Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu MK), Kamis 17 Oktober 2013 lalu. Namun, keluarnya Perppu MK setelah terkuaknya dugaan suap sengketa pilkada Ketua nonaktif MK Akil Mochtar itu pun menuai pro dan kontra.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito mengatakan dirinya tidak setuju dengan Perpu MK tersebut. Lantaran momentumnya telah hilang.
"Walau SBY keluarkan Perpu, saya mau bilang apa, ini kewenangan beliau. Tapi, bagi saya Perpu ini tidak penting, dari segi momentum. Sudah 3 minggu sejak kasus terjadi, baru keluar Perpu ini," ujarnya dalam diskusi Warung Daun, Jakarta, Sabtu (18/10/2013).
Margarito menilai Perppu seharusnya dikeluarkan oleh SBY sehari atau maksimal 2 hari sejak tertangkapnya Ketua MK non-aktif Akil Mochtar. Karena, perubahan UU itu tidak banyak dan cukup 2 jam untuk melakukan perubahan.
"Hal genting kan sudah lewat. Kalau 1-2 hari keluar, Rabu malam ditangkap, seharusnya Kamis atau Jumat keluar. Dalam 2 jam seharusnya bisa selesai. Kenapa harus 3 minggu? Perpu kehilangan pijakan sosiologis sebagai hal ihwal yang genting," jelas Margarito.
Selain itu, Margarito juga mencermati Pasal 18i, yang mensyaratkan calon dari partai politik harus jeda paling singkat 7 tahun. Sebelum mencalonkan diri menjadi Hakim Konstitusi. Ia menuturkan pasal tersebut tidak memberikan toleransi bagi politisi.
"Kalau logika ini kita kembangkan kenapa tidak sekalian kita libatkan akademisi. Di kasus SKK Migas, akademisi juga korup," tandas Margarito.
Ada 3 hal penting dalam Perppu MK yang ditandatangani Presiden SBY. Pertama, syarat menjadi hakim konstitusi yang tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 huruf I, ditambahkan dengan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 7 tahun.
Kedua, mekanisme proses seleksi hakim MK disempurnakan. Sehingga, memperkuat prinsip transparansi seperti pada Pasal 19 UU MK. Sebelum ditetapkan presiden, pengajuanhakim MK oleh MA, DPR, atau presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk Komisi Yudisial.
Ketiga, soal sistem pengawasan yang efektif, yakni disebut Mejelis Kehormatan MK yang bersifat permanen, bukan adhoc. (Adi)
Pakar Hukum Tata Negara Margarito mengatakan dirinya tidak setuju dengan Perpu MK tersebut. Lantaran momentumnya telah hilang.
"Walau SBY keluarkan Perpu, saya mau bilang apa, ini kewenangan beliau. Tapi, bagi saya Perpu ini tidak penting, dari segi momentum. Sudah 3 minggu sejak kasus terjadi, baru keluar Perpu ini," ujarnya dalam diskusi Warung Daun, Jakarta, Sabtu (18/10/2013).
Margarito menilai Perppu seharusnya dikeluarkan oleh SBY sehari atau maksimal 2 hari sejak tertangkapnya Ketua MK non-aktif Akil Mochtar. Karena, perubahan UU itu tidak banyak dan cukup 2 jam untuk melakukan perubahan.
"Hal genting kan sudah lewat. Kalau 1-2 hari keluar, Rabu malam ditangkap, seharusnya Kamis atau Jumat keluar. Dalam 2 jam seharusnya bisa selesai. Kenapa harus 3 minggu? Perpu kehilangan pijakan sosiologis sebagai hal ihwal yang genting," jelas Margarito.
Selain itu, Margarito juga mencermati Pasal 18i, yang mensyaratkan calon dari partai politik harus jeda paling singkat 7 tahun. Sebelum mencalonkan diri menjadi Hakim Konstitusi. Ia menuturkan pasal tersebut tidak memberikan toleransi bagi politisi.
"Kalau logika ini kita kembangkan kenapa tidak sekalian kita libatkan akademisi. Di kasus SKK Migas, akademisi juga korup," tandas Margarito.
Ada 3 hal penting dalam Perppu MK yang ditandatangani Presiden SBY. Pertama, syarat menjadi hakim konstitusi yang tertuang dalam Pasal 15 ayat 2 huruf I, ditambahkan dengan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 7 tahun.
Kedua, mekanisme proses seleksi hakim MK disempurnakan. Sehingga, memperkuat prinsip transparansi seperti pada Pasal 19 UU MK. Sebelum ditetapkan presiden, pengajuanhakim MK oleh MA, DPR, atau presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan oleh Panel Ahli yang dibentuk Komisi Yudisial.
Ketiga, soal sistem pengawasan yang efektif, yakni disebut Mejelis Kehormatan MK yang bersifat permanen, bukan adhoc. (Adi)