Liputan6.com, Jakarta Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan Polri untuk transparan dalam mengusut kasus tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage. Bripda Ignatius diduga tewas akibat kelalaian seniornya saat memperlihatkan senjata api rakitan ilegal.
Dia meminta Polri terbuka menjelaskan kelalaian seperti apa yang menyebabkan tewasnya polisi junior itu.
“Kelalaiannya seperti apa? Perlu dibuka. Pertanyaan ini muncul karena di organisasi kepolisian kerap dikenal 'Blue Curtain Code', Kode Tirai Biru,” kata Reza terkait kasus polisi tembak polisi itu, seperti dilansir Antara, Minggu 30 Juli 2023.
Advertisement
Kode Tirai Biru ini, jelas dia, adalah kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan korps.
Menurut dia, temuan tentang adanya 'kode senyap' tersebut kontras dengan pernyataan polisi yang akan selalu transparan dan objektif dalam pengungkapan kasus. Karena, baru setahun yang lalu masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan tragedi pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh atasannya sendiri, yakni mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Peristiwa itu, kata dia, memperlihatkan potret kekejaman senior terhadap junior yang sempat ditutup-tutupi faktanya. Hingga akhirnya pihak keluarga Brigadir Yosua dan warganet bersuara, barulah transparansi dan objektivitas dilakukan serius, hingga Kode Tirai Biru tersibak.
Usul Bentuk Tim Investigasi
Kriminolog itu mendorong Polri membentuk tim investigasi yang melibatkan pihak eksternal guna menjawab prasangka pihak keluarga yang menduga Bripda Ignatius dibunuh secara terencana, ditambah rasa skeptisime masif warganet.
Namun, dia tidak merekomendasikan Polri melibatkan Kompolnas sebagai pihak eksternal dalam tim investigasi tersebut. Catatan sejarah Kompolnas dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua, mengiyakan “investigasi” Polres Jakarta Selatan bahwa tewasnya Brigadir Josua karena baku tembak.
Oleh karena itu, pelibatan unsur eksternal di luar Kompolnas, adalah investasi mahal yang harus dibayar Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
“Ya, apa boleh buat. Ini contoh harga mahal yang terpaksa harus Polri bayar akibat krisis kepercayaan publik," ujar Reza.
Bisa Digugat
Terkait kelalaian yang disampaikan Polri, Reza menyebut pihak keluarga bisa saja melayangkan gugatan kepada Polri. Hal ini ini sudah lazim dilakukan masyarakat di negara-negara Barat.
“Di Barat, sudah sering warga menggugat polisi atas police misconduct. Kelalaian pun bisa menjadi materi gugatan. Demi menghindari proses hukum, polisi biasanya pilih memberikan kompensasi langsung ke keluarga korban,” kata Reza.
Tetapi, lanjut dia, untuk mengetahui siapa pihak yang harus digugat apakah personel yang melakukan kelalaian atau institusi, maka untuk itu Polri perlu memperjelas bentuk kelalaian yang menyebabkan Bripda Ignatius tewas tertembak.
“Siapa yang digugat? Oknum yang melakukan kelalaian atau institusi kepolisian? Tergantung bentuk kelalaiannya. Karena itulah saya tadi berpesan: jelaskan bagaimana bentuk kelalaiannya,” kata Reza.
Sebelumnya, Bripda Ignatius tewas tertembak akibat kelalaian rekan kerjanya yang memperlihatkan senjata api rakitan ilegal pada Minggu (23/7) di Rusun Polri, Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Advertisement
2 Tersangka
Dua anggota Polri dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ditetapkan sebagai tersangka, yakni Bripda IMS dan Bripka IG. Keduanya dinyatakan melanggar kode etik kategori pelanggaran berat serta tindak pidana Pasal 338.
Bripda IMS dikenakan Pasal 338 atau Pasal 359 KUHP dan atau Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan untuk tersangka Bripka IG dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 56 dan atau Pasal 359 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan atau Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Keduanya terancam pidana hukuman mati, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.