Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong hilirisasi pertambangan dengan membangun berbagai proyek smelter di dalam negeri. Disebut ada sejumlah proyek hilirisasi yang macet pembangunannya lantaran kendala pembiayaan.
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyebut hilirasi tak bisa hanya mengandalkan pembiayaan dalam negeri saja.
Baca Juga
"Hilirisasi membutuhkan dana investasi yang sangat besar. Hilirisasi tidak mungkin bisa dilakukan kalau hanya mengandalkan dana dalam negeri," kata dia seperti dikutip Kamis (23/3/2023).
Advertisement
Menurut Piter, perlu ada ubah cara pandang terlebih bagi masyarakat, agar tidak anti asing. Menurutnya, semua negara butuh kerja sama.
"Tidak ada satupun negara yang bisa bertransformasi menjadi negara maju tanpa kehadiran modal asing," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Ediar Usman yang juga mengungkapkan ada sejumlah proyek hilirisasi yang macet pembangunannya lantaran kendala pembiayaan.
"Banyak fasilitas pemurnian kita yang tidak tepat waktu. Masalah yang sering kita temui adalah pendanaan. Kita coba lakukan market sounding dengan lembaga di dalam negeri dan internasional untuk memecahkan kendala keuangan," bebernya.
Â
Eks Menteri ESDM Ignasius Jonan Bocorkan Trik Investor Mau Investasi Hilirisasi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019, Ignasius Jonan mengungkapkan bahwa dukungan pembiayaan menjadi tantangan utama pengembangan industri ekstraktif di Indonesia.
Dalam sambutannya di acara Mining and Finance Forum pada Senin (20/3/2023), Ignasius Jonan mengatakan investor global akan berminat apabila perusahaan di Indonesia patuh terhadap standar lingkungan, sosial, dan tata kelola atau Environmental Social and Governance (ESG).
"Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh korporasi itu akan mempengaruhi pembiayaan dan harga saham perusahaan kalau terdaftar di Bursa Efek. ESG sangat penting untuk hilirisasi pada seluruh industri ekstraktif," kata Jonan dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa (21/3/2023).
Jonan melanjutkan bahwa, organisasi akuntan global sedang mengubah standar pelaporan keuangan, yang di dalamnya akan menghitung soal ESG.
Sektor pertambangan perlu segera merespon hal tersebut karena masuk kategori industri yang paling rentan merisikokan lingkungan.
"Akuntan seluruh dunia sedang mengubah standar pelaporan keuangan, menghitung kembali dampak kerusakan lingkungan. Teman-teman perbankan, Otoritas Jasa Keuangan, dan regulator mesti duduk bersama untuk menentukan parameter kepatuhan ESG di Indonesia," jelas Jonan yang kini menjabat sebagai Presiden Komisaris Marsh Indonesia.
Advertisement