Isu Sertifikat Tanah Palsu Mencuat Usai Eksekusi Kampung Bugis

Sebidang tanah yang menjadi objek sengketa warga Kampung Bugis bermula dari kisah Raja Pemecutan ratusan tahun silam.

oleh Dewi Divianta diperbarui 05 Jan 2017, 12:02 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2017, 12:02 WIB

Liputan6.com, Denpasar - Pasca-eksekusi tanah sengketa warga Kampung Bugis, Serangan, Denpasar, Bali kuasa hukum Warga Kampung Bugis, Rizal Akbar melaporkan Ketua PN Denpasar Mustafa Jafar dan staf panitera lainnya. Menurut dia, eksekusi tanah warga Kampung Bugis dinilai sesat.

"Eksekusi sesat karena eksekusi kali ini berdasarkan Putusan Makamah Agung Nomor: 8031/PTT/2012/ Maret 2012 cacat hukum. Pelaksanaan keputusan itu tidak berkaitan dengan tanah obyek sengketa," kata dia di Denpasar, Rabu (4/1/2017).

Dari informasi yang dihimpun, tanah yang menjadi sengketa itu penerbitan sertifikatnya tidak sesuai dengan objek yang dieksekusi. Rizal menuding penerbitan sertifikat tanah itu adalah palsu.

Hal itu berdasar pengakuan pemohon Hajah Maisarah, tanah yang dimaksud pada sisi timur berbatasan dengan tanah milik Haji Muhamad Anwar dan tanah milik kehutanan. Namun sesuai dengan sertifikat, tanah di sebelah timur bukan berbatasan dengan tanah milik kehutanan dan tanah milik Haji Muhamad Anwar.

Pihaknya mengaku telah melaporkan pemohon dan tentang dugaan pemalsuan sertifikat tanah yang dilakukan pemohon dan telah dibatalkan BPN Kota Denpasar. Dalam eksekusi tanah tersebut Badan Pertanahan Kota Denpasar dilibatkan.

"Kenapa eksekusi kali ini tidak melibatkan BPN Kota Denpasar sebagai lembaga yang mengetahui tentang konflik perbatasan tanah, kepemilikan tanah sesuai sertifikat," kata Rizal.

Ia menambahkan kliennya sudah memasukkan tiga laporan perdata tentang eksekusi palsu dengan kawalan anggota polisi, laporan pidana perusakan rumah milik 34 warga Kampung Bugis dan pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh panitera PN Denpasar dan aparat Polresta Denpasar.

"Kami sudah sampaikan argumentasi dengan Kapolresta tapi tidak mendapat tanggapan," ucap dia.

Menurut Rizal, masih ada kejanggalan lain dalam sertifikat yang dimiliki pemohon Hajah Maisarah yang akan digunakan sebagai bukti baru untuk menggugat atas klaim tersebut.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KSS) atau Suku Bugis Bali Zainal Tayeb menceritakan asal muasal tanah yang menjadi sengketa tersebut. Tanah yang ada di Serangan itu sebenarnya milik dari Raja Puri Pemecutan.

Sekitar 200 tahun lalu, belasan warga Bugis terdampar di Pulau Serangan. Mereka menempati pulau itu yang saat itu masih terpisah dari Denpasar karena dipisahkan oleh selat kecil.

Suatu hari, datanglah pemilik tanah, yakni Raja Puri Pemecutan, berkunjung ke Serangan. Saat raja datang, warga Bugis yang terdampar itu mencium tangan raja dan meminta maaf telah menghuni pulau yang belum ada penghuni tersebut.

"Ketulusan itu membuahkan hasil manis, di mana sang raja memberikan tanah tersebut untuk tinggal. Saat Raja Pemecutan berperang melawan Raja Mengwi, banyak prajurit asal Bugis itu yang ikut berperang dan mendapatkan kemenangan. Raja akhirnya memberikan tanah itu kepada suku Bugis baik yang di Serangan maupun di Kepaon," kata dia.

Zainal menjanjikan akan memberikan tempat tinggal sementara untuk 34 kepala keluarga yang menjadi korban penggusuran.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya