Smong, Kearifan Lokal dari Kehadiran Tsunami di Aceh

Dalam kearifan lokal di Aceh, sudah dikenal istilah smong atau saat ini sering disebut tsunami.

oleh Rino Abonita diperbarui 09 Jan 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2019, 12:00 WIB
Ilustrasi tsunami
Ilustrasi tsunami (Unsplash.com)

Liputan6.com, Aceh - Melacak tapak gempa dan tsunami di Aceh berarti menelusuri rekam jejak sejarah lampau. Sebelum peristiwa 26 Desember 2004 terjadi, Aceh pernah dihantam bencana yang sama.

Pada 2006 silam, ditemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan ini secara eksplisit menyebut pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau 3 November 1832 Masehi.

Hal ini didukung adanya beberapa catatan penjelajah Barat yang menyebut pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883. Kemungkinan, gempa terjadi di dua waktu yang berbeda.

Setahun sebelum manuskrip tersebut, juga ditemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah yang ditulis anonim ini diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.

Di dalamnya, dipaparkan gempa bumi bisa terjadi dalam rentang waktu dari Subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan. Salah satu bagiannya menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut atau tsunami hingga ke daratan.

Selanjutnya, di dalam Kitab Ibrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh, Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul disebut, tsunami pernah terjadi pada 1324 Hijriah atau 1906 Masehi.

Tsunami di Aceh juga disebut dalam ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909. Tertulis di situ, pada 1907, seluruh daerah pantai barat pernah dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat dan menelan banyak korban.

Berbagai catatan dan literasi ini menjadi bukti gempa dan tsunami di Aceh tidak hanya bisa dilacak melalui jejak geologis. Negeri yang terkenal dengan aturan syariah ini pernah mengalami hal yang sama, jauh sebelum bencana pada 26 Desember 2004 terjadi.

Kearifan Lokal dan Amuk Tsunami

Tsunami
Tsunami/pixabay

Pengalaman generasi terdahulu menjadi pelajaran bagi generasi setelahnya. Inilah kemudian yang telah menyelamatkan warga di Kepulauan Simeulue.

Perlu dicatat, saat gempa dan tsunami menghantam Aceh, ratusan ribu orang tewas dan banyak bangunan luluh lantak. Namun, Pulau Simeulue punya cerita berbeda.

Dari sekitar 78.000 penduduk di kepulauan itu, hanya delapan orang yang tercatat sebagai korban meninggal dunia. Sumber lain menyebut, jumlah korban antara empat hingga tujuh orang.

Padahal, Pulau Simeulue terletak hanya sekitar 60 kilometer dari episentrum gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter itu. Lantas, mengapa tidak banyak jatuh korban di Pulau Simeulue?

Jawabannya, karena kesiapsiagaan terhadap bencana, khususnya gempa dan tsunami, sudah menjadi kearifan lokal di Kaputen Simeulue. Kabupaten ini terdiri dari delapan kecamatan setelah mekar dari Aceh Barat pada 1999.

"Orang-orang di Simeulue itu lebih tajam sonarnya daripada ikan-ikan di laut. Mereka bersekutu dengan alam. Membaca tanda-tanda alam setelah gempa," kata Ampuh Devayan, budayawan Aceh yang juga putra Pulau Simeulue, kepada Liputan6.com, Selasa, 8 Januari 2019, sore.

Beda dengan daerah lain di Aceh, masyarakat di kepulauan Simeulue mengungsi ke gunung dan dataran tinggi sesaat setelah gempa. Mereka telah memprediksi akan terjadi tsunami.

Hal inilah yang menyebabkan mayoritas di antara mereka selamat. Adapun korban yang tidak selamat saat itu, ungkap Ampuh, adalah orang yang sedang sakit atau tertimpa reruntuhan bangunan akibat gempa.

Sementara itu, di beberapa daerah lain di Aceh, orang malah berbondong-bondong menuju tepi pantai untuk memunguti ikan yang sedang menggelepar-gelepar karena air laut surut beberapa saat setelah gempa.

Ampuh melanjutkan, yang mendorong warga di Simeulue menuju ke dataran tinggi serta menghindari laut adalah wasiat orangtua. Di benak mereka sudah tertanam wasiat dari orangtua yang selalu berpesan untuk mencari tempat tinggi jika sewaktu-waktu terjadi gempa.

Hal ini demi menghindari kemungkinan terjadinya tsunami atau dalam bahasa Simeulue dikenal dengan sebutan smong. Smong berasal dari bahasa Devayan, salah satu dari tiga bahasa dominan di Pulau Simeulue.

"Almarhumah Mak ketika masih SD mewasiatkan, 'mali linon, fesang smong' (kalau ada gempa (pasti) disusul smong atau tsunami)," kenang Ampuh yang saat kejadian ikut membawa keluarganya menuju dataran tinggi.

Wasiat tentang smong dalam masyarakat Simeulue sering diceritakan dalam bentuk nafi-nafi (cerita bertutur) orangtua kepada anaknya. Sering pula dituturkan dalam bentuk nanga-nanga (semacam pantun yang sering dilafalkan oleh anak-anak di Simuelue).

Salah satu bunyi nanga-nanga tersebut, yakni:

Kilek, suluh-suluhmo, Lai’ (bubuk) kedang-kedangmo, Linon uak-uakmu, Smong dumek-dumekmo.

Artinya, 'kilat sebagai suluh (penerang) mu. Petir jadi gendang-gendangmu. Gempa jadi ayunanmu. Tsunami jadi permandianmu.'

Smong Menggantikan Tsunami

Tsunami yang dijelaskan dalam sebuah ensiklopedia dari Hindia Belanda, yang pernah dijelaskan sebelumnya, merujuk pada gempa dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Simeulue. Bencana itu terjadi pada 1907. Karena itu orang di Pulau Simeulue menyebutnya bencana "taon 7".

Menurut Ampuh, peristiwa tersebut terjadi pada Jumat, 14 Januari 1907, sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Smong 1907 pusatnya berada di Salur, Mukim Bakudo Batu, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue.

Nafi-nafi mengenai smong ini terus diingatkan secara turun-temurun dan menjadi konvensi tak tertulis bagi masyarakat setempat. Bukan saja cerita tentang akibat yang ditimbulkan, tetapi juga gejala-gejala alam yang mendahaluluinya, atau oleh orang di Kepulauan Simeulue dikenal sebagai waskita atau pembaca tanda-tanda alam.

Kata Ampuh, masyarakat Pulau Simeulue adalah masyarakat yang pandai membaca alam. Masyarakat Simeulue lebih percaya tanda-tanda alam daripada tsunami warning system buatan manusia, yang menurutnya dapat eror sewaktu-waktu

"Misal, bila terjadi gempa yang disusul dengan surutnya air laut, itu kemungkinan akan terjadi tsunami. Tanda lain jika usai gempa, hewan berlarian ke arah dataran yang lebih tinggi, semisal gunung atau perbukitan," pungkas kepala sekolah menulis 'Panteue' yang kini berdomisili di Banda Aceh.

Smong menggantikan tsunami

Belakangan, kata smong menarik perhatian para peneliti internasional. Ini beriringan pula dengan munculnya diskursus, terutama di Aceh, tentang padanan kata mana yang tepat untuk menggantikan kosakata tsunami, yang diserap dari bahasa asing.

Terdapat dua pilihan kata, yakni smong dan ie beuna, yang juga berasal dari bahasa Aceh. Ie beuna disebut-sebut sudah lebih dulu ada sebelum kata smong.

Menurut Dosen Bahasa Indonesia dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyah, Herman, RN, ie beuna juga dijelaskan dalam hikayat-hikayat Aceh terdahulu.

"Ie beuna itu memang bahasa lokalnya orang Aceh. Ie itu air, beuna itu artinya benar. Kalau diartikan secara bebas, berarti air yang benar-benar air, air yang luar biasa biasa dahsyatnya," jelas Herman, kepada Liputan6.com, 8 Januari 2019, sore.

Berbeda dengan smong, penggunaan kata ie beuna tidak merujuk pada kejadian 'munculnya gelombang tinggi setelah gempa'. Saat itu, kata ie beuna digunakan hanya sebagai tutur pengingat bagi anak-anak agar tidak bermain di luar rumah, pada saat hujan lebat dan guntur.

"Jadi, dalam dialog sehari-hari, jika terdengar hujan lebat dan guntur, seorang ibu akan mengingatkan, 'neuk-neuk tamong, siat teuk ie beuna' artinya, nak, masuk ke dalam rumah, sebentar lagi datang ie beuna'. Begitu," jelas Herman.

Smong dianggap kata yang paling tepat, karena "keampuhannya" yang telah menolong ribuan nyawa di Pulau Simeulue, berbeda dengan wilayah lain di Aceh, seperti yang pernah dijelaskan.

Kiranya, ini pula yang mendorong United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) memberi penghargaan UN Sasakawa Award kepada orang-orang Simeulue pada 12 Oktober 2005. Penghargaan itu diberikan di Bangkok, Thailand.

Budaya tutur tentang smong di Pulau Simeulue dinilai ikut berkontribusi, bahkan mempromosikan tujuan dari strategi internasional untuk pengurangan bencana. Sebagai kearifan lokal, budaya tutur smong mengedukasi masyarakat untuk siap siaga.

Kiranya tidak berlebihan, jika kosakata smong ikut memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terakhir atau Edisi V. Dari 127.036 lema, terdapat 250 lema yang diserap dari bahasa Aceh, termasuk di dalamnya, kosakata smong.

Kosakata smong tersebut diusulkan oleh Balai Bahasa Aceh beberapa waktu lalu sebagai pengganti kata tsunami. Namun, menurut Herman, ada kesalahan ejaan, di mana kata smong ditulis semong.

"Tulisannya itu keliru. Sudah tiga versi berarti 'smong' itu. Smong dari bahasa Simuelue, seumong Aceh pada umumnya, dan semong yang ada di KBBI," sebutnya.

Menurut Herman, pada KBBI Edisi IV, juga terdapat kesalahan dalam pengutipan bahasa daerah Aceh. Kata dayah yang artinya 'pesantren' , menjadi 'seorang ibu yang sudah lama ditinggalkan anak'. Namun, pada edisi V, kesalahan tersebut sudah direvisi.

"Kita menyarankan agar hal ini diluruskan. Kita berupaya bagaimana pihak Balai Bahasa Aceh, meluruskan kembali hal tersebut," pinta dia.

Kata Herman, tidak menutup kemungkinan, penulisan kata smong menjadi semong sudah berdasarkan kesepakatan pakar bahasa. Bisa jadi, pihak Balai Bahasa dan Badan Bahasa sepakat menyeleraskan ejaan, karena Indonesia tidak lazim menggunakan konsonan rangkap 'sm'.

"Itu bisa jadi juga. Sehingga disesuaikan dengan pelafazan orang Indonesia pada umumnya, jadi tidak diucap smong, tapi semong," ucapnya menjelaskan. 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya