Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) diminta segera menyelesaikan perubahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8/2024. Isinya, mengakomodir semua pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dibacakan 20 Agustus 2024.
Hal tersebut disampaikan Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka.
Baca Juga
"Bola ke 2 di DPR, wajib segera mengagendakan rapat konsultasi dengan KPU dan Pemerintah membahas PKPU Perubahan. Untuk itu segera laksanakan rapat konsultasi DPR, Pemerintah, dan KPU," ujar Rieke, melalui keterangan tertulis, Jumat (23/8/2024).
Advertisement
Namun, lanjut dia, dalam rapat nantinya tidak ada ruang untuk mengubah putusan MK, dengan demikian sifat rapat prosedural. Karena itu, kata Rieke, tanpa mengubah substansi.
"Bola ke 3 di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kami mendesak draft perubahan PKPU No.8/2024 segera diharmonisasi di Kemenkumham. Libatkan kementerian/lembaga terkait hingga diterbitkan sebagai PKPU baru sesuai pertimbangan dan amar putusan MK dibacakan 20 Agustus 2024," terang dia.
Selain itu, Rieke berharap kepada pemerintah segera mengundangkan PKPU pengganti PKPU Nomor 8/2024. Perihal ini, kata dia, sudah diharmonisasi sesuai Jadwal dan tahapan Pilkada 2024 ditetapkan dalam PKPU No.2/2024.
Dengan demikian, lanjutnya, wajib terbit sebelum 27 Agustus 2024. Rieke juga mengantisipasi apabila sampai tanggal 27 Agustus semua proses penyusunan perubahan PKPU belum dapat diselesaikan, belum diundangkan.
"Maka KPU tetap wajib melaksanakan proses pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah. Dengan berpedoman kepada putusan MK sebagaimana pernah terjadi pada Pendaftaran Capres dan Cawapres 2024 yang lalu," jelas Rieke.
MK Tolak Gugatan Syarat Usia Calon Kepala Daerah
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan nomor 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yakni A Fahrur Rozi dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee.
Dalam amar putusan, majelis hakim menegaskan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.
"Persyaratan usia minimum harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa 20 Agustus 2024.
Menurut Saldi Isra, titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Namun begitu, MK menolak memasukkan ketentuan rinci tersebut ke dalam bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada yang dimohonkan Anthony dan Fahrur.
Sebab, pasal ketentuan syarat usia calon kepala daerah tersebut dinilai sudah terang-benderang maknanya, bahwa syarat itu harus dipenuhi pada masa pencalonan.
"Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo," jelas dia.
"Sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," sambung Saldi.
Advertisement
MK Kabulkan Parpol Bisa Usung Calon Gubernur Meski Tak Dapat Kursi DPRD
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.
"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.
Inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada tersebut tentu berdampak pada pasal lain, seperti Pasal 40 ayat (1).
"Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016," ungkapnya.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada sebelum diubah yakni, "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan."