Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Muhammad Rofiqi mengaku heran dengan sikap politik para politisi PDIP belakangan ini yang getol mengkritik pemerintahan Prabowo-Gibran soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 % menjadi 12 %.
Sebab, menurut dia, terbentuknya aturan PPN 12% merupakan produk dari pemerintah dan DPR RI sebelumnya (2019-2024) dimana ketika itu PDIP merupakan partai penguasa di parlemen.
Advertisement
Baca Juga
"Ini bukan produknya Pak Prabowo, Undang-Undang ini disahkan pada Tahun 2021 lalu. Ketika itu, PDIP kan sebagai partai penguasa, jumlah mereka di DPR RI juga terbanyak, ketua Panja UU ini juga dari mereka, Pak Dolfie (Dolfie Othniel Frederic Palit),” kata Rofiqi dalam keterangan diterima, Senin (23/12/2024).
Advertisement
“Justru mereka yang mengusulkan dan keputusan sudah menjadi kesepakan bersama, kenapa malah sekarang lempar batu menyalahkan Pak Prabowo," ujar wakil rakyat asal Kalimantan Selatan ini.
Rofiqi menilai, PDIP sedang bersandiwara dalam drama politik untuk mencari simpati publik dengan mengambing hitamkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Selain itu, PDIP juga terkesan memprovokasi publik dengan sentimen negatif seolah pemerintahan Prabowo-Gibran tidak peduli dengan nasib rakyat kecil.
“Sikap kurang bijak itu seharusnya tidak layak dipertontonkan kepada publik, karena rekam jejak digital terkait kenaikan PPN 12% ini masih ada di ruang publik,” saran Rofiqi.
"Kenapa sekarang PDIP yang paling depan menyerang kebijakan ini, apa mereka sudah lupa ingatan atau lagi pencitraan atau lempar batu sembunyi tangan?," imbuhnya heran.
Sebaliknya, Rofiqi mendorong PDIP untuk mengapresiasi Presiden Prabowo Subianto terkait penetapan PPN 12 % ini. Sebab, penetapan ini hanya diberlakukan untuk barang mewah secara selektif. Dia pun mengajak kepada semua pihak, agar senantiasa bersama menyelesaikan masalah ekonomi bangsa agar kebijakan berjalan efektif ke rakyat.
"Mari kita bersama-sama membangun bangsa dan negara, menuntaskan tantangan ekonomi dan memastikan kebijakan ini bisa berjalan dengan baik dan bijaksana demi kepentingan rakyat," dia menandasi.
Jawaban PDIP
Merespons hal terkait, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah ada inisiasi partainya di Senayan soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menurut dia, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).
"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," kata Deddy saat dikonfirmasi terpisah.
Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Bangsa Indonesia dan kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja. Akan tetapi, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta kenaikan PPN menjadi 12% dikaji ulang penerapannya.
“Kondisi tersebut diantaranya; seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik,” ungkap Deddy.
"Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," imbuhnya.
Advertisement
PDIP Hanya Minta Pemerintah Kaji Aturan
Deddy menambahkan, sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.
"Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," tuturnya.
Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12% ini.
"Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru," ujar anggota Komisi II DPR RI itu.
"Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi," lanjutnya menutup.