Perempuan di Sarang Buaya, Menjaga Habitat Terakhir Buaya Badas Hitam di Muka Bumi

Perempuan-perempuan di Lahan Basah Mesangat-Suwi, Kalimantan Timur, dengan berani menjaga habitat terakhir buaya badas hitam melalui monitoring, kolaborasi lintas sektor, dan edukasi masyarakat, menunjukkan dedikasi pelestarian biodiversitas dan budaya di tengah ancaman ekspansi perkebunan dan aktivitas ilegal.

oleh Abdul Jalil Diperbarui 21 Apr 2025, 23:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2025, 23:00 WIB
Andi Sarina (Gadis Buaya)
Andi Sarina, perempuan berusia 26 tahun, alumni Jurusan Biologi, Unviersitas Mulawarman layak disebut sebagai gadis buaya. Aktivitasnya di Yayasan Ulin harus melakukan pemantauan di Lahan Basah Mesangat-Suwi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang merupakan habitat terakhir buaya badas hitam di muka bumi. (foto: liputan6.com/Awaluddin Jalil)... Selengkapnya

Liputan6.com, Kutai Timur - Saat senja membalut langit Kalimantan Timur dengan warna jingga, Andi Sarina bersiap di tepi rawa Danau Loa Lahung di Kecamatan Long Mesangat, Kabupaten Kutai Timur. Perempuan berusia 26 tahun ini mendorong mundur perahunya yang tersangkut tanaman rawa kemudian mendayung menjauhi tepi.

Di depannnya ada dua perahu yang sama siap membelah kegelapan malam di kawasan sarang buaya. Sarina dan rekan-rekannya membelah air tenang danau, di tengah habitat tiga jenis buaya, buaya muara, buaya siam, dan buaya supit yang panjangnya bisa mencapai 7 meter.

Sarina tetap tenang, tanpa rasa takut. Sorot lampu kepalanya digerakkan ke kanan dan kiri demi menangkap kilau kecil.

Malam menjelang, sinar lampu senter setiap kapal menjadi penerang satu-satunya, dia mencari pantulan cahaya merah sebagai pertanda adanya mata buaya di atas perairan tenang. Setelah satu jam menelusuri danau, cahaya lampu di kepalanya menangkap pantulan cahaya itu. Seekor anak buaya badas hitam (Crocodylus siamensis) terlihat, tanda harapan bahwa spesies langka ini masih berkembang biak.

Dengan cermat, ia mendatangi buaya yang tenang itu, mengambil dan mengukur seluruh fisik buaya. Tak ada rasa takut, padahal di sekitarnya tentu ada banyak induk buaya termasuk buaya jantan berukuran besar. Sarina mencatat data perkembangbiakan, sebuah langkah kecil namun monumental dalam menjaga habitat terakhir buaya ini di alam liar.

“Belum kepikiran bahayanya, yang penting bisa menjalankan tugas dengan baik,” katanya usai melepaskan kembali anak buaya yang baru saja diukurnya.

Liputan6.com berkesempatan mengikuti perjalanan Sarina atas undangan Konsorsium Yasiwa – Yayasan Ulin pada akhir 2023 silam. Konsorsium ini membangun program bersama di lahan basah ini.

Di Hari Kartini, kisah Sarina dan perempuan-perempuan hebat lainnya di Mesangat-Suwi menjadi simbol keberanian, dedikasi, dan kepemimpinan perempuan dalam pelestarian alam. Lahan Basah di Kecamatan Long Mesangat merupakan bagian dari sebuah kawasan lahan basah di Kabupaten Kutai Timur. Namanya Lahan Basah Mesangat-Suwi, yang membentang dari Kecamatan Long Mesangat hingga Muara Ancalong di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Ini adalah ekosistem unik seluas sekitar 12.000 hektar. Kawasan ini mencakup rawa, sungai, danau, hutan, dan area terbuka, berfungsi sebagai cekungan air tanah vital yang menjaga keseimbangan ekologi.

Berdasarkan data Yayasan Ulin, kawasan ini adalah rumah bagi 15 spesies mamalia, 135 spesies burung, 60 jenis ikan, 15 reptil, dan 5 amfibi. Satwa dilindungi seperti bekantan, burung bangau storm (Syconia stormi), bangau sendok (Leptoptilos javanicus), beruang madu, rusa, dan pelanduk menghuni rawa-rawa ini, menjadikannya permen biodiversitas yang tak ternilai. Nilai budaya kawasan ini sama kaya. Masyarakat lokal mempercayai dongeng bahwa buaya memiliki ikatan kekerabatan dengan manusia, sebuah cerita yang mengakar dalam tradisi.

Sungai Kelinjau, salah satu bagian kawasan, sering digunakan untuk ritual adat yang disebut "urus," mencerminkan hubungan harmonis manusia dan alam selama berabad-abad. Namun, ancaman serius mengintai, sebagian lahan berada dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU) empat perusahaan sawit, ditambah risiko aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan dengan alat tak ramah lingkungan, ekspansi perkebunan, dan peningkatan pemukiman.

Untuk melindungi kawasan ini, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menetapkannya sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), mengakui perannya sebagai penyangga ekologi, penyedia jasa lingkungan seperti serapan air, dan sumber perikanan bagi nelayan lokal.

Keberanian di Tengah Sarang Buaya

Danau Sarang Buaya Badas Hitam
Danau Loa Lahung di Kecamatan Long Mesangat, Kabupaten Kutai Timur, merupakan habitat alami terakhir buaya badas hitam. Di belahan bumi lain, belum terkonfirmasi adanya spesies ini hidup di alam. (foto: liputan6.com/Awaluddin Jalil)... Selengkapnya

Andi Sarina, Alumni Jurusan Biologi Universitas Mulawarman, adalah wajah perjuangan perempuan di lapangan. Sebagai anggota tim monitoring Yayasan Ulin, ia bertugas memantau kesehatan ekosistem Mesangat-Suwi, memastikan kelestarian flora dan fauna, serta mengawasi perkembangbiakan buaya badas hitam, spesies kunci yang berstatus critically endangered menurut IUCN Red List.

Malam itu, di tengah danau yang dikelilingi tiga jenis buaya, Sarina dan timnya bergerak dengan penuh kewaspadaan, namun tanpa gentar. Apakah ia takut menghadapi reptil-reptil raksasa ini?

"Kalau untuk takutnya, kemarin emang belum kepikiran sih ke sana," ujar Sarina dengan tawa ringan.

"Takut terkait bahaya, cuma namanya di lapangan kita yang penting sesuai kita waspada saja ke satwa. Jadi gimana kita memperlakukan. Karena kita juga tidak niat jahat, jadi fokus tidak pikir yang ke mana-mana," sambungnya.

Soal perbedaan gender, ia menegaskan tidak ada perbedaan jika sudah berada di lapangan. Baginya, setiap orang punya tugas masing-masing.

“Karena udah biasa di lapangan juga. Di lapangan juga kita tidak melihat gender, perempuan harus gmana laki-laki harus gmana. Karena kita sama-sama punya tupoksi masing jadi gak ngaruh sih terkait gender," katanya.

Sarina memahami bahwa konflik manusia-satwa, seperti serangan buaya, sering dipicu oleh gangguan habitat. Faktornya antara lain berkurangnya sumber pakan atau menyempitnya ruang hidup. Di tempatnya bertugas ini dia yakin habitat buaya masih baik sehingga serangan itu, walau berenang sekalipun, tidak dianggap buaya sebagai hidangan.

Temuan anak buaya badas hitam malam itu menjadi bukti bahwa upaya pelestarian masih pada jalurnya. Dengan mencatat data perkembangbiakan, Sarina membantu memastikan populasi spesies kunci ini tetap stabil, sebuah indikator kesehatan ekosistem yang krusial.

Arsitek Kolaborasi untuk Masa Depan

Danau Loa Putih
Danau Loa Putih di Kecamatan Muara Ancalong juga merupakan bagian dari Lahan Basah Mesangat Suwi. Di sini Buaya Badas Hitam bersarang dan bertelur. (foto: liputan6.com/Awaluddin Jalil)... Selengkapnya

Di balik keberanian Sarina, ada Suimah, Ketua Yayasan Ulin saat itu, yang merancang strategi pelestarian melalui kolaborasi lintas sektor. Ia menjelaskan keunikan Mesangat-Suwi yang luar biasa.

"Lahan basah Mesangat-Suwi adalah lahan basah yang berada di cekungan air tanah Sendawar dan areal tersebut meliputi dari sungai, kemudian ada hutan, rawa, ada area terbuka. Mengapa penting? Karena area tersebut tempat parkir air yang kemudian sangat penting jika terdapat pengeringan di sana atau kejadian yang membuat kering sehingga lahan yang di sekitarnya akan menjadi kekurangan air," papar Suimah kepada liputan6.com.

Suimah mengakui ancaman dari konsesi perusahaan sawit dan aktivitas ilegal. Sebab kawasan Lahan Basah Mesangat-Suwi bukaan areal kosong.

“Saat ini area tersebut adalah area HGU dari perusahaan sawit sebagian adalah area HGU perusahaan sawit dimana ada 4 perusahaan sawit," katanya.

Untuk mengatasinya, ada Forum Pengelola Kawasan Ekosistem Esensial Mesangat-Suwi, melibatkan BKSDA, pemerintah, universitas, masyarakat lokal, dan perusahaan sawit.

"Kenapa harus kolaborasi? Kata-kata kolaborasi ini memang sesuatu yang mudah untuk disebutkan tetapi sulit," ujar Suimah.

"Pengelolaan itu tidak bisa serta-merta dilakukan oleh satu pihak. Jika pengelolaan itu satu pihak maka akan terjadi ketimpangan pengelolaan sehingga pengelolaan mengikuti ego dari masing-masing. Nah sehingga perlunya ada campur tangan dari pemerintah juga universitas sebagai lembaga yang melakukan penelitian ataupun memberikan masukan kepada kami yang melakukan pengelolaan," sambungnya.

Kolaborasi ini didukung oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Kalimantan, yang menyediakan pendanaan dan dukungan teknis untuk pemantauan satwa dan pemberdayaan masyarakat. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) juga tak ketinggalan dengan berkontribusi melalui penelitian dan advokasi untuk pengelolaan berkelanjutan.

“Peningkatan ekonomi alternatif membuka kesadaran secara perlahan bahwa lingkungan di sekitar warga yang dijaga juga bisa menghasilkan. Apa yang Kalimantan Timur lakukan saat ini memang bukanlah yang ideal, tapi setidaknya dengan komitmen dan kolaborasi, lahan basah bisa tetap lestari,” kata Alfan Subekti, Manajer Senior Pembangunan Hijau YKAN.

Suimah yakin, aksi kolaborasi ini menjadi jawaban atas persoalan kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi di Indonesia. Di Kalimantan Timur, Lahan Basah Mesangat-Suwi menjadi contoh aksi kolaborasi itu.

"Dari nilai konservasi tinggi yang telah ditetapkan oleh HCVRN, Lahan Basah Mesangat-Suwi punya keenam nilainya. Yang pertama nilai untuk RTE species atau satwa yang dilindungi disana ada. Disitu juga masyarakat punya kepentingan untuk mendapatkan ikan sebagai pendapatan mereka. Dan HCV6, budaya mereka selalu menggunakan sungai Kelinjau untuk ritual mereka ketika ada kejadian tertentu yang mereka biasa bilang urus," papar Suimah.

Ia juga menggarisbawahi urgensi pelestarian buaya badas hitam. Menurutnya, buaya dengan nama latin Crocodilus siamensis adalah buaya yang menurut IUCN Red List berada di status critically endangered.

“Nah, saat ini di Indonesia sendiri hanya ditemukan di Lahan Basah Mesangat-Suwi. Yang dimana sebelumnya kita bisa jumpain di Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja. Tetapi di luar sana kita belum mendapatkan konfirmasi ada di alam dimana,” katanya.

Kehilangan kawasan ini berarti kehilangan spesies yang tak lagi ditemukan di alam liar di tempat lain. Aksi kolaborasi menjadi penting untuk menjaga kawasan itu agar tetap lestari.

Mengubah Persepsi melalui Edukasi

Yasiwa dan Yayasan Ulin
Ketua Yayasan Khatulistiwa (Yasiwa) Monica Kusneti dan Ketua Yayasan Ulin, Suimah.... Selengkapnya

Monica Kusneti, Ketua Yayasan Khatulistiwa, melengkapi mozaik perjuangan perempuan dengan fokus pada edukasi masyarakat. Baginya, Mesangat-Suwi adalah sumber kehidupan.

"Lahan Basah Suwi selama ini memang menjadi pusat perikanan, sumber perikanan bagi nelayan lokal. Dan di sana terdapat bekantan, satwa endemik Kalimantan dan juga dilindungi. Dan tentu juga Lahan Basah berfungsi untuk daerah serapan air untuk di kawasan Muara Ancalong," kata Monica.

Monica menceritakan keberhasilan mengatasi perburuan bekantan yang marak pada 2014. Informasi perburuan itu didapat dari nelayan setempat.

“Itu sekitar tahun 2014 ada perburuan yang cukup besar dan cukup masif. Tapi kemudian setelah kami komunikasi dengan nelayan bahwa itu sebagai satwa yang dilindungi, kemudian nelayan ikut berperan memberikan informasi kepada orang-orang yang akan berburu, menyampaikan bahwa itu satwa dilindungi dan tidak boleh diburu," paparnya.

Monica juga menjelaskan keunikan Mesangat-Suwi sebagai lahan basah non-pantai. Bekantan, yang biasa hidup di pesisir laut, di sini hidup di kawasan lahan basah.

"Selama ini banyak konservasi itu di daerah pantai. Nah, Lahan Basah Suwi yang bukan pantai ya, jadi itu tentu juga punya keunikan tersendiri. Dan tentu karena memang habitat yang semakin menyempit dan populasi yang semakin mengecil, menjadi semakin penting Lahan Basah Suwi itu dilindungi," katanya.

Edukasinya tidak hanya menyelamatkan bekantan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif untuk menjaga ekosistem secara keseluruhan. Upaya itu tentu sejalan dengan prinsip konservasi itu sendiri, hidup selaras alam.

Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Kalimantan memainkan peran kunci dengan menyediakan pendanaan untuk program pemantauan satwa, pelatihan masyarakat, dan pengembangan alternatif ekonomi. Misalnya, TFCA mendukung pembelian peralatan monitoring seperti perahu dan kamera jebak untuk tim Sarina, serta program pelatihan untuk nelayan tentang alat tangkap ramah lingkungan.

Sementara itu, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) berkontribusi melalui penelitian ilmiah tentang biodiversitas Mesangat-Suwi dan advokasi kebijakan untuk memperkuat status KEE. Kolaborasi dengan universitas yang didorong YKAN juga menghasilkan data penting tentang populasi satwa kunci, yang menjadi dasar pengambilan keputusan konservasi.

TFCA Kalimantan dan YKAN juga mendukung upaya edukasi kepada masyarakat melalui pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan program pemberdayaan ekonomi, seperti pengembangan usaha lokal, agar masyarakat tidak bergantung pada eksploitasi alam.

Semangat Perempuan Penjaga Bumi

Monitoring buaya badas hitam
Perempuan punya peran penting di Lahan Basah Mesangat-Suwi. Tak hanya menjaga kelestarian ekosistem, para perempuan ini juga terlibat mengedukasi masyarakat pentingnya menjaga lingkungan.... Selengkapnya

Hari Kartini adalah momen untuk merayakan perjuangan perempuan seperti Sarina, Suimah, dan Monica, yang mewakili semangat Kartini dalam aksi nyata. Sarina, yang tanpa rasa takut menjelajahi sarang buaya di malam hari, menunjukkan bahwa keberanian tidak mengenal gender. Suimah, dengan visinya membangun kolaborasi lintas sektor, menciptakan fondasi pelestarian yang kokoh.

Monica, melalui edukasi, mengubah persepsi masyarakat untuk menjadi bagian dari solusi. Mereka adalah penerus semangat Kartini, membuktikan bahwa perempuan memiliki peran monumental dalam menjaga kelestarian Indonesia.

Lahan Basah Mesangat-Suwi menghadapi ancaman serius, dari aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan dengan alat tak ramah lingkungan hingga ekspansi perkebunan dan pemukiman. Suimah pun menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat.

"Masyarakat juga perlu adanya program-program lain yang memberdayakan mereka sehingga mereka secara mandiri tidak tergantung di alam," katanya.

Anak buaya badas hitam di tangan Sarina menjadi secercah harapan, tetapi keberadaan spesies ini, yang hanya tersisa di Mesangat-Suwi di alam liar, mengingatkan urgensi pelestarian. Suimah juga menegaskan bahwa penurunan populasi bisa menjadi peringatan dini masalah lingkungan yang lebih besar

"Populasi satwa kunci sering menjadi indikator penting kesehatan ekosistem," kata Suimah.

Lahan Basah Mesangat-Suwi adalah simbol harmoni antara manusia dan alam, dan perempuan-perempuan di balik pelestariannya adalah teladan sejati. Dari perahu kecil Sarina yang membelah danau di malam hari, visi kolaborasi Suimah yang menyatukan berbagai pihak, hingga edukasi Monica yang mengubah perilaku masyarakat, mereka menjaga warisan biodiversitas dan budaya. Didukung TFCA Kalimantan dan YKAN, upaya mereka adalah bukti bahwa pelestarian lingkungan adalah panggilan universal.

Di Hari Kartini, mari rayakan dedikasi mereka sebagai inspirasi bagi generasi mendatang. Selamat Hari Kartini untuk para penjaga Mesangat-Suwi. Semoga semangat kalian terus menyala, menjaga bumi tetap hijau, lestari, dan penuh kehidupan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya