Kisah Suka Cita Lebaran Si Penyapu Jalan Berupah Rp 40 Ribu

Statusnya sebagai pekerja harian lepas, tentu membuat penyapu jalan tidak mendapat upah jika tidak bekerja.

oleh Rochmanuddin diperbarui 08 Agu 2013, 19:48 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2013, 19:48 WIB
penyapu-jalan130808c.jpg
Kamis (8/8/2013), pagi sekitar pukul 08.00 WIB, terik matahari mulai terasa membakar kulit. Beruntung, sebagian tugas Saudah membersihkan sampah di Jalan Yos Sudarso Jakarta Utara sudah tuntas.

Kini saatnya nenek berumur 60 tahun ini menghela nafas untuk beristirahat sejenak sebelum meneruskan pekerjaan sehari-harinya itu. Pekerja lepas harian Dinas Kebersihan Pemerintah Walikota Jakarta Utara ini lebih memilih bekerja di Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah ini.

"Kemarin kan saya sudah pulang kampung sebelum Ramadan. Jadi nggak apa-apa Lebaran masuk kerja. Lagian Walikota nyuruh masuk, katanya banyak sampah abis malam takbiran," ujar nenek 2 cucu itu saat berteduh di bawah jalan Tol Tanjung Priok-Cawang kepada Liputan6.com, (8/8/2013).

Maklum, karena statusnya sebagai pekerja harian lepas, Saudah tidak mendapat upah jika ia tidak bekerja. Padahal, ia mengaku sejak remaja mulai mengabdikan diri sebagai petugas kebersihan di Dinas Kebersihan Walikota Jakarta Utara.

"Waktu masih ABG saya sudah kerja di sini, waktu gaji masih Rp 2.500. Habis saya mau kerja apalagi? Namanya juga orang bodoh, saya saja buta huruf. Kalau pintar saya nggak kerja di sini," ujarnya seraya tertawa hingga terlihat jelas gigi ompongnya.

Rindu anak cucu di kampung halaman saat momen Lebaran itu dapat ia atasi. Karena perempuan bertubuh kecil dan kurus itu dapat memanfaatkan kemajuan alat telekomunikasi saat ini.

"Paling Lebaran tahun ini cukup telepon saja ke kampung. Karena setiap Lebaran pasti pulang kampung. Kan saya juga masih punya ibu di kampung," paparnya.

Penghasilan yang pas-pasan juga memaksa Saudah untuk lebih bekerja keras memenuhi kebutuhan sehari-harinya besama sang suami. Sehari ia mendapat upah kotor Rp 40 ribu dengan upah lemburan Rp 20 ribu, itu pun jika kondisi kesehatannya cukup baik.

"Suami saya kan kerjanya ga bisa diandelin, cuma kuli bangunan. Saya kan tinggal di rumah kontrakan. Makanya kalau saya nggak kerja nggak dapet duit. Saya kerja dari jam 04.00 pagi berangkat jam 03.00 WIB dari rumah, sampai jam 12.00 WIB. Jam 1 mulai lagi sampai jam 5 sore, itu diitung lembur," papar wanita yang mengaku tinggal di RT 07 RW 06 Kelurahan Jaya Baru, Kecamatan Sunter, Jakarta Utara ini.

Kendati terkadang harus bekerja keras, Saudah merasa bersyukur bisa bekerja. Ia menganggap pekerjaanya sebagai pekerjaan yang nista namun mulia.

"Orang sama Walikota disuruh kerja, nggak apa-apa sudah tugas saya. Katanya kerja nista tapi mulia. Nggak tahu, yang penting bisa kerja, sehat, bisa makan. Kalau sehat kan bisa kerja nyenengin anak," urai Saudah.

Hal senada juga dialami rekan seprofersinya, Busari. Nenek yang juga memiliki dua cucu itu tetap bersuka cita meski harus merayakan Lebaran di tengah asap kendaraan dan debu jalanan. Yang jelas, selain demi menjalankan tugasnya, ia juga harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

"Di sini kan tinggal ngontrak juga. Kalau ngga kerja tar nggak makan. THR saja cuma Rp 200 ribu. Gak apa-apa masuk kerja, nanti liburnya kalau pas pengin ketemu cucu saja. Gaji kecil yang penting hati ikhlas," tutur perempuan asal Brebes itu yang juga mengaku sudah bekerja sejak remaja.

Di hari kemenangan ini, perempuan berumur 57 tahun itu hanya berharap kepada masyarakat, khususnya para pengguna jalan agar tertib berlalu lintas dan tidak mengotori jalanan.

"Orang nyapu kan bawaanya kesal, kadang sudah disapu bersih tiba-tiba ada yang buang sampah sembarangan. Kaya buang pampers tiba-tiba plok, tapi itu sudah risiko kerjaan saya," ucap Busari. (Tnt/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya