Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Sudjiono Timan, koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sudjiono yang sampai saat ini masih buron itu kini lepas dari jeratan hukum.
Ketua Majelis PK, Hakim Agung Suhadi akhirnya buka suara. Menurutnya, apa yang diputuskan oleh majelis PK telah benar. Termasuk terkait dengan Surat Edaran MA (SEMA) No 1 tahun 2012 tentang Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
Menurut Suhadi, SEMA itu diregistrasi April 2012 dan mulai diberlakukan pada Juni 2012. "Sementara ini (PK Sudjiono) masuknya Januari 2012, lalu mulai disidang April 2012," kata Suhadi di Gedung MA, Jumat (23/8/2013).
Kata Suhadi, MA sudah menyepakati, bahwa permohonan PK sebelum terbitnya SEMA tersebut diputuskan untuk dilanjutkan. Sementara, permohonan PK Sudjiono diajukan oleh istrinya didampingi kuasa hukum.
"Istrinya yang mengajukan, dia pemohon dan hadir. Dia mengajukan PK berdasarkan KUHAP itu, bahwa yang mengajukan PK kan terdakwa atau ahli waris. Oleh majelis, istri dianggap ahli waris," ujar Suhadi.
Lebih lanjut Suhadi menerangkan, perkara yang menimpa Sudjiono ini bukan masuk ranah pidana. Sejak di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menetapkan perkara ini sebagai perdata.
"Kemudian perbuatannya terbukti, tapi bukan tindak pidana. Di Kasasi pada 2004, dituntut 8 tahun dan diputus 15 tahun oleh MA," kata Suhadi.
Kemudian, pada 2006 keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materil Pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dinyatakan, bahwa frasa "secara melawan hukum" pada Pasal 2 ayat 1 dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya perbuatan yang masuk kategori pidana korupsi harus benar-benar yang terbukti dalam perundang-perundangan, dalam hal ini UU Pemberantasan Tipikor.
Sementara, lanjut Suhadi, perbuatan Sudjiono menghilangkan uang Negara, yakni dana BLBI itu benar terbukti. Namun, itu bukan masuk ranah pidana, melainkan perdata. Sebab, perbuatan menghilangkan uang negara itu bukan atas nama pribadi, melainkan PT BPUI yang mana dia dinilai melanggar kepatutan sebagai Direktur Utama PT BPUI.
"(Sudjiono) melanggar kepatutan. Kepatutan dia sebagai Direktur Utama PT BPUI. Dia meminjamkan uang dari dana BLBI kepada perusahaan-perusahaan lain, tapi yang meminjam itu PT BPUI, bukan atas nama pribadi," katanya.
Lalu terjadilah krisis moneter pada 1998. Di mana perusahaan-perusahaan yang dipinjami dana BLBI itu mengalami kebangkrutan, sehingga tak mampu membayar balik pinjaman itu kepada PT BPUI. Karenanya, Sudjiono dianggap bukan menguntungkan diri sendiri.
Untuk itu, perkara Sudjiono ini oleh majelis PK mengacu salah satunya pada putusan MK tadi. Bahwa seseorang terklasifikasi melakukan korupsi harus yang benar-benar terbukti menurut UU Pemberantasan Tipikor.
"Perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bayar pinjaman dari PT BPUI karena krisis moneter itu adalah masuk ranah hubungan industrial atau perdata," kata Suhadi.
Lalu bagaimana dengan putusan Kasasi yang menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Sudjiono? Menurut Suhadi, putusan kasasi itu juga benar secara hukum. Namun, kasasi itu diputus pada 2004. Di mana saat itu belum ada putusan MK soal Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor.
Sementara majelis PK mengacu pada putusan MK. Suhadi lantas mengutip Pasal 1 ayat 1 KUHAP, bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
"Lalu pada Pasal 1 ayat 2, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa," ujar dia. (Ein)
Ketua Majelis PK, Hakim Agung Suhadi akhirnya buka suara. Menurutnya, apa yang diputuskan oleh majelis PK telah benar. Termasuk terkait dengan Surat Edaran MA (SEMA) No 1 tahun 2012 tentang Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
Menurut Suhadi, SEMA itu diregistrasi April 2012 dan mulai diberlakukan pada Juni 2012. "Sementara ini (PK Sudjiono) masuknya Januari 2012, lalu mulai disidang April 2012," kata Suhadi di Gedung MA, Jumat (23/8/2013).
Kata Suhadi, MA sudah menyepakati, bahwa permohonan PK sebelum terbitnya SEMA tersebut diputuskan untuk dilanjutkan. Sementara, permohonan PK Sudjiono diajukan oleh istrinya didampingi kuasa hukum.
"Istrinya yang mengajukan, dia pemohon dan hadir. Dia mengajukan PK berdasarkan KUHAP itu, bahwa yang mengajukan PK kan terdakwa atau ahli waris. Oleh majelis, istri dianggap ahli waris," ujar Suhadi.
Lebih lanjut Suhadi menerangkan, perkara yang menimpa Sudjiono ini bukan masuk ranah pidana. Sejak di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menetapkan perkara ini sebagai perdata.
"Kemudian perbuatannya terbukti, tapi bukan tindak pidana. Di Kasasi pada 2004, dituntut 8 tahun dan diputus 15 tahun oleh MA," kata Suhadi.
Kemudian, pada 2006 keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materil Pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dinyatakan, bahwa frasa "secara melawan hukum" pada Pasal 2 ayat 1 dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya perbuatan yang masuk kategori pidana korupsi harus benar-benar yang terbukti dalam perundang-perundangan, dalam hal ini UU Pemberantasan Tipikor.
Sementara, lanjut Suhadi, perbuatan Sudjiono menghilangkan uang Negara, yakni dana BLBI itu benar terbukti. Namun, itu bukan masuk ranah pidana, melainkan perdata. Sebab, perbuatan menghilangkan uang negara itu bukan atas nama pribadi, melainkan PT BPUI yang mana dia dinilai melanggar kepatutan sebagai Direktur Utama PT BPUI.
"(Sudjiono) melanggar kepatutan. Kepatutan dia sebagai Direktur Utama PT BPUI. Dia meminjamkan uang dari dana BLBI kepada perusahaan-perusahaan lain, tapi yang meminjam itu PT BPUI, bukan atas nama pribadi," katanya.
Lalu terjadilah krisis moneter pada 1998. Di mana perusahaan-perusahaan yang dipinjami dana BLBI itu mengalami kebangkrutan, sehingga tak mampu membayar balik pinjaman itu kepada PT BPUI. Karenanya, Sudjiono dianggap bukan menguntungkan diri sendiri.
Untuk itu, perkara Sudjiono ini oleh majelis PK mengacu salah satunya pada putusan MK tadi. Bahwa seseorang terklasifikasi melakukan korupsi harus yang benar-benar terbukti menurut UU Pemberantasan Tipikor.
"Perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bayar pinjaman dari PT BPUI karena krisis moneter itu adalah masuk ranah hubungan industrial atau perdata," kata Suhadi.
Lalu bagaimana dengan putusan Kasasi yang menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Sudjiono? Menurut Suhadi, putusan kasasi itu juga benar secara hukum. Namun, kasasi itu diputus pada 2004. Di mana saat itu belum ada putusan MK soal Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor.
Sementara majelis PK mengacu pada putusan MK. Suhadi lantas mengutip Pasal 1 ayat 1 KUHAP, bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
"Lalu pada Pasal 1 ayat 2, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa," ujar dia. (Ein)