Seni Baduwi, Sebuah Persepsi tentang Orang-Orang Baduy di Timur Tengah

Orang-orang Baduy yang sering muncul dalam cerita Abunawas atau 1001 Malam, dipersepsikan melalui gerak tari dan lagu oleh masyarakat.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 09 Jan 2021, 18:45 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2019, 16:00 WIB
baduwi
Bagi masyarakat urban, mungkin kostum seni Baduwi dari Magelang ini terkesan norak, namun jika melihat saat mereka menari akan menyatu dengan gerkan maupun lagunya. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Magelang - Dideklarasikan dengan nama kesenian rakyat baduwi, sesungguhnya inilah tafsir masyarakat kaki Gunung Merapi tentang peradaban baduy seperti yang disajikan dalam dongeng 1001 malam. Lebih tepatnya kisah-kisah Abunawas yang sering menyebut orang-orang baduy.

Persepsi tentang orang-orang baduy Timur Tengah ini digambarkan secara sederhana melalui kostumnya. Terutama kekhususan ada pada tutup kepala atau kuluk raja-raja Jawa, namun dimodifikasi dengan menambahkan tali, sehingga seperti tutup kepala dalam gambar-gambar Abunawas. Persepsi masyarakat ini tak keliru, karena hanya penggambaran saja, tapi secara substansi lebih ke tujuan seni pertunjukan ini sebagai media dakwah.

Seni baduwi merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai media dakwah. Dengan gerakan tari yang cenderung monoton, ini adalah pengembangan atau improvisasi dari seni rakyat Kobra Siswa.

Memperingati milad ke 77 Pondok Pesantren Al Iman di Dusun Patosan, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, disajikan aneka kesenian rakyat. Salah satunya adalah seni baduwi.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Iman, Ustaz Dr Muhammad Zuhaery MA menyebutkan, penyajian ini sebenarnya hanya menyajikan sisi paling luar dari sebuah kebudayaan yang berpuncak pada keindahan. Pertunjukan baduwi sebagai salah satu yang terpilih mewakili kesenian rakyat lokal, bertujuan menjadi penegas bahwa Islam mengajarkan keindahan dan kelembutan.

"Jujur, kemarin kita sangat terkejut mendengar kabar penembakan umat muslim di New Zealand. Meski sudah direncanakan jauh hari, namun kesenian ini sekaligus menjadi penegas bahwa Islam itu mengajarkan keindahan, kelembutan. Juga kesenian rakyat lokal mengajarkan hal yang sama," kata Ustaz Eri, sahabat akrab mubaligh dan penyanyi Opick.

 

Adaptasi Kobra Siswa

baduwi
Formasi pelantun lagu biasanya empat hingga lima orang namun dengan gaya unisono dan satu orang solis. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Diakui bahwa masuknya seni budaya di pondok pesantren masih ada yang menyalahpahami sebagai bentuk akomodasi terhadap hal yang haram. Ustaz Eri menyebut bahwa dalam Islam, keindahan menjadi salah satu yang diajarkan.

"Dari keindahan menjelma menjadi kelembutan, kemudian kepekaan bersikap. Jika memiliki hati yang peka, insya Allah perilaku juga akan santun dan lembut. Puncaknya adalah kehalusan budi yang menjadi sebuah nilai," kata Ustaz Eri.

Seni baduwi, secara umum bisa digambarkan berurutan. Diawali dari lantunan lagu selamat datang dan salam secara islami. Ilustrasi musik berbeda dengan seni rakyat kobra siswa yang didominasi bunyi bedug dan perkusi yang ritmis, seni baduwi sudah diperkaya dengan peralatan musik diatonis yang modern.

Ada lead gitar, rhytem, bass, flute, ketipung, kendang tradisional, dan juga drum. Tempo semua lagu nyaris sama. Notasi lagu, mayoritas menggunakan notasi lagu-lagu nasional seperti "Dari Sabang Sampai Merauke" hingga "Maju Tak Gentar". Tentu saja dengan lyrik yang sudah dimodifikasi berisi ajakan berbuat baik dan mengerjakan ritual agama, dalam hal ini Islam.

Simak video pilihan berikut:

 

Monoton

baduwi
Pembeda utama dengan seni rakyat Kobra Siswa adalah dalam perangkat musik yang sudah dipadu dengan alat musik diatonis modern. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Usai lagu selamat datang dan salam serta penghormatan kepada tamu dan tuan rumah, para penari yang disebut rodat berbaris dua berbanjar, para penari bergerak serempak mengikuti tempo lagu. Gerakan juga mirip dengan kobra siswa.

Kaki menghentak, tangan mengayun. Variasi lebih banyak dilakukan pada gesture tubuh. Mulai dari membungkuk, miring, hingga bersilangan dengan penari lain yang ada di hadapannya.

Saat ini seni baduwi belum berkembang semasif seni jatilan, kobra siswa, kobra dangdut (brodut), atau ndayakan (topeng ireng). Hanya ada beberapa kelompok saja yang setia mengembangkan varian kobra siswa sebagai induk pertunjukan.

Ustaz Zuhaery MA menemani Marjo, sosok kurang waras yang dicintai warga kota Muntilan (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

"Prinsip utama dalam syiar agama adalah syiar nilai. Nah bungkusnya bisa apa saja, bisa seni, pertunjukan, ceramah, hingga perilaku. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Seperti Wali Songo dahulu," kata ustaz Eri.

Itulah sebabnya Pondok Pesantren Al Iman ini oleh banyak kalangan dikenal sebagai pondok seni budaya karena juga mengajarkan Teater, Musik, Jatilan, dan lain-lain.

"Ada juga topeng ireng, Jatilan Soreng atau Sorengan yang kita tampilkan. Sebenarnya budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke. Dan kami memilih penyajian utuh karena santri kami juga banyak dari kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua," kata Ustaz Eri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya