Liputan6.com, Yogyakarta - Bisnis bukan sekadar berdagang. Pola pikir itu yang harus ditanamkan kepada para pelaku usaha.
Tidak sedikit orang yang sudah memulai usaha tetapi hanya sebatas mencari keuntungan tanpa berpikir soal keberlanjutannya. Di Yogyakarta, ada sebuah ruang kerja bersama atau coworking space yang menjadi solusi bagi orang-orang saat kesulitan menjalankan usahanya.
Namanya, Rumah Kreatif Jogja (RKJ). Berlokasi di Sagan Yogyakarta, RKJ dibuka sejak dua tahun lalu untuk memfasilitasi para pelaku usaha yang ingin menjalankan bisnisnya dengan tepat dan cermat.
Advertisement
Baca Juga
Keberadaan RKJ tidak lepas dari instruksi Menteri BUMN yang mengharuskan setiap BUMN membangun Rumah Kreatif BUMN (RKB) di setiap kota dan kabupaten se-Indonesia. RKB di kota Yogyakarta difasilitasi oleh BRI dan fokus pada pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
RKJ juga memiliki keistimewaan jika dibandingkan RKB lainnya. Seharusnya keanggotaannya berdasarkan domisili di KTP.
"Khusus di RKJ, keanggotaannya nasional jadi siapa saja bisa menjadi anggota di sini," ujar Bio Hadikesuma, Direktur Program Inkubasi RKJ, kepada Liputan6.com, Kamis (10/1/2019).
Jumlah anggota RKJ yang terdaftar di portal kementerian rkb.id sebanyak 43.800, sedangkan anggota yang datang dan mendaftarkan diri secara langsung ke RKJ sejumlah 1.152 orang.
Selain itu RKJ juga memiliki program pelatihan. Anggota bisa memilih dan berkonsultasi sesuai kebutuhan bisnis mereka. Semua pelatihan gratis alias tidak dipungut biaya.
RKJ juga tidak sebatas menawarkan wacana, pendampingan yang dilakukan berkelanjutan, termasuk membantu memetakan persoalan bisnis dan mencari solusinya. RKJ buka setiap Senin sampai Sabtu mulai pukul 08.00 sampai 22.00 WIB.
Pengajar di RKJ Harus Pelaku Usaha
Dalam satu bulan, setidaknya ada 25 pelatihan yang diadakan dan diampu 10 tutor di RKJ. Kebanyakan pelatihan berkisar seputar manajemen dan promosi bisnis.
"Kami mengajarkan cara berjualan, bukan membuat sebuah produk atau kerajinan," ucap Bio.
Lebih dari sekadar inkubator bisnis, RKJ lebih tepat disebut sebagai business enabler.
Jadi, pelaku usaha dapat berdiskusi dan mengeksekusi sebuah bisnis secara bersama-sama dengan anggota lainnya, tanpa merasa menjadi kompetitor.
"Misal satu pelaku usaha kesulitan mencari tukang sablon untuk produknya, ternyata di RKJ ada anggota yang bergerak di bidang sablon, bisa saja mereka bekerja sama," tuturnya.
RKJ juga menetapkan syarat ketat untuk pengajarnya. Para tutor dari beragam latar belakang profesi, misal media massa, desain, dan sebagainya, harus memiliki usaha atau bisnis yang sedang dijalani.
Advertisement
Beda Pelaku Usaha dengan Pebisnis
Selama berkecimpung di RKJ, Bio mendapati kesalahan pertama yang kerap dilakukan pelaku usaha adalah bikin produk berdasarkan kemauan sendiri dan bukan berdasarkan permintaan pasar.
"Bisnis itu solusi, logika, dan angka, praktik di lapangan, pengen bikin ini nih tapi dia ga tau siapa yang butuh, dia ga tau pasar," kata Bio.
Menurutnya, masalah terbesar UMKM adalah Pemasaran. Ketika Pemasaran tidak berjalan dengan baik, stok barang bertambah, tetapi tidak berputar, sehingga modal tidak ada.
RKJ menekankan pada pemasaran permodalan, teknologi, dan pengetahuan bisnis. Ia menyebutkan 22 persen penduduk Indonesia adalah pelaku usaha, akan tetapi kurang dari satu persen yang menjadi pebisnis.
Bio menjelaskan perbedaan signifikan pebisnis dan pelaku usaha adalah ketika meninggalkan bisnis itu selama satu atau bulan. Bisnis akan tetap berjalan sekalipun tidak dipegang secara langsung oleh pebisnisnya, namun hal itu tidak berlaku bagi pelaku usaha.
"Ketika sebuah usaha ditinggal sementara oleh pelakunya dan tidak bisa berjalan maka ia belum bisa disebut pebisnis, jadi bisnis butuh keberlanjutan," ucapnya.
Menentukan segmen pasar berarti membutuhkan kemampuan analisis yang baik dari sebuah produk yang dijalankan. Ia mencontohkan salah satu dampingannya pernah menjual bakso sehat di Yogyakarta. Harganya tinggi dan tidak laku di Yogyakarta.
Bio menyarankan dengan segala pertimbangan untuk memasarkan bakso sehat itu di Jakarta. Hasilnya, omzet pelaku usaha itu bisa mencapai Rp 15 juta per bulan, bahkan kini menembus Rp 28 juta per bulan.
"Artinya apa? Kita perlu tahu karakter pasar, siapa yang peduli kesehatan?," ujar Bio.
Ia menganalisis, biasanya orang kota besar yang membutuhkan itu, sementara di Yogyakarta, orang datang dan makan sesuka hati. Orang kota besar juga cenderung tidak memperhitungkan harga karena kondisi jalan yang macet sehingga mereka menginginkan kepraktisan untuk mendapatkan sesuatu.
Saksaikan video pilihan berikut ini: