Sekutu Mengancam, `Banteng-banteng` Surabaya Melawan

Listrik mati total, begitu pula dengan angkutan umum. Kota penuh dengan lubang-lubang bekas bom. Bangunan-bangunan hancur.

oleh Yus diperbarui 10 Nov 2013, 10:35 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2013, 10:35 WIB
perjuangan-surabaya-131109c.jpg
Kematian Brigjen Mallaby menimbulkan reaksi sangat keras dari pihak Sekutu. Rakyat Surabaya dianggap harus dihukum.

Sehari setelah kejadian, 31 Oktober 1945, Panglima Sekutu untuk Asia Tenggara Jenderal Philip Christison menyatakan, "Akan mengerahkan seluruh kekuatan laut, darat, dan udara, serta seluruh persenjataan modern untuk menangkap pihak yang bertanggung jawab" atas tewasnya Panglima Brigade ke-49 India itu.

Sekutu tak cuma gertak sambal. Pada 1 November, Divisi ke-5 yang berkekuatan 24 ribu pasukan diperintahkan bergerak dari Jakarta ke Surabaya. Persenjataan yang dibawa meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur.

Brigade ke-49 hanya berkekuatan 6.000 orang. Kini, komando ada di tangan Mayjen E.C Mansergh, sebagai pengganti Mallaby.

Mansergh pula yang pada akhirnya mengeluarkan ultimatum. Pada 9 November pukul 11.00, ia memanggil para staf Gubernur Soerjo lalu menunjukkan isi ultimatum. Intinya, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri paling lambat pukul 18.00 di hari itu...dengan tangan di atas kepala. Kedua, seluruh senjata harus diserahkan.

Jika kedua hal tersebut diabaikan, Sekutu bakal mulai menyerang pada pukul 06.00 keesokan harinya. Seperti ultimatum terdahulu, pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara.



"Mendidih darah mudaku kala itu. Terlukis di depan mataku jika semua ultimatum itu dipenuhi....Tidak jauh dari sana kaki tangan NICA tertawa kecil mengejek, menertawakan banteng Indonesia yang hendak mempertahankan kemerdekaan Tanah Airnya," tulis Bung Tomo dalam buku Pertempuran 10 November 1945.

Kepanikan tak urung melanda. Sejarawan Universitas Ohio, William H. Frederick, mengisahkan, Gubernur Soerjo segera menghubungi Jakarta. Minta saran atas ultimatum ini. Tidak berhasil karena Sukarno dan Hatta tengah berada di Yogyakarta.

Pada sore hari, Bung Tomo menyampaikan pidato radio untuk memberikan semangat. "Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun juga," katanya dengan bergelora.

Baru pada pukul 21.00, Soerjo berhasil menghubungi Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo. Jakarta mengatakan tak berhasil membujuk Sekutu untuk membatalkan ultimatum. Karena itu, Surabaya diminta memutuskan sendiri langkah yang akan diambil.

Dua jam kemudian, Soerjo menuju radio. Ia menyampaikan sikap Surabaya. "Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu," katanya.



Pertempuran Surabaya, dimulai 10 November sampai tiga pekan berikutnya, berlangsung dahsyat. Kerusakan yang diakibatkan juga luar biasa. Dalam tiga hari pertama saja, 500 bom dijatuhkan di Surabaya dan sekitarnya.

Listrik mati total, begitu pula dengan angkutan umum. Kota penuh dengan lubang-lubang bekas bom. Bangunan-bangunan hancur. Pihak Republik coba menghambat laju pasukan Sekutu dengan membakar perkampungan.

Korban dari pihak Sekutu sedikit saja. Tak sampai 20 orang yang tewas. Sementara, dari pihak Indonesia, ada berbagai versi. Versi paling moderat menyebut 2.500 orang tewas dan 7.500 orang terluka. Di ujung lain, menyebut 15 ribu orang yang tewas.

Kedahsyatan semua itu akhirnya diabadikan dengan menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya