Liputan6.com, Jakarta - Anggota Brimob Polda Riau, Bripka Andry ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang atau DPO tak lama setelah bersuara di media sosial.
Curhatan Bripka Andry perihal uang setoran Rp 650 juta ke atasan malah menjadi bumerang. Karirnya sebagai anggota Polri kini diujung tanduk.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto turut menanggapi kasus yang menimpa Bripka Andy. Menurut dia, banyak hal harus dievaluasi berangkat dari kasus tersebut.
Advertisement
Di satu sisi, modus atasan meminta setoran bawahan itu jamak terjadi bukan di satuan brimob, tetapi juga di satuan-satuan lain seperti reserse, narkoba, lalu lintas dan Binmas. Motifnya tentu disesuaikan dengan bidang masing-masing. Bahkan, personel bisa tidak berdinas, asalkan setoran pada atasan lancar.
"Memang harus ditelusuri, uang dari mana untuk setoran itu berasal? Dalam rangka apa setoran itu dilakukan? Karena pada umumnya, hubungan antar seseorang tentu harus saling menguntungkan. Karena setoran tersebut sudah berjalan sekian lama," kata dia dalam keterangannya, Senin (12/6/2023).
Disisi lain, Bambang menyoroti etika Bripka Andry. Dia mengatakan, tentu tak etis mengunggah permasalahan internal ke media sosial. Bambang lalu mengungkit Peraturan Kapolri atau Perpol No 2 tahun 2022 tentang pengawasan melekat yang dinilai tidak diimplementasikan dengan benar.
"Sesuai peraturan harusnya bawahan yang menolak perintah pimpinan yang salah bisa melaporkan ke atasan pemberi perintah. Apakah itu sudah dilakukan? Atau ada mekanisme yg salah sehingga perlu mengunggahnya di media sosial," ujar dia.
Dalam kasus Bripka Andry, Bambang menerangkan, setoran Rp 650 juta tak terjadi sekali tetapi akumulasi dari setoran-setoran yang sudah berlangsung lama. Jadi bawahan maupun atasan sudah mendapat keuntungan sesuai porsi masing-masing.
Simbiosis Mutualisme Atasan-Bawahan
Bambang menyebut, selama simbiosis mutualisme bawahan-atasan berjalan dengan lancar praktik-praktik tersebut akan terus ada.
"Kalau mau serius, harusnya juga dikejar darimana asal uang yang disetor pada atasan. Indikasinya tentu bukan uang dari pekerjaan yang benar sesuai aturan," ujar dia.
Bambang mengatakan, beberapa tahun lalu sempat muncul kasus rekening gendut Labora Sitorus. Labora bisa menjalankan bisnisnya di luar tanpa ada teguran dari atasan indikasinya tentu adanya setoran-setoran. Terakhir juga kasus Ismail Bolong, yang melakukan pelanggaran tetapi bisa pensiun dini.
"Indikasinya sudah menjadi rahasia umum adalah setoran ke atasan. Dan yang lebih parah lagi, setoran itupun digunakan untuk membiayai operasional instansi, seperti dalam temuan di Bid Propam pada kasus Ismail Bolong," ujar dia.
"Dan itu mengkonfirmasi saling tutup menutupi pelanggaran bila hubungan masih saling menguntungkan mereka secara personal atau pribadi. Dan muncul masalah saat ada salah satu yan merasa tak diuntungkan. Secara organisasi sebenarnya tak ada keuntungan dari Polri baik sebelum maupun sesudah munculnya kasus curhat di medsos," tandas dia
Advertisement