9 Golongan Ini Bebas Makan Minum Selama Puasa di Purwakarta

Warung makan bebas buka siang hari saat puasa, tapi hanya boleh melayani pengunjung yang memenuhi sembilan kriteria.

oleh Harun Mahbub diperbarui 14 Jun 2016, 13:30 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2016, 13:30 WIB
Purwakarta
Warung makan bebas buka siang hari saat puasa, namun hanya boleh melayani pengunjung yang memenuhi sembilan kriteria.

Liputan6.com, Jakarta Penutupan warung-warung makan yang buka saat puasa seperti pada warteg Saeni di Serang, Banten, tak bakal dijumpai di Purwakarta, Jawa Barat. Ini seiring Gerakan Ramadan Toleran yang digulirkan pemerintah setempat sejak dua tahun lalu.

Gerakan tersebut berisi imbauan Pemerintah Kabupaten Purwakarta yang dituangkan dalam Surat Edaran Bupati untuk menghormati warga yang sedang menjalankan ibadah puasa maupun warga yang tidak menjalankan ibadah puasa.

Surat edaran yang disebarkan sejak sebelum memasuki bulan Ramadan tersebut disebut sebagai wujud perlindungan negara terhadap seluruh elemen warga tanpa memperhatikan latar belakang agama dan kepercayaan. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menegaskan pihaknya tidak akan melarang rumah makan buka siang hari selama Ramadan.

Pada Ramadan tahun ini, banner Ramadan Toleran bertebaran di sudut-sudut Kabupaten Purwakarta mulai dari rumah makan sampai tempat umum. Beberapa orang terlihat berfoto di samping banner yang juga menyertakan panggilan Ambulance Semar itu.

Banner tersebut berisi informasi sembilan kategori masyarakat umum yang bebas makan dan minum, meskipun pada siang hari di bulan Ramadan. Akan tetapi, bukan berarti juga bentuk pembiaran Pemerintah Kabupaten Purwakarta terhadap gejala intoleransi kepada umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa.

"Silakan saja kalau mau buka pada siang hari, kami tidak akan menutup paksa rumah makan yang buka pada siang hari. Tetapi mohon diperhatikan juga kriteria pengunjung yang datang ke rumah makan selama bulan suci Ramadan, harus memenuhi surat edaran yang kami kemas menjadi banner," kata Dedi dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (14/6/2016).

Banner Ramadan Toleran di Purwakarta (Doc Pemkab Purwakarta)

Dia menyebutkan, kriteria tersebut adalah non-muslim, orang sakit, perempuan yang sedang menstruasi, hamil atau menyusui, anak-anak yang belum dewasa, orang yang dalam keadaan sakit, orang yang berada dalam perjalanan (musafir), dan yang terakhir orang yang mengalami sakit ingatan (gila).

Khusus untuk kriteria yang terakhir, Dedi menyiapkan ambulans dan perawat agar dapat segera dibawa ke rumah sakit jiwa. “Kalau orang yang makan dan minum pada siang hari tetapi tidak masuk poin satu sampai delapan, berarti masuk poin ke sembilan. Dengan senang hati saya antar ke rumah sakit jiwa," ujar Dedi.

Dedi pun segera meminta kepada seluruh pengelola rumah makan di Purwakarta agar selektif mempersilakan pengunjung berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh Pemkab Purwakarta.

"Kalau tidak masuk kategori saya minta untuk tidak dilayani. Kalau masuk salah satu kategori di atas, mah, ya silakan saja," ujar dia.  

Banner ini sudah dapat masyarakat temukan salah satunya di Rest Area KM 97 Tol Purbaleunyi. "Saya tertawa saat baca poin kesembilan. Ini bagus sekali daripada ribut-ribut lebih baik membuat imbauan yang teduh," kata Hamid, warga Jakarta, yang sempat melihat banner tersebut.

Ramadan Toleran, Bupati Dedi Dirisak

Dalam melaksanakan program Ramadan toleran tersebut, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengaku banyak mendapatkan tantangan. Salah satunya penolakan dari kelompok masyarakat intoleran atas kebijakan yang dia gulirkan ini.

"Saya sempat disebut gila, goblok, enggak mikir dan otak dengkul karena kebijakan saya ini," ujarnya.

Untuk kelangsungan program Gerakan Ramadan Toleran ini, menurut dia, dengan berbekal konsistensi seluruh elemen masyarakat Purwakarta pada akhirnya memahami bahwa bukan saja warga yang sedang menjalankan ibadah puasa yang harus dihormati, tetapi juga warga yang tidak menjalankan ibadah puasa pun memiliki hak yang sama.

Saat ini ia banyak menerima apresiasi dari kepala daerah yang lain dan tidak sedikit dari mereka yang ingin meniru kebijakannya tersebut. Hanya saja, mereka mengaku belum siap "perang psikologi" sehingga belum berani menggulirkan program Ramadan Toleran di wilayahnya.

"Problem di Indonesia ini kan banyak orang atau kelompok yang merasa berhak merepresentasikan dirinya sebagai penegak Islam dan itu hanya diyakini oleh orang atau kelompoknya tersebut," kata Dedi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya