Tembus Prancis, Rebana Gorontalo Hampir Hilang di Kampung Halaman

Meski diminati pasar Prancis, minat anak muda Gorontalo pada alat musik tradisional mereka malah minim.

oleh Aldiansyah Mochammad Fachrurrozy diperbarui 01 Apr 2017, 08:05 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2017, 08:05 WIB
Tembus Prancis, Rebana Gorontalo Hampir Hilang di Kampung Halaman
Meski diminati pasar Prancis, minat anak muda Gorontalo pada alat musik tradisional mereka malah minim. (Liputan6.com/Aldiansyah Mochammad Fachrurrozy)

Liputan6.com, Gorontalo - Alat musik tradisional Gorontalo berupa rebana, gambus, dan marwas perlahan tapi pasti ditinggalkan para kaum mudanya. Hal ini menyebabkan alat musik tradisional itu terancam punah, meski namanya harum di Prancis.

Menurut Umar Husain (40), warga Desa Talumelito, Gorontalo, perajin alat musik rebana yang tersisa saat ini hanya bisa dihitung jari. Pemerhati budaya sekaligus pembuuat alat musik itu menyebut perajin yang ada saat ini juga sudah lanjut usia.

"Karena itulah, saya bersama rekan-rekan lainnya berusaha untuk tetap melestarikan alat musik tradisional ini," kata Umar, pada Kamis, 30 Maret 2017.

Bapak dua anak itu mengaku tertarik memainkan alat musik tradisional Gorontalo tersebut sejak kecil. Ia mulai memproduksi alat musik sendiri pada 2000. Saat itu, ia membuat hanya untuk digunakan sendiri.

Pada 2002, barulah alat musik buatannya dikenal masyarakat dan dipasarkan hingga ke luar daerah Gorontalo. "Pada 2000, alat musik ini pernah hilang dari permukaan, sehingga melihat kondisi itulah kemudian saya mulai membuat alat musik, hingga akhirnya banyak yang mulai memesan beberapa jenis alat musik," kata Umar.

Menurut Umar, produksi alat musik tradisional itu membutuhkan keahlian khusus agar bisa menghasilkan suara khas yang diharapkan. Selain itu, bahan-bahan yang dibutuhkan harus menggunakan bahan pilihan.

Meski diminati pasar Prancis, minat anak muda Gorontalo pada alat musik tradisional mereka malah minim. (Liputan6.com/Aldiansyah Mochammad Fachrurrozy)

Untuk membuat rebana, gambus, dan marwas, perajin memerlukan batang pohon nangka sebagai bahan utama. Sementara, kulit rebana diambil dari kulit kambing pilihan. Berkat konsistensinya, 40 buah rebana dan dua gambusi produksinya berhasil terjual di Prancis.

"Saya pertama buat alat musik wahulo (rebana), marawis dan gambusi pada tahun 2000 dan hanya menerima pesanan saja, tidak dititipkan atau dijual langsung kepada pembeli melalui toko," kata dia.

Umar mematok harga alat musik buatannya berdasarkan jenis suara dan ukuran. Untuk harga alat musik Rebana dipatok dengan antara Rp 1,5 juta-4 juta. Untuk alat musik gambus, harganya bisa mencapai Rp 2 juta dan alat musik marwas dipatok dengan harga Rp 250 ribu.

Pria yang tergabung dalam Sanggar Woli Ponelo itu menjelaskan saat ini lebih banyak memproduksi alat musik, termasuk rebana, berdasarkan pesanan. Meski begitu, pesanan yang datang tidak hanya dari Gorontalo, tetapi juga daerah lain.

Meski potensial, perajin kini terkendala kurangnya alat-alat produksi yang digunakan para perajin. Ia berharap pemerintah daerah membantu para perajin agar bisa tetap melestarikan warisan budaya berupa alat musik tradisional itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya