Liputan6.com, Jakarta - Ribuan para pencari kerja tumpah ruah menghadiri pekan bursa kerja atau job fair yang digelar Dinas Tenaga Kerja Jakarta di Universitas Trisakti pada 15 hingga 16 April 2025. Banyak yang menaruh harapan besar untuk mendapat pekerjaan yang diinginkan saat hadir di event tersebut. Namun, tak sedikit yang pulang dengan raut kecewa karena tak memenuhi syarat atau kualifikasi.
Rohmat, warga Pulogadung, Jakarta Timur mengaku datang ke Job Fair berharap, statusnya saat ini yang sedang menganggur segera berakhir. Sebulan lalu, dia harus mengakhiri masa kerjanya karena menjadi bagian dari karyawan yang terkena PHK.
Baca Juga
“Tepat hari ini sebulan saya menganggur. Sebelumnya saya bekerja di perusahaan media di bagian sirkulasi. Apa boleh buat, saya kena layoff. Semoga datang ke sini bisa langsung dapat kerja,” ucap Rahmat, Rabu, 16 April 2025.
Advertisement
Dia mengaku terbuka untuk mengisi posisi apa pun. Yang terpenting mendapatkan upah yang layak, untuk menghidupi istri dan satu anaknya yang masih balita.
"Saya enggak pilih-pilih lah. Soal umur juga udah lewat 35. Yang penting ada berpeluang jadi karyawan tetap aja ya,” ucapnya.
Berbeda dengan Farah, perempuan asal Kebayoran Baru ini mengaku datang ke job fair karena ingin mencari pengalaman baru. Dia mengaku posisinya pekerjaannya saat ini sebagai teller di salah satu bank swasta tidak sesuai dengan jurusan yang diambil saat menjalani kuliah.
"Saya kuliah ambil Komunikasi Massa, kerja teller bank rasanya tidak nyambung. Semoga bis dapet di bidang Humas, marketing, atau terkait dengan komunikasi lain,” kata dia.
Terkait dengan membeludaknya jumlah para pencari kerja di event job fair, Farah mengaku tetap optimis dirinya akan dilirik oleh perusahaan penyedia pekerjaan. Dia yakin, dengan pengalamannya yang dimiliki, dapat bekerja di perusahaan sesuai dengan bidang yang diinginkan.
"Ya enggak apa-apa bersaing sehat. Walau saya maunya di bidang yang beda, yang penting saya pernah kerja. Semoga itu menjadi pertimbangan,” ucap dia.
Sementara itu, Nurmantyo salah seorang pencari kerja, mengaku dirinya belum lama tiba di Jakarta. Dia datang dari kampung halamannya di Kudus, Jawa Tengah. Dia datang bersama kakaknya saat kembali mudik lebaran, pada awal April 2025 lalu.
Kedatangannya di Jakarta, diakui olehnya untuk mencari pekerjaan, dengan harapan mendapatkan penghasilan yang layak. "Di Kudus saya bekerja di toko ban sepeda motor. Semoga di sini saya bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik,” ucap lulusan sekolah kejuruan ini.
Selama hampir dua minggu di Jakarta, dia mengaku menginap di rumah kakaknya, dan membatu sang kakak berjualan sayur dan buah di Pasar Palmerah. Dia pun mengaku akan ‘pantang pulang’ ke kampung halaman sebelum mendapatkan pekerjaan layak.
"Semoga di Job fair ini ada yang nyangkut. Kerja apa saja, yang penting halal. Syukur-syukur bisa dapat UMR Jakarta. Kalau belum dapat-dapat, tetap yakin dapat,” ucap Nurmantyo optimis.
Ekspetasi Tak Sesuai Harapan
Tingginya ekspektasi pendatang untuk memperoleh pekerjaan di Jakarta kerap kali tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Banyak dari mereka datang dengan harapan bisa mengubah nasib, namun harus dihadapkan pada kondisi minimnya ketersediaan lapangan kerja formal di ibu kota.
Situasi ini diperparah oleh meningkatnya angka PHK dan perlambatan ekonomi di sejumlah sektor, yang justru membuat kompetisi kerja di Jakarta semakin ketat. Alih-alih mendapatkan pekerjaan layak, tidak sedikit dari para pendatang akhirnya terjebak dalam pekerjaan informal dengan pendapatan tidak menentu, atau bahkan menganggur dalam waktu lama.
Kondisi ini diperparah lagi dengan semakin meningkatnya jumlah pendatang di Jakarta. Data Dinas Perhubungan Jakarta terbaru menunjukkan ada peningkatan sebesar 129 persen pendatang yang masuk ke Jakarta usai mudik lebaran 2025. Data itu didapat dari pemantauan di tujuh terminal besar di Jakarta saat arus mudik dan balik 2025. Berdasarkan data Dishub, jumlah penumpang yang kembali ke Jakarta melalui tujuh terminal utama mencapai lebih dari 130 ribu orang, sedangkan tahun lalu hanya sekitar 57 ribu orang.
"Jadi artinya kalau tahun lalu itu yang ke tujuh terminal kami itu sekitar 57 ribu, maka sekarang lebih dua kali lipat untuk yang kembali," ujar Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Syafrin Liputo.
Peningkatan jumlah pendatang baru ke Jakarta ini turut diamini oleh Gubernur Jakarta Pramono Anung. Mantan Sekretaris Kabinet (Seskab) ini mengaku tidak kaget dan tak mempermasalahkan adanya para ‘orang-orang’ baru ini masuk ibu kota.
Menurutnya, lonjakan ini erat kaitannya dengan meningkatnya minat masyarakat dari berbagai daerah untuk mencari pekerjaan di Jakarta.
"Seperti yang saya duga, memang ada peningkatan. Karena daerah-daerah sekarang ini banyak orang yang mencari pekerjaan,” ucap Pramono saat ditemui di Taman Langsat, Jakarta Selatan, Jumat, 11 April 2025.
Dia pun meyakini, adanya data peningkatan 129 persen pendatang yang dipaparkan Dishub sebagai sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan. "Saya lebih percaya yang real itu angkanya yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan, keluar, masuknya," ucap dia.
Advertisement
Masih Layak Jakarta Jadi Tanah Impian?
Lalu, mengapa hingga kini Jakarta masih tetap menjadi ‘tanah impian’ bagi sejumlah masyarakat yang diharapkan mampu menjadi pengubah nasib?
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, faktanya 70% perputaran uang di Indonesia masih terpusat Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Sehingga mau tidak mau, Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi para pendatang untuk mencari pekerjaan. "Jakarta tetap menjadi magnet bagi para pencari kerja dari berbagai daerah," kata Bhima dalam keterangannya, Rabu (17/4/2025).
Namun demikian, Bhima menggarisbawahi bahwa meningkatnya urbanisasi juga didorong oleh melemahnya aktivitas ekonomi di daerah, khususnya akibat kebijakan efisiensi anggaran. Ia merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja, yang diikuti dengan Surat Edaran Mendagri Nomor 900/833/SJ tentang penyesuaian pendapatan dan penghematan belanja daerah dalam APBD 2025.
Dalam surat tersebut, pemerintah daerah diminta melakukan efisiensi terhadap sejumlah pos pengeluaran, termasuk pengadaan barang dan jasa, perjalanan dinas, serta biaya untuk pegawai honorer. Kebijakan ini, kata Bhima, berimbas langsung pada perlambatan ekonomi lokal.
"Ekonomi daerah jadi langsung macet," tegasnya. Ia menambahkan, masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau belum bekerja akibat pemangkasan anggaran, kini lebih memilih mencari peluang di wilayah Jabodetabek.
"Arus urbanisasi akan semakin deras kalau kebijakan ini terus berlangsung. Sementara itu, Jakarta tetap punya keunggulan karena APBD-nya besar, mencapai Rp91 triliun," jelas Bhima.
Selain efisiensi anggaran, Bhima juga menyoroti dampak dari penghentian sejumlah proyek infrastruktur, yang disebutnya turut memperparah lesunya ekonomi daerah. Meski demikian, Presiden Prabowo Subianto membantah menghentikan proyek-proyek tersebut dan menyatakan bahwa skema pembiayaan hanya dialihkan ke sektor swasta, bukan lagi melalui dana APBN.
Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, masalah untuk kota Jakarta sejatinya hanya di situ-situ saja. Yang menjadi masalah adalah kepada mereka para pendatang yang tidak memiliki kompeten sehingga menambah masalah untuk diri mereka sendiri.
"Apakah (pendatang) menambah masalah? Ya menambah masalah buat dirinya sendiri. Artinya apa? Kalau dia datang, dia datang kemudian dia mencari kerja. Angka pencari kerja itu hampir 300 ribu-400 ribu orang yang mecari kerja di Jakarta saat ini,"
"Artinya apa? dia datang akan berhadapan dengan realitas bahwa di Jakarta juga banyak yang nganggur," kata kata Yayat saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (17/4/2025).
Cari Kerja Bukan Perkara Mudah
Yayat mencatat, mereka yang menganggur justru dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK). Alasannya bermacam-macam, salah satunya tidak lulus tes penempatan kerja.
"Tahu tidak siapa yang paling banyak nganggur? Anak SMK mana yang paling banyak nganggur? SMK swasta. SMK swasta itu banyak. Gagal lolos kerja, gagal lolos tes. kenapa? Karena peralatan praktek mereka terbatas dan banyak orang sekolah tapi sekedar sekolah. Jadi banyak lulusan, tapi tidak berketampilan," jelas Yayat.
Maka dari itu, Yayat mewanti kepada para pendatang di Jakarta mencari kerja bukanlah hal mudah. Termasuk seperti bekerja di pabrik yang biasanya open recruitment baru ada di periode September dan Oktober
"Jadi kalau mereka datang ke Jakarta, ya sorry mungkin untuk pekerjaan formal tapi paling mungkin yang informal, seperti ojek online dan kalau mereka datang dengan level pendidikan 'S3 (SD-SMP-SMA) ya nggak bisa, Artinya kalau mereka datang ke Jakarta, hidupnya tetap sulit karena harga-harga tinggi," Yayat menandasi.
Advertisement
