[OPINI] Membaca Potensi Konflik Pilkada Serentak

Selain mendeteksi ancaman konflik, pihak penyelenggara dan pihak keamanan perlu memastikan kompetisi berlangsung secara fair.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Des 2015, 14:22 WIB
Diterbitkan 08 Des 2015, 14:22 WIB
Arya Fernandes
Arya Fernandes (Grafis: Liputan6.com/ Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 9 Desember 2015, Indonesia melaksanakan Pilkada serentak di 9 Provinsi dan 269 Kabupaten/kota. Pilkada serentak tidak hanya penting bagi pembangunan demokrasi di tingkat lokal tetapi juga menjadi hajatan terbesar sepanjang sejarah pelaksanaan Pilkada sejak 2005. Kesuksesan Pilkada dapat diukur mulai dari proses persiapan, penyelenggaraan, dan pasca-penetapan hasil pemungutan suara.

Setelah melewati proses tahapan persiapan yang cukup berhasil, yang menjadi tantangan ke depan adalah proses penyelenggaraan Pilkada yang di dalamnya mencakupi fungsi pengawasan dan pelaksanaan Pilkada yang demokratis dan damai. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menyusun Indeks Kerawanan Pilkada 2015 yang didasarkan pada lima variabel, yakni profesionalitas penyelenggara pemilu dengan bobot 30 persen, politik uang (20 persen), akses pengawasan (15 persen), partisipasi masyarakat (20 persen), dan keamanan daerah (15 persen).

Menurut saya, Indeks Kerawanan Pilkada 2015 juga harus mempertimbangkan variabel kompetisi politik lokal. Mengapa variabel kompetisi politik lokal penting untuk memprediksi potensi kerawanan? Menurut hipotesa saya, semakin tinggi tingkat kompetisi politik antara pasangan calon, semakin tinggi juga peluang gesekan konflik antara pendukung pasangan calon, begitu juga sebaliknya.

Variabel kompetisi politik lokal didasarkan pada dua dimensi utama; pertama, daerah dengan pertarungan petahana versus petahana. Dari pemetaan yang saya lakukan terhadap data pasangan calon yang diakses dari: http://infopilkada.kpu.go.id/ terdapat 38 daerah (kabupaten/kota) dengan petahana (bupati vs bupati,walikota vs wakil walikota) akan saling berhadapan dan 3 provinsi di mana kedua petahana (gubernur vs wakil gubernur) juga akan saling berhadapan.

Bagi daerah tempat pertarungan antara dua petahana (terlebih hanya dua pasangan saja), kompetisi akan berlangsung ketat karena beberapa hal, di antaranya, masing-masing kandidat punya akses yang sama ke jaringan birokrasi sehingga berpotensi menggerakkan birokrat untuk kepentingan politik tertentu. Selain mempunyai akses yang sama ke birokrasi, kedua petahana juga mempunyai akses yang sama ke sumber-sumber pendanaan politik seperti dana Bantuan Sosial (Bansos) dan jaringan ke pemodal atau pengusaha.

Pertarungan antara dua petahana juga diperkirakan berlangsung ketat karena diperkirakan distribusi kekuatan (pendukung) tidak terlalu berjarak jauh dan biasanya secara geografi berbeda, karena pada pemilihan pasangan pada pilkada sebelumnya biasanya mempertimbangkan zona politik saat memilih pasangan. Lantaran distribusi kekuasan relatif seimbang, biasanya kedua kandidat memiliki basis pendukung yang loyal dan pada tingkat pemilih biasanya pemilih akan terbelah dua.

Dimensi kedua adalah daerah dengan dua pasangan calon (petahana vs petahana; petahana vs non-petahana; petahana vs dinasti politik petahana). Data KPU menunjukkan dari 269 daerah (Kab/Kota) yang menyelenggarakan Pilkada dan 9 Pilkada Provinsi menunjukkan ada 87 daerah dengan dua pasangan calon.

Bagi dua daerah dengan dua pasangan calon (petahana vs petahana; petahana vs non-petahana; petahana vs dinasti politik petahana) kompetisi juga akan berlangsung ketat. Bila yang terjadi adalah pertarungan petahana versus non-petahana, isu politik yang akan kuat berkisar seputar perubahan atau tidak. Pada daerah ini, potensi kecurangan dalam hal pendataan pemilih dan mobilisasi birokrasi juga diperkirakan bisa saja terjadi. Pertarungan juga akan ketat bila petahana vs dinasti politik petahana. Karena masing-masing kandidat juga mempunyai akses yang sama ke birokrasi dan distribusi pendukung juga relatif tidak terlalu bergerak jauh.

Sementara bila pasangan petahana kembali berpasangan (bupati/wakil; walikota/wakil; gubernur/wakil) potensi konfliknya relatif kecil. Dari pemetaan yang saya lakukan terhadap data pasangan calon yang diakses dari: http://infopilkada.kpu.go.id/, terdapat 28 daerah di mana pasangan petahana kembali berpasangan (27 di kab/kota dan 1 di tingkat provinsi).

Mengapa potensi konflik lebih rendah dibandingkan daerah saat petahana saling berhadapan? Secara politik, pasangan petahana umumnya masih kuat, baik dari segi tingkat kepuasan, popularitas, akseptabilitas, elektabilitas, distribusi suara pendukung, dukungan partai, serta akses ke sumber pendanaan politik dan birokrasi dibandingkan calon penantang. Apalagi bila calon penantang tidak kuat dari segi popularitas dan kekuatan finansial.

Pada tingkat approval rating (kepuasan publik) terhadap kinerja pasangan petahana, biasanya masih di atas 40 persen. Bila kepuasan masih di atas 40 persen, biasanya kandidat petahana masih berpeluang memenangi Pilkada. Dari segi tingkat popularitas, biasanya tingkat popularitas petahana di atas 60 persen dan elektabilitas di atas 25 persen. Kandidat petahana biasanya juga unggul dari segi dukungan partai pengusung. Mereka biasanya didukung sekitar 3-4 partai politik dan umumnya secara geografi politik, distribusi dukungan suara bagi petahana tersebar merata di semua wilayah.

Dari segi akses ke sumber pendanaan politik biasanya lebih kuat dari kandidat non-petahana karena pemodal cenderung mendukung kandidat yang sangat berpotensi menang. Dibandingkan calon penantang, akses petahana ke birokrasi juga lebih kuat karena para birokrat khawatir dipindahkan, distafkan, atau tidak mendapatkan promosi kenaikan jabatan bila petahana kembali menang.

Namun tidak tertutup kemungkinan juga kandidat petahana akan kalah. Faktor yang mempengaruhi biasanya adalah tingkat kepuasan publik, kasus hukum dan moral, serta munculnya kandidat penantang yang populer dan merakyat. Di beberapa pilkada, ketika tingkat kepuasan terhadap petahana merosot di bawah 30 persen, biasanya sang petahana akan berakhir dengan kekalahan.

Selain mendeteksi ancaman konflik, pihak penyelenggara dan pihak keamanan perlu memastikan kompetisi berlangsung secara fair (distribusi undangan pemilih tersebar semua, penghitungan suara berlangsung terbuka, dan tidak ada intimidasi terhadap pemilih). Bila berhasil menyelenggarakan hajatan demokrasi lokal terbesar ini, kita akan memiliki pengalaman berharga bagi pembangunan demokrasi di tingkat lokal.

Akhirnya semua terpulang pada kelegawaan masing-masing kandidat untuk menyikapi hasil Pilkada. Seperti kata Presiden Jokowi: “Yang kalah jangan ngamuk, yang menang jangan jumawa.”
 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya