"Kalau eksploitasi itu urusan sosial sebetulnya, norma-norma ini yang harus ditegakkan. Dengan cara apa ya musti ada social pressure dari kita semua kalau ini enggak bener jangan dilakukan dan pengecaman terhadap konten konten tersebut itu. Setidaknya social pressure terhadap konten kreator agar tidak membuat konten konten yang seperti itu," pungkas Edwin.
Psikolog sosial, Joevarian Hudiyana menyatakan terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya fenomena ngemis online. Pertama yaitu para pembuat konten berusaha untuk menampilkan sesuatu yang baru dan berbeda. Munculnya ide baru kata Jovarian merupakan sifat alamiah dari manusia.
Namun seringkali oleh beberapa pihak menganggap hal tersebut menjadi celah untuk meraup keuntungan secara popularitas dan keuangan.
"Kita ini naturally curious jadi kita itu akan melihat ini sesuatu baru nih, sesuatu yang enggak biasa, dan segala macam, sehingga itu menarik perhatian yang lebih besar," kata Joevarian kepada Liputan6.com.
Konten Media Sosial Beragam dan Tak Terkontrol
Kemudian, faktor perkembangan media sosial yang semakin terbuka dengan konten beragam. Bahkan sajian konten yang ada tidak memiliki batasan dan cenderung tidak dapat dikontrol. Menurut Jovarian, konten yang dianggap aneh atau cukup unik memilik daya tertarik tersendiri di media sosial.
Sementara itu, Jovarian juga menilai ada beberapa hal yang membuat konten tersebut menjadi viral di masyarakat. Salah satunya yakni adanya penonton yang tertarik untuk melihat. Entah sebagai tontonan yang menarik, lucu, hingga memprihatinkan.
Kendati begitu, dia menegaskan jika empati merupakan faktor utama yang menjadikan konten tersebut muncul dan kontroversi. Sebab secara umum masyarakat ikut serta dalam sosial kontrol yang ada di media sosial.
"Ketika itu menjadi kontroversial, itu berhubungan dengan society kita harus memperlakukan yang lemah dengan cara yang baik. Nah itu kan muncul pendapat-pendapat yang enggak boleh dong diperlakukan seperti itu dan sebagainya," tandasnya.
Laporkan ke Polisi
Menteri Sosial Tri Rismaharini melarang tindakan mengemis di media sosial dengan cara mengeksploitasi kalangan lanjut usia atau lansia. Larangan tersebut berupa surat edaran yang ditujukan kepada pemerintah daerah.
Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya.
"Mencegah adanya kegiatan mengemis baik secara offline dan/atau online di media sosial yang mengeksploitasi para lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan/atau kelompok rentan lainnya," bunyi surat edaran tersebut.
Risma meminta para pemerintah daerah untuk mencegah kegiatan mengemis di media sosial. Risma juga mengimbau bupati serta wali kota untuk menindaklanjuti jika menemukan tindakan tersebut.
"Harus melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau ditindaklanjuti melalui Satuan Polisi Pamong Praja," kata Risma.
Selain itu Risma juga meminta Pemda memberikan perlindungan, rehabilitasi sosial, dan bantuan kepada para pihak yang telah menjadi korban eksploitasi tindakan mengemis, baik yang dilakukan secara offline maupun online di media sosial.
Tindak Tegas
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga memberikan respon mengenai fenomena pengemis online yang marak di platform media sosial.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong mengatakan, pihaknya akan meminta platform digital untuk menindak tegas konten-konten terkait pengemis online.
"Dengan adanya kebijakan dari Mensos (Menteri Sosial) yang melarang pengemis online, kami sedang mencari dan meminta platform digital untuk men-take down konten-konten terkait hal ini," kata Usman Kansong saat dihubungi Liputan6.com.
Lalu bagaimana tanggapan TikTok sebagai penyedia layanan tentang fenomena tersebut?
"Keamanan dan keselamatan komunitas TikTok adalah prioritas utama kami. Sehubungan fenomena tersebut, kami sangat prihatin atas konten tersebut," kata Perwakilan TikTok Indonesia kepada Liputan6.com.
Mereka menambahkan, "TikTok tidak menyarankan anggota komunitas untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat membahayakan mereka.Selain itu, platform milik Bytedance tersebut juga mengklaim terus berupaya untuk menjaga agar TikTok menjadi tempat aman dan ramah bagi penggunannya melalui kebijakan, sistem, serta edukasi dari Panduan Komunitas TikTok.
Selain itu, masyarakat juga diminta untuk melaporkan konten yang dianggap tidak pantas melalui fitur keamanan tersedia di dalam aplikasi. Untuk melaporkan konten atau akun yang dianggap tidak pantas seperti pengemis online mandi lumpur ini, pengguna dapat melakukannya dengan menekan lama pada konten siaran langsung di TikTok Live.
Setelah itu, pengguna dapat mengeklik 'Laporkan', lalu memilih alasan relevan. "Dari video (termasuk akun dan sesi livestreaming) yang dilaporkan, video yang diduga melanggar Panduan Komunitas TikTok akan dievaluasi lebih lanjut untuk dihapus," pungkasnya.Â
Advertisement