Taksiran Kerugian Negara dalam Kasus Pohon Ketapang di Makassar

Penetapan tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi di lingkup Pemkot Makassar pun mendapat perhatian serius pengamat hukum di Makassar.

oleh Eka Hakim diperbarui 10 Jan 2018, 08:02 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2018, 08:02 WIB
Polisi geledah kantor Balaikota Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Polisi geledah kantor Balaikota Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Penyidik Subdit 3 Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel resmi menetapkan lima tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar.

Untuk kasus dugaan pengadaan dan penanaman pohon ketapang kencana, penyidik menetapkan mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, Abdul Gani Sirman dan beberapa stafnya, yakni Budi Susilo, Buyung Haris, dan Abu Bakar Muhajji.

Sedangkan untuk kasus dugaan korupsi pembangunan sanggar kerajinan lorong-lorong, penyidik kembali menetapkan Abdul Gani Sirman sebagai tersangka dan Kepala Bidang Koperasi Dinas Koperasi dan UKM Makassar, M. Enra Efni. Gani dalam kasus ini sendiri diketahui sebagai mantan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar.

Penyidik baru akan berkoordinasi dengan BPKP Sulsel untuk menghitung secara jelas kerugian negara yang ditimbulkan dari dua proyek lingkup Pemkot Makassar ini.

"Sebelumnya, taksiran yang dihitung itu ada potensi kerugian negara sekitar Rp 1 miliar," ucap Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani, dalam rilisnya, Selasa, 9 Januari 2018.

 

Tanggapan Pengamat Hukum

Dosen Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina SH. MH (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Dosen Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina SH. MH (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Penetapan tersangka yang dilakukan penyidik dalam dua kasus dugaan korupsi lingkup Pemkot Makassar sebelum ada kejelasan kerugian negara yang nyata, mendapat tanggapan dari kalangan pengamat hukum di Sulsel.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, Jermias Rarsina kepada Liputan6.com mengemukaan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menegaskan membatalkan tafsiran kata "dapat" dalam unsur tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara menurut Undang-Undang Tipikor, yaitu tidak lagi sebagai delik formal.

Akan tetapi, kata dia, berlaku sebagai delik materiel dalam artian bahwa kerugian negara harus bersifat penghitungan yang nyata (tidak potensial loss).

Jika ada aparat hukum menetapkan tersangka seseorang tanpa didasari dari putusan MK yang telah memberikan dasar hukum penilaian kerugian negara sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka menurut ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menurut Jermias, diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan (onrecht matige over heid daad).

Rincinya, sebagai perbuatan tanpa dasar dalam hal ini tidak melaksanakan atau tidak menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang diartikan sebagai tindakan kesewenang-wenangan.

Adapun menetapkan tersangka sebelum menemukan perhitungan kerugian negara yang nyata itu dapat dikatakan bertentangan dalam putusan pengadilan dalam hal ini putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 alias penetapan tersangka cacat hukum. Sebab, dari sisi adminisrasi pemerintahan, harus ada kewenangan penilaian yang sah.

"Masa putusan MK mau ditafsir lain lagi," ujar Jermias, dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar.

Apalagi, ia menambahkan, putusan MK merupakan hak pengujian UU Tipikor di bawah UUD 1945 yang pada pokoknya bersifat menciptakan hukum (Recht Schepping).

Tersangka Dijerat 2 Pasal UU Tipikor

Polisi menyita dokumen dari kantor Dinas Lingkungan Hidup Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Polisi menyita dokumen dari kantor Dinas Lingkungan Hidup Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Para tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi lingkup Pemkot Makassar dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sebelumnya, proyek pengadaan dan penanaman pohon ketapang kencana yang dikerjakan oleh Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Makassar, di mana penyidik mengendus terjadinya dugaan mark-up atau penggelembungan harga senilai Rp 1,8 miliar dari total pagu anggaran yang digunakan sebesar Rp 6.918.000.000 yang bersumber dari APBD tahun 2016.

Menurut penyidik, dana yang terealisasi dalam proyek tersebut diperkirakan hanya sebesar Rp 5.027.263.000. Dengan demikian, dinilai terdapat sisa anggaran dari proyek ketapang kencana sebesar Rp 1.890.727.000 yang dilaksanakan selama enam bulan, yakni dari Juli sampai Desember 2016 dan dikerjakan melalui empat kali kontrak kerja sama.

Tak hanya proyek ketapang, penyidik juga bersamaan menyelidiki dugaan korupsi pada proyek pembangunan sanggar kerajinan lorong-lorong oleh Dinas Koperasi dan UMKM Makassar yang diketahui menggunakan pagu anggaran tahun 2016 sebesar Rp 1.025.850.000.

Proyek kerajinan lorong Makassar tersebut diduga terjadi penyimpangan berupa adanya dugaan kekurangan volume pengadaan barang, dugaan mark up harga, dan dugaan perbuatan memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket karena belakangan dana yang terealisasi ditemukan hanya senilai Rp 975.232.000.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya