Majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta menilai keterangan yang disampaikan oleh 3 saksi yang meringankan terdakwa kasus dugaan tindak pidana pencucian uang terkait korupsi alat Simulator SIM, Djoko Susilo janggal atau tak dapat diterima.
Keterangan ketiga saksi itu yakni, Subekti, Dedi Kusmanto, dan Dading Saifudin yang mengaku sebagai rekan bisnis Djoko ini dianggap janggal lantaran tidak dapat menunjukkan bukti nyata mengenai pendapatan mantan Kepala Korlantas tersebut di persidangan.
"Transaksi yang saudara sampaikan tidak umum. Begitu banyak, tetapi bukti tidak ada. Tidak menggunakan kwitansi, dan tidak ada surat perjanjian," kata Hakim Anggota Matheus Samiaji menanggapi keterangan saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/7/2013).
Hal senada juga disampaikan Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo. Menurutnya, apa yang telah disampaikan ketiga saksi dalam persidangan mengenai bisnis pinjam-meminjam yang menghasilkan keuntungan hingga belasan miliar sulit dipercaya.
Sebelumnya, selain diketahui memiliki bisnis jual beli tanah, Djoko Susilo juga menjalankan bisnis jual beli batu permata dan mata uang asing, dollar Amerika Serikat. Menurut salah seorang saksi, Subekti, dari bisnis yang awalnya hanya bermodal sebesar Rp 200 juta pada tahun 2001 tersebut, mereka sanggup meraup keuntungan mencapai Rp 14 miliar.
Subekti menjelaskan, dari modal awal tersebut terjadi kesepakatan antara dirinya dengan Djoko. Komposisi keuntungannya adalah 70 persen untuk Djoko, sementara 30 persen bagian untuknya.
"Saya kelola untuk apa saja Pak Djoko percaya. Uang Rp 200 juta itu kami belikan barang. Terus ada keuntungan, lalu kita simpan lagi, terus kita gulung lagi. Jadi kita bisa dapat Rp 230 juta setiap akhir tahun dan naik terus. Tiap tahun kita buat laporan ke Pak Djoko," ujar Subekti.
Keuntungan yang melonjak secara fantastis tersebut dijelaskan Subekti lebih banyak dihasilkan dari jual beli dollar. Pada kesempatan itu, Subekti juga merinci keuntungan usahanya tiap tahun sejak 2001.
"Tahun 2001 jadi Rp 5,8 miliar, tahun 2002 jadi Rp 8 miliar. Waktu itu Pak Djoko butuh dana, diambil Rp 2 miliar, jadi sisanya Rp 6 miliar. Tahun 2003 jadi Rp 7,9 miliar. Tahun 2004 awal Rp 10,366 miliar. Tahun 2005 jadi Rp 13,6 miliar. Tahun 2006 jadi Rp 17,5 miliar. Tahun 2007 Rp 22 miliar. Djoko ambil lagi Rp 10 miliar, jadi Rp 12,7 miliar. Tahun 2008 Rp 16,6 miliar, Djoko ambil lagi jadi sisa Rp 8,8 miliar. Di awal 2009 jadi Rp 11,389 miliar," terang dia.
"Dan pada tahun 2010 jadi totalnya Rp 14,8 miliar. Di 2011 dimbil lagi, dari situ selesai," ungkap Subekti. (Frd)
Keterangan ketiga saksi itu yakni, Subekti, Dedi Kusmanto, dan Dading Saifudin yang mengaku sebagai rekan bisnis Djoko ini dianggap janggal lantaran tidak dapat menunjukkan bukti nyata mengenai pendapatan mantan Kepala Korlantas tersebut di persidangan.
"Transaksi yang saudara sampaikan tidak umum. Begitu banyak, tetapi bukti tidak ada. Tidak menggunakan kwitansi, dan tidak ada surat perjanjian," kata Hakim Anggota Matheus Samiaji menanggapi keterangan saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/7/2013).
Hal senada juga disampaikan Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo. Menurutnya, apa yang telah disampaikan ketiga saksi dalam persidangan mengenai bisnis pinjam-meminjam yang menghasilkan keuntungan hingga belasan miliar sulit dipercaya.
Sebelumnya, selain diketahui memiliki bisnis jual beli tanah, Djoko Susilo juga menjalankan bisnis jual beli batu permata dan mata uang asing, dollar Amerika Serikat. Menurut salah seorang saksi, Subekti, dari bisnis yang awalnya hanya bermodal sebesar Rp 200 juta pada tahun 2001 tersebut, mereka sanggup meraup keuntungan mencapai Rp 14 miliar.
Subekti menjelaskan, dari modal awal tersebut terjadi kesepakatan antara dirinya dengan Djoko. Komposisi keuntungannya adalah 70 persen untuk Djoko, sementara 30 persen bagian untuknya.
"Saya kelola untuk apa saja Pak Djoko percaya. Uang Rp 200 juta itu kami belikan barang. Terus ada keuntungan, lalu kita simpan lagi, terus kita gulung lagi. Jadi kita bisa dapat Rp 230 juta setiap akhir tahun dan naik terus. Tiap tahun kita buat laporan ke Pak Djoko," ujar Subekti.
Keuntungan yang melonjak secara fantastis tersebut dijelaskan Subekti lebih banyak dihasilkan dari jual beli dollar. Pada kesempatan itu, Subekti juga merinci keuntungan usahanya tiap tahun sejak 2001.
"Tahun 2001 jadi Rp 5,8 miliar, tahun 2002 jadi Rp 8 miliar. Waktu itu Pak Djoko butuh dana, diambil Rp 2 miliar, jadi sisanya Rp 6 miliar. Tahun 2003 jadi Rp 7,9 miliar. Tahun 2004 awal Rp 10,366 miliar. Tahun 2005 jadi Rp 13,6 miliar. Tahun 2006 jadi Rp 17,5 miliar. Tahun 2007 Rp 22 miliar. Djoko ambil lagi Rp 10 miliar, jadi Rp 12,7 miliar. Tahun 2008 Rp 16,6 miliar, Djoko ambil lagi jadi sisa Rp 8,8 miliar. Di awal 2009 jadi Rp 11,389 miliar," terang dia.
"Dan pada tahun 2010 jadi totalnya Rp 14,8 miliar. Di 2011 dimbil lagi, dari situ selesai," ungkap Subekti. (Frd)