Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly belum menandatangani Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU pencalonan caleg DPR dan DPRD. Padahal draf itu sudah diserahkan sejak awal 4 Juni lalu untuk segera Undang-Undang.
Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan pihaknya akan tetap berpegangan pada PKPU yang sudah diubah dan diberikan pada Kementerian Hukum dan HAM. Termasuk di dalamnya soal larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif (Caleg).
"Kami menjaga konsistemsi kami pada sebelumnya PKPU 14 tahun 2018 sudah masuk klausul tersebut untuk pencalonan DPD," kata Viryan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Sabtu (23/6/2018).
Advertisement
Menurutnya, KPU akan melakukan sosialisasi PKPU tersebut. Tetapi dia berharap Menkum HAM bisa segera mengundang-undangkannya.
"Kalau tidak kami tetap putuskan seperti itu kami sosialisasi tapi saat ini kami berharap mengundangkan," ungkapnya.
Viryan juga mempersilakan pihak yang tidak setuju PKPU tersebu menguggat ke MA. KPU, kata dia akan siap menghadapinya.
"Silakan para pihak yang tidak sependapat dengan kami menempuh jalur itu. Dan jalur itulah yang paling tepat karena itu diatur dalam UU 12 tahun 2011 Pasal 9 ayat 2," ucapnya.
Â
Bertentangan dengan Undang-undang
Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ajub Suratman, mengatakan, ada beberapa alasan mengapa pihaknya tidak segera mengundangkan PKPU tersebut. Karena, materinya bertentangan dengan undang-undang yang ada, serta aturan yang ada di atasnya. Selain itu, materi PKPU tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan yang lebih tinggi.
"Sehingga bila diundangkan dikhawatirkan menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat," ujar Ayub melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu (23/6/2018).
Ajub menegaskan, bahwa PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana koruptor menjadi calon anggota legislatif tersebut bertentangan dengan konstitusi yang mengatur hak asasi, yakni hak memilih dan dipilih.
Hal itu dikarenakan menunjuk Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 yang menegaskan bahwa Peraturan KPU mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pada Pasal 87 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur: Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Menurut Ajub, pencabutan Hak Asasi Manusia atau hak politik seseorang hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang atau melalui Putusan atau penetapan Pengadilan atau Putusan Hakim, yang sejalan dengan asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur, haruslah dianggap bahwa putusan hakim selalu dianggap benar.
Reporter: Sania Mashabi
Sumber: merdeka.com
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement