Perawan Ting Ting dan Magisnya Tari Sintren

Tari sintren diyakini merupakan wujud cinta pasangan kekasih yang tak direstui keluarga.

oleh Fajar Eko Nugroho diperbarui 23 Agu 2016, 10:01 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2016, 10:01 WIB
Perawan Ting Ting dan Magisnya Tari Sintren
Tari sintren diyakini merupakan wujud cinta pasangan kekasih yang tak direstui keluarga. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Liputan6.com, Brebes - Tari sintren merupakan pertunjukan budaya yang sudah melegenda bagi masyarakat pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Belum diketahui pasti sejak kapan kesenian ini mulai muncul. Namun, kesenian ini diyakini sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Hingga kini, seni tari sintren masih kental dengan unsur magis dan mistis ini. Meskipun kini kemajuan teknologi telah menggerus zaman, kesenian yang juga disebut lais itu masih dilestarikan segelintir pegiat seni budaya.  

Atas dasar itu, Dinas Pariwisata Budaya Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Brebes Jateng bekerja sama dengan Lembaga Studi dan Agama (Elsa) dan didukung Dewan Kesenian menggelar kesenian sintren di Pendopo Jaka Poleng, Sabtu, 20 Agustus 2016.

Pagelaran sintren bertajuk "Merajut Harmoni Merawat Tradisi" itu menarik warga dan menjadi ajang pelestarian sintren yang mulai jarang ditampilkan di muka umum.  

Salah satu faktor menarik dalam pertunjukan sintren adalah pemilihan pemain utama. Syaratnya adalah gadis belia yang belum mengalami menstruasi dan dijamah lelaki bukan muhrim. Selain itu, selama pertunjukan sintren selalu diiringi musik tradisional dan lantunan lagu yang merupakan mantra untuk memanggil arwah atau roh dari alam gaib.

Berdasarkan pantauan Liputan6.com, pertunjukan sintren diawali dengan iringan musik tradisional dan lagu-lagu mantra berbahasa Jawa. Alat musik pengiring itu terbuat dari tembikar dan kipas bambu yang ketika ditabuh dengan cara tertentu menimbulkan suara yang khas.

Tak lama berselang, sang penari sintren pun mulai memasuki panggung dengan sedikit gerakan dari kedua tangannya.  

Setelah berada di atas panggung pertunjukan, pawang sintren memperebutkan sebuah kurungan dari pohon bambu yang sudah dibalut kain bewarna merah ke sintren yang duduk menunggu.  

Sekitar lima menit kemudian, setelah pawang membacakan mantra-mantra, kurungan itu diangkat oleh sang pawang. Ajaib, sang gadis itu sudah berubah penampilan.  

Ia berganti pakaian dari kepala hingga kaki, lengkap dengan kaca mata hitam. Sang sintren pun langsung memeragakan tarian dengan gayanya yang lemah gemulai.  

Saat menari itulah, tampak sang sintren mulai menunjukkan kemahirannya dan menciptakan suasana yang cukup berbeda serta sedikit menegangkan. Beruntung, empat orang penjaga sintren yang berada tak jauh dari aksi menawan liukan kaki, tangan, dan kepala sang sintren mampu menjaga tubuhnya tidak sampai terjatuh.

Sesekali terlihat penonton memberikan uang dengan cara dilempar ke arah sang sintren. Uang balangan--sebutan untuk uang saweran--itu tak sampai mengenai ataupun menyentuh sang sintren. Jika uang balangan itu sampai menyentuh bagian tubuhnya, sang sintren pun langsung roboh pingsan jatuh ke lantai.  

Untuk itu, pawang sintren menyebarkan asap kemenyan. Tujuannya agar membuat sang sintren terus menari dan melanjutkan pertunjukannya sampai usai.  

Cinta Sulasih

Tari sintren diyakini merupakan wujud cinta pasangan kekasih yang tak direstui keluarga.
Tari sintren diyakini merupakan wujud cinta pasangan kekasih yang tak direstui keluarga. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Selama pertunjukan sekitar satu jam, ratusan penonton yang memadati pendopo Brebes pun sempat dibuat takjub dan serius menyaksikan aksi sang sintren. Sembari duduk maupun berdiri, kedua mata penonton serius tertuju ke arah sang sintren.

Menurut Suwanto, pimpinan kesenian Sintren Brebes, kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis atau magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Ia menceritakan, Sulandono adalah putra pertama Bupati Kendal, Ki Bahurekso, dengan Dewi Rantamsari atau Dewi Lanjar.

Sulandono memadu kasih dengan seorang putri dari Desa Kalisalak bernama Sulasih. Namun, hubungan mereka tidak direstui. Akhirnya, Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari.

Meskipun demikian, konon pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Berdasar kisah itulah, kabarnya kesenian tari sintren lahir.  

"Penampilan sintren ini sebagai upaya melestarikan budaya pantura yang telah dikenal sejak beratus-ratus tahun yang silam," ucap Suwanto di Brebes, Jateng, Sabtu, 20 Agustus 2016.  

Ia menyebut bahwa kesenian sintren telah menjadi tradisi dan kehadirannya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa, khususnya di wilayah pantura barat.  

"Sampai saat ini, masyarakat Brebes masih mengenal sintren sebagai kesenian yang mengandung magis dan mistis. Padahal, suatu keterampilan yang bisa dijalankan oleh siapa saja," kata dia.  

Kesenian sintren, kata dia, seperti halnya sulap, bisa dipelajari. Tentu saja membutuhkan keseriusan dan waktu yang tak sedikit.  

"Belajar menari sintren itu butuh waktu, karena ada beberapa pendalaman selain tariannya, juga bagaimana agar bisa memasuki jiwanya untuk berkonsentrasi membuat tarian itu menjadi lebih hidup," kata dia.  

Sementara itu, Kepala Disparbudpora Brebes Amin Budiharjo mengatakan pagelaran sintren bertajuk "Merajut Harmoni Merawat Tradisi" ini sebenarnya sudah pernah digelar beberapa kali. Pagelaran sintren diselenggarakan untuk menumbuhkan rasa toleransi di antara warga di Kabupaten Brebes.

"Di sini (Brebes) keragaman budaya dan bahasa yang lebih dari satu. Ada suku Jawa dan suku Sunda. Maka, hal itu yang mempengaruhi budaya dan bahasa yang berlainan. Sehingga tetap terjalin silaturahmi antar warga yang memiliki budaya dan tradisi serta bahasa yang berlainan," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya