Cerita Nelayan-Nelayan Sangihe Menyatu dengan Laut

Nelayan Sangihe berinisiatif menjaga kawasan laut, dituangkan dalam peraturan kampung.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 18 Sep 2017, 06:30 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2017, 06:30 WIB
Nelayan Sangihe
Nelayan Sangihe menyatu dengan laut (Liputan6.com / Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Sangihe - Sebagai daerah kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan, sektor kelautan dan perikanan menjadi andalan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulut menyatu dengan laut dalam menggenggam hidup. 

Kampung Bukide Timur, Kecamatan Nusa Tabukan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, masuk dalam salah satu gugusan pulau yang berjejer hingga ke Pulau Marore yang berbatasan dengan Filipina. Memerlukan waktu lebih kurang tiga jam perjalanan dengan menggunakan perahu bermotor. Butuh perjuangan keras melawan tingginya ombak untuk bisa mencapai kampung berpenduduk 475 jiwa ini.

"Tapi kami sudah terbiasa, hidup dan besar dari hasil laut. Sehingga sudah menyatu dengan kami," ungkap Makawowode Manumbalung, salah satu nelayan di Kampung Bukide Timur, saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu, 06 September 2017.

Sore itu Makawowode bersama sejumlah warga lainnya antusias menceritakan bagaimana suka-dukanya menggantungkan hidup sebagai seorang nelayan.

"Kami biasa bekerja di pajeko atau kapal motor penangkap ikan. Pendapatan kami bisa dikatakan pas-pasan, karena hasil tangkapan itu setelah dijual akan dibagi dengan pemilik pajeko," jelasnya.

Makawowode mencontohkan, dalam satu pajeko misalnya ada 30 nelayan yang bekerja. Hasil tangkapan ikan jenis malalugis, deho dan tude itu lantas mereka jual ke pedagang di Kampung Petta atau Tahuna. Nah nasil penjualan itu, setelah dipotong biaya bahan bakar, mereka berbagi dengan pemilik.

"Misalnya hasil penjualan ikan semua tujuh juta. Setelah dipotong biaya bahan bakar, sisa lima juta. Dua setengah juta kami berikan ke pemilik pajeko, dan dua setengah juta kami bagi 30 orang nelayan," ujar dia.

Mendapat penghasilan kurang dari seratus ribu rupiah untuk pekerjaan semalam mencari ikan dengan menerjang ombak, tentu bukan hasil yang menggembirakan untuk Makawowode dan kawan-kawan.

"Sebenarnya kami juga ada koperasi kelompok nelayan. Namun sistem pembagiannya juga sama. Bedanya 50 persen diberikan sebagai dana kas koperasi," kata Wilson Kalase, warga Sangihe yang juga bekerja sebagai nelayan.


 

 

Penjual Ikan Sangihe
Penjual ikan di Pasar Towoe Sangihe (Liputan6.com / Yoseph Ikanubun)

Keraifan Lokal Menjaga Laut

Minimnya pendapatan mereka, selain karena faktor cuaca dan peralatan penangkapan ikan, juga disebabkan pencurian ikan dengan menggunakan pukat berukuran kecil serta penggunaan bahan peledak dan racun.

"Akibatnya sudah bisa dipastikan ikan dari kecil hingga besar ditangkap. Sehingga stok ikan makin menipis, atau kian jah kami mencarinya. Konsekuensinya adalah biaya bahan bakar membengkak," ujar Wilson.

Menyadari makin sulitnya dan jauhnya mencari ikan ke tengah laut, warga Kampung Bukide Timur didampingi Perkumpulan Sampri menginisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Daerah Perlindungan Laut (DPL).

"Dalam KKL atau DPL ini, intinya ada tiga zona yakni zona inti, zona penyangga, dan zona perikanan berkelanjutan," ungkap Sahrul Pansariang, Kapitalau atau Kepala Kampung Bukide Timur, Rabu, 06 September 2017.

Menariknya, pembentukan KKP dan DPL itu kemudian dirumuskan dalam sebuah Peraturan Kampung yang intinya mengatur jenis alat penangkap ikan, wilayah mana saja yang dibolehkan dan mana yang dilarang untuk menangkap ikan.

"Dalam Peraturan kampung Nomor 02 Tahun 2007 itu juga diatur sangsi bagi mereka yang melanggar. Ada sangsi teguran hingga menjadi pekerja sosial, membayar denda, alat penangkap ikan disita, hingga pidana," kata Sahrul didampingi Sekretaris Kampung Albar Bulegalangi.

Rabu 06 September 2017 sore itu, ratusan warga Bukide Timur berkumpul di balai kampung. Mereka mengikuti sosialisasi peraturan kampung terkait KKP atau DPL yang dilakukan oleh pemerintah kampung, kecamatan, serta Perkumpulan Sampiri dan Yapeka.

"Sudah sekian lama kami ikut mengadvokasi masyarakat nelayan hingga akhirnya bisa lahir peraturan kampung ini. ini juga karena partisipasi masyarakat dan dukungan Perkumpulan Yapeka," ujar Sam Barahama dari Perkumpulan Sampiri.

Usai sosialisasi dan dialog, warga lantas memasang pelampung sebagai tanda batas zona atau wilayah mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan aktivitas penangkapan ikan.

"Dengan peraturan kampung ini diharapkan bisa melindungi sumber pendapat warga dari aktivitas pencurian ikan," kata Camat Nusa Tabukan, Tanmalik Karim.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya