Liputan6.com, Jakarta Ketua Tim Hukum Nasional (THN) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Ari Yusuf Amir, akan melaporkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait pernyataannya yang menyebut presiden boleh kampanye dan memihak di pemilu 2024.
"Dengan statement terang-terangan seperti itu tentunya akan membuat dampak yang tidak baik bagi stabilitas politik kita," kata Ari kepada wartawan, Kamis (25/1/2024).
Menurut Ari, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) sedang dibutuhkan saat ini. Hal itu, kata dia, guna menjaga kestabilan politik dan menghindari adanya kegaduhan.
Advertisement
"Bagaimana anda bisa bayangkan kalau seandainya nanti ASN, TNI, Polri itu berpihak ke salah satu paslon, lalu paslon yang lain tidak meyakini, tidak percaya dengan mereka. Bagaimana mereka menjaga ketertiban sosial di masyarakat," ujar Ari.
Ari mengaku sudah membuat analisis hukum terkait pernyataan Jokowi tersebut. Dia menyebut semua analisa itu akan disampaikan ke Bawaslu.
"Nanti tinggal sikapnya KPU dan Bawaslu mengambil sikap," ucap Ari.
Lebih lanjut, Ari menyinggung terkait pembagian bantuan sosial (bansos) yang tengah gencar dilakukan oleh Jokowi dan sejumlah menteri yang ada di kabinet Indonesia Maju.
"Jadi, demi untuk kestabilitasan politik, ketenangan kita dalam pemilu ini, supaya damai baik, kami harapkan agar keputusan Pak Jokowi ini secara tegas bahwa beliau harus mengundurkan diri," terang Ari.
Ari menjelaskan, sejauh ini Tim Hukum Nasional AMIN sudah menyiapkan format laporan terkait pernyataan Jokowi ke Bawaslu. Dia berharap Bawaslu bakal mengambil sikap.
"Kami akan memberikan pendapat hukum kami, analisa hukum kami kepada Bawaslu, dan silakan Bawaslu untuk menyikapi nanti," ujar Ari.
Pernyataan Jokowi soal Presiden Boleh Memihak, TPN: Bisa Jadi Alasan Pemakzulan
Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md, Todung Mulya Lubis, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal presiden boleh berkampanye dan berpihak kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) tertentu sangat merisaukan.
Sebab, menurut Todung, pernyataan Jokowi tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengingkaran terhadap sifat-sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara.
"Ini saya mengutip Undang-Undang Dasar 1945, 'sebagai presiden dan kepala negara, presiden harus berada di atas semua kelompok, di atas semua golongan, di atas semua suku, agama, dan partai politik'," kata Todung Mulya Lubis saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
"Ketika seseorang dipilih sebagai presiden, maka kesetiaannya menjadi kesetiaan terhadap negara, terhadap rakyat, tanpa membeda-bedakan mereka. Ini saya kasih satu hal yang sangat prinsipil yah, yang harus dimiliki, karena itu melekat pada diri presiden dan kepala negara," sambungnya.
Oleh sebab itu, Todung menegaskan Presiden Jokowi tidak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara.
Sehingga, pengacara kesohor itu menilai aneh jika Jokowi menyebutkan bahwa presiden boleh kampanye dan memihak pada pasangan capres-cawapres tertentu.
"Harap dicatat bahwa selama ini tidak pernah ada pernyataan presiden seperti yang diucapkan oleh Presiden Jokowi dalam setiap pemilihan umum dan pilpres," tegas Todung.
Lebih lanjut, dia pun menyinggung soal pernyataan Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana yang merujuk pada Undang-undang nomor 7 Tahun 2017.
Dia mengaku memahami pasal yang disebutkan Ari bahwa presiden itu bisa berkampanye namun sebagai petahana atau kembali maju dalam kontestasi pilpres.
"Nah dalam konteks ini Presiden Jokowi tidak bisa lagi ikut dalam kontestasi politik. Dia tidak running dalam for the second term ya, jadi tidak ada periode ketiga," ujar Todung.
"Nah dia seharusnya menahan diri untuk berada di atas semua kontestan politik ini. Kalau dia dalam konteks sekarang ini ikut kampanye, ikut memihak, potensi conflict of interest, potensi benturan kepentingan akan sangat telanjang dan kasat mata," sambungnya.
Lebih lanjut, Todung menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tidak adil. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan semangat negara hukum yang menjamin tidak ada diskriminasi.
"Kalau presiden tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka bisa saja hal ini ditafsirkan sebagai perbuatan tercela," tegas Todung.
"Dan kalau ini disimpulkan sebagai perbuatan tercela, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan untuk pemakzulan," imbuhnya.
Advertisement
TKN Prabowo-Gibran: Presiden Jokowi Diperbolehkan Mendukung Salah Satu Capres-Cawapres
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Habiburokhman angkat bicara terkait tudingan sejumlah pihak yang menyebut Presiden Jokowi tidak netral karena memberikan sinyal dukungan kepada pasangan calon nomor urut dua.
Habiburokhman berpendapat secara hukum Presiden Jokowi sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak individu untuk mendukung paslon manapun termasuk pasangan Prabowo-Gibran pada pilpres 2024.
"Secara konstitusi, secara hukum dan etika memang hal tersebut diperbolehkan. Tidak ada satu ketentuan hukum pun yang dilanggar kalau Pak Jokowi mendukung salah satu calon dalam pilpres," kata Habiburokhman dalam jumpa pers di Media Center TKN Prabowo-Gibran, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).
Menurut Habiburokhman, setiap WNI dijamin hak politiknya secara konstitusi tak terkecuali bagi Presiden RI.
Hal itu seperti tercantum pada Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Politisi Partai Gerindra itu menyayangkan munculnya narasi sesat sejumlah kalangan yang menganggap bahwa seolah-olah Presiden Jokowi akan menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan paslon nomor urut 02.
Habiburokhman kembali menegaskan Presiden Jokowi berhak menyatakan dukungan terhadap salah satu kontestan pilpres 2024 sepanjang tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.
"Kita kan bicara regulasi, bicara konstitusi, bicara UU dan bicara peraturan PKPU, yang dibahas itu bukan soal netral atau tidak netral. Kalau istilah perundang-undangan bukan itu. Tetapi apakah melakukan pelanggaran membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon. Nah itu yang perlu digarisbawahi," ujar dia.
"Poinnya selama tidak menyalahgunakan kekuasaan, Presiden boleh mengungkapkan dukungannya," sambung dia.
Habiburokhman pun mengambil contoh yang terjadi di Amerika Serikat, di mana seorang Presiden incumbent mendukung bahkan berkampanye untuk salah satu calon presiden periode berikutnya.
"Tahun 2008 Presiden George W Bush mendukung John McCain melawan Barrack Obama, tahun 2016 giliran Obama mendukung Hillary Clinton yang bertarung melawan Donald Trump," papar Habiburokhman.
Ia pun meminta masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan. Sebab hingga saat ini, negara masih memegang aturan yang ketat untuk mencegah presiden menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan dirinya atau calon yang didukung.
Aturan yang dimaksud Habiburokhman itu termuat dalam Pasal 306 UU Nomor 7 tahun 2017 yang secara umum mengatur pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Selain itu, lanjut Habiburokhman, negara juga memiliki Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan mengamati langkah-langkah seputar pemilu, di mana kinerja mereka dipantau oleh Dewan Kehoratan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Intinya kita tidak perlu khawatir apabila Presiden menggunakan haknya untuk mendukung salah satu paslon karena ada aturan berlapis yang jelas dan ada lembaga penegak hukum yang jelas untuk memastikan tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," tegas dia.
Presiden Memihak di Pilpres, Pakar Hukum Tata Negara: Kerusakan Etika dan Moral
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari angkat suara soal penyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan presiden boleh berkampanye dan memihak kepada salah satu pasangan calon (paslon) dalam pilpres 2024. Menurut Feri, pernyataan tersebut bisa merusak etika bernegara.
"Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden," ujar Feri, Kamis (25/1/2024).
Feri mengatakan, jika presiden memihak kepada salah satu kandidat, maka bisa saja hal itu merusak sistem kepartaian. Sebab, kata dia, idealnya seorang presiden mendukung calon yang diajukan partainya. Namun fakta saat ini berbeda. Jokowi diyakini justru mendukung calon presiden yang diusung oleh partai lain.
"Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai. Letak kesalahan pada panggilan etika dan moral," tutur Feri.
Feri mengkritik, sampai saat ini Jokowi diyakini tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara. Bahkan tidak memberikan contoh baik dalam beretika politik di Indonesia.
"Terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pilpres," wanti pria yang juga seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.
Feri lalu mengurai sejumlah pasal yang memayungi aturan terkait. Pertama, Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Adapun Pasal 282 berbunyi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye," ungkap Feri
"Juga Pasal 283, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye," sambung Feri.
Feri mengamini aturan disebutkan otomatis gugur jika mereka cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, hal itu tertuang dalam aturan dalam Pasal 281.
Meskipun demikian, walau tidak melanggar aturan, tetapi bentuk keberpihakan kepala negara bakal berbenturan dengan etika dan moral.
"Namun semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," Feri memungkasi.
Advertisement