Lihat Gamelan Cirebon Bayar Dengan Baca Syahadat

Gamelan Sekaten Cirebon yang sakral di Cirebon adalah salah satu media dakwah Sunan Gunung Jati.

oleh Panji Prayitno diperbarui 08 Jul 2016, 19:48 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2016, 19:48 WIB
Gamelan sekaten Cirebon
Gamelan Sekaten Cirebon yang sakral di Cirebon adalah salah satu media dakwah Sunan Gunung Jati.

Liputan6.com, Cirebon - Keraton Kasepuhan Cirebon merayakan Lebaran sekaligus melestarikan tradisi. Alunan musik Gamelan yang ada di area Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon menandai bahwa umat muslim Cirebon merayakan hari kemenangan. Gamelan tersebut dinamakan Gamelan Sekaten yang selalu ditabuh setiap Idul Fitri dan Idul Adha.

Gamelan dibunyikan saat setelah sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. "Alat musik gamelan banyak tapi di kami disesuaikan sesuai momen. Kalau momen pertunjukan biasa gamelan sekaten tidak kami keluarkan karena gamelan ini sangat sakral," kata Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat di Cirebon, Rabu 6 Juli 2016.

Dia mengatakan Gamelan Sekaten merupakan bagian dari media dakwah Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam di Cirebon. Saat itu, masyarakat yang melihat dan mendengarkan Gamelan Sekaten harus membayar. Namun, masyarakat tidak membayar dengan uang, melainkan dengan menyebutkan dua kalimat Syahadat.

Dalam pelaksanaan Salat Idul Fitri, Keraton Kasepuhan melaksanakannya sebanyak dua kali. Yang pertama di Langgar Agung, kedua di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

"Perbedaannya kalau di Langgar Agung usai Salat Id dilanjutkan khotbah dengan menggunakan bahasa Arab. Kalau di Masjid Agung Sang Cipta Rasa khotbahnya menggunakan bahasa Indonesia dan pengkhotbahnya memakai tongkat khotbah peninggalan Sunan Gunung Jati," tutur PRA Arief.

Dia menjelaskan, dua kali pelaksanaan salat Id tersebut berawal dari anjuran pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru agar setiap khotbah menggunakan bahasa Indonesia. Sementara itu, tradisi yang masih berjalan di Keraton Kasepuhan adalah khotbah menggunakan bahasa Arab.

Pihak keraton pun memutuskan untuk khotbah menggunakan bahasa Arab ditarik ke dalam keraton. "Kalau dulu di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa khotbahnya pakai bahasa Arab. Itu dilakukan setiap Idul Fitri, Idul Adha dan Solat Jumat," ujar PRA Arief.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya