Anaknya Jadi Korban, Orangtua Tak Antipati Kegiatan Mapala UII

Orangtua korban luka Diksar Mapala Unisi UII tetap mengizinkan anaknya untuk ikut kegiatan tersebut.

oleh Yanuar H diperbarui 29 Jan 2017, 11:04 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2017, 11:04 WIB

Liputan6.com, Yogyakarta - Sebanyak 14 mahasiswa masih dirawat di RS JIH usai mengikuti Diksar Mapala Unisi UII di Tawangmangu, Karanganyar. Imam Hakim, orangtua salah satu mahasiswa peserta korban The Great Camping itu mengaku masih mengizinkan anaknya jika hendak kembali menjadi anggota Mapala.

Imam beralasan, Mapala merupakan kegiatan positif karena memiliki andil dalam pelestarian alam, sosial, dan juga kemanusiaan. "Anak saya saat ini masih dirawat intensif di sini (RS JIH). Saya tetap mengizinkan kalau masih ingin melanjutkan menjadi anggota Mapala," ujar Imam di RS JIH, Jumat, 27 Januari 2017.

Imam menuturkan setiap organisasi pecinta alam seperti Mapala memiliki sistem dan SOP sendiri, ditambah kode etik pecinta alam yang menjadi pedoman para pecinta alam. Maka itu, insiden penganiayaan yang menimpa peserta Diksar Mapala UII itu hanya merupakan tindakan oknum.

"Prosedurnya tentu baik, ada kode etiknya juga. Hanya mungkin bisa jadi pelaksana prosedur itu ya," kata Iman.

Imam mengatakan usai kejadian ini, lembaga yang menaungi kegiatan Mapala harus memperketat monitoring. Monitoring, sambung dia, harus dilakukan sebelum acara, saat pelaksanaan sampai selesai pelaksanaan. Hal itu harus dilakukan agar SOP dan kode etik yang ada tidak dilanggar oleh oknum.

"Yang ini SOPnya tidak salah. Saya pikir jangan-jangan ada oknum yang emosional lalu melanggar SOP. Kita serahkan saja ke pihak berwajib, supaya ke depannya tidak mewariskan yang demikian ini," ucap dia.

Sementara itu, Budi Setiawan ayah dari Abyan Razaki yang menjadi korban Diksar Mapala dan masih dirawat di RS JIH mengatakan insiden Diksar Mapala harus menjadi catatan besar bagi pelaksanaan diksar Mapala Unisi dan lainnya.

"Saya ini aja. Oknum ini jangan seperti terjadi terulang yang keempat dan keenam dan lebih hati-hati," ujar Budi.

Di tempat berbeda, Sri Handayani, ibunda Syaits Asyam mengaku tidak lagi ingin membicarakan kejadian yang menimpa anaknya hingga meninggal dunia. Ia menyerahkan semuanya ke pihak kepolisian agar pelaku dapat dihukum sesuai aturan yang ada.

"Semua biar pak polisi saja," ujar Sri.

Sekber Mapala: Mapala Bukan Pembunuh

Pecinta alam di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Perhimpunan Pecinta Alam (Sekber PPA) DIY telah berkumpul dan menyatakan sikap atas kejadian yang menimpa Mapala Unisi UII.

Koordinator Gunung Hutan Sekber PPA DIY, Dimas Satria membacakan tujuh poin pernyataan sikap mereka. Pertama, sekber PPA DIY  menyampaikan rasa duka cita yang sedalam-dalamnya kepada keluarga almarhum Muhammad Fadhli, Syaits Asyam, Ilham Nurfadmi Listia Adi dan Keluarga Besar Mapala Unisi Yogyakarta dan seluruh pecinta alam seluruh Indonesia.

"Mendoakan seluruh peserta dan Panitia The Great Camping XXXVII Mapala Unisi Yogyakarta serta Pecinta Alam Indonesia agar diberikan keselamatan serta lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Dimas Satria saat memberikan dukungan di kampus UII jalan Cik Di Tiro, Jumat, 27 Januari 2017.

Sekber PPA DIY, sambung Dimas, mendukung sepenuhnya proses evakuasi internal Mapala Unisi Yogyakarta dan menghargai seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. Sekber PPA juga mengajak seluruh pecinta alam di Indonesia untuk selalu memegang teguh kode etik pecinta alam Indonesia dalam setiap kegiatan.

"Mendukung sepenuhnya sistem pendidikan kepecintaalaman yang memperhatikan nilai-nilai dasar prinsip dan tujuan pendidikan yang terintegrasi dengan nilai-nilai hak asasi manusia," kata dia.

Dimas juga mengajak seluruh pecinta alam di Indonesia untuk selalu menerapkan prosedur keamanan dan keselamatan dalam setiap aktivitasnya. Perhimpunannya juga memfasilitasi Organisasi Pecinta Alam (OPA) di DIY yang hendak mengevaluasi atau mengkaji ulang sistem pendidikan kepecintaalaman dengan menghormati prinsip otonomi masing-masing OPA.

"Masing-masing Organisasi Pecinta Alam (OPA) memiliki otonomi masing-masing dalam sistem pendidikan maupun SOP. Namun, harus berpedoman pada kode etik Pecinta Alam Indonesia," kata dia.

Dimas menyatakan pernyataan sikap ini diikuti oleh 60 organisasi pecinta alam di DIY. Rapat dilakukan dan berakhir pada pada pukul 02.00 WIB Jumat dini hari. Pernyataan sikap ini diharapkan dapat menjadikan organisasi pecinta alam semakin baik.

"Kita tidak bakal main kekerasan fisik. Kita selalu mendukung bahwa Mapala bukanlah pembunuh," kata Dimas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya