Suatu hari di Desa Ledukombo, Jember, Jawa Timur. Sejumlah anak-anak terlihat berlatih egrang. Anak-anak begitu lihai menunjukkan keahlian mereka menari di atas egrang. Namun, siapa sangka di balik keceriaan anak-anak ini tersimpan kisah sedih.
Sebagian besar anak ini adalah anak buruh migran yang sejak kecil ditinggal orangtuanya mencari nafkah keluar kota hingga luar negeri. Adalah Suporaharjo dan Farha Cici Eka, sepasang suami istri, yang peduli terhadap nasib mereka.
Sejak 4 tahun silam keduanya meninggalkan Ibu Kota untuk menetap di Desa Ledukombo, daerah asal Supo. Mereka berdua terpanggil karena melihat banyak masalah sosial menimpa anak-anak desa, mulai dari putus sekolah hingga penyalahgunaan obat-obat terlarang.
Di sebuah kawasan dimana semakin banyak orangtua meninggalkan desanya untuk bertaruh nasib, pasangan suami istri ini pun mendirikan komunitas bermain dan belajar bernama Tanoker yang berarti kepompong.
"Harapannya bisa menjadi tempat wadah anak-anak meraih cita-citanya untuk belajar," ujar Suporaharjo, seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (27/10/2013).
Setiap minggu, ratusan anak-anak desa diberikan bimbingan belajar gratis, mulai dari matematika, bahasa Inggris hingga fotografi. Mereka juga diajarkan nilai-nilai kehidupan melalui permainan tradisional egrang.
"Dari egrang kita bisa belajar tentang budi luhur, belajar bahwa hidup ini penuh perjuangan. Tidak mudah untuk naik egrang, perlu keseimbangan luar biasa," jelas Cici, pendiri Tanoker yang juga istri Supo.
Langkah-langkah egrang yang cukup sulit bagi pemula mampu dikreasikan menjadi tarian yang menarik. Anak-anak pun sering diundang untuk mengisi pentas ke berbagai daerah. Berkat jasa Supo dan Cici, kini permainan egrang menjadi populer di kalangan anak-anak Ledukombo.
Agar tetap lestari, Tanoker mengadakan festival egrang tahunan di Ledukombo. Desa ini pun menjadi dikenal berkat egrang. Tiap festival diadakan, ribuan wisatawan ramai berkunjung.
"Mereka bisa mengubah desanya menjadi desa dunia, dari wilayah marjinal yang tak banyak orang tahu kini mendunia," imbuh Cici.
Tanoker juga membina warga membuat kerajinan tangan bertema egrang untuk dijadikan suvenir yang bisa menambah penghasilan keluarga. Bahkan, egrang masuk sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di sejumlah sekolah.
"Saya harus angkat topi, itu gerakan kebudayaan yang benar, memberdayakan rakyat. Misalnya sekarang ini anak-anak buruh migran, itu dirawat dan diberi inspirasi supaya bisa mengubah nasibnya," ujar Guru Besar Foklor Universitas Jember, Prof Dr Ayu Sutarto.
Akhir 2013 rencananya Tanoker akan diundang ke Thailand untuk pentas dan mengajar egrang. (Ado/Yus)
Sebagian besar anak ini adalah anak buruh migran yang sejak kecil ditinggal orangtuanya mencari nafkah keluar kota hingga luar negeri. Adalah Suporaharjo dan Farha Cici Eka, sepasang suami istri, yang peduli terhadap nasib mereka.
Sejak 4 tahun silam keduanya meninggalkan Ibu Kota untuk menetap di Desa Ledukombo, daerah asal Supo. Mereka berdua terpanggil karena melihat banyak masalah sosial menimpa anak-anak desa, mulai dari putus sekolah hingga penyalahgunaan obat-obat terlarang.
Di sebuah kawasan dimana semakin banyak orangtua meninggalkan desanya untuk bertaruh nasib, pasangan suami istri ini pun mendirikan komunitas bermain dan belajar bernama Tanoker yang berarti kepompong.
"Harapannya bisa menjadi tempat wadah anak-anak meraih cita-citanya untuk belajar," ujar Suporaharjo, seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (27/10/2013).
Setiap minggu, ratusan anak-anak desa diberikan bimbingan belajar gratis, mulai dari matematika, bahasa Inggris hingga fotografi. Mereka juga diajarkan nilai-nilai kehidupan melalui permainan tradisional egrang.
"Dari egrang kita bisa belajar tentang budi luhur, belajar bahwa hidup ini penuh perjuangan. Tidak mudah untuk naik egrang, perlu keseimbangan luar biasa," jelas Cici, pendiri Tanoker yang juga istri Supo.
Langkah-langkah egrang yang cukup sulit bagi pemula mampu dikreasikan menjadi tarian yang menarik. Anak-anak pun sering diundang untuk mengisi pentas ke berbagai daerah. Berkat jasa Supo dan Cici, kini permainan egrang menjadi populer di kalangan anak-anak Ledukombo.
Agar tetap lestari, Tanoker mengadakan festival egrang tahunan di Ledukombo. Desa ini pun menjadi dikenal berkat egrang. Tiap festival diadakan, ribuan wisatawan ramai berkunjung.
"Mereka bisa mengubah desanya menjadi desa dunia, dari wilayah marjinal yang tak banyak orang tahu kini mendunia," imbuh Cici.
Tanoker juga membina warga membuat kerajinan tangan bertema egrang untuk dijadikan suvenir yang bisa menambah penghasilan keluarga. Bahkan, egrang masuk sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib di sejumlah sekolah.
"Saya harus angkat topi, itu gerakan kebudayaan yang benar, memberdayakan rakyat. Misalnya sekarang ini anak-anak buruh migran, itu dirawat dan diberi inspirasi supaya bisa mengubah nasibnya," ujar Guru Besar Foklor Universitas Jember, Prof Dr Ayu Sutarto.
Akhir 2013 rencananya Tanoker akan diundang ke Thailand untuk pentas dan mengajar egrang. (Ado/Yus)