Saat Komisioner KPU RI Berharap Pemilu Serentak yang Pertama dan Terakhir

Lima kertas surat suara diberikan langsung kepada pemilih sampai muncul pendapat pemilu ini merupakan pemilihan terumit di dunia.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 28 Apr 2019, 00:01 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2019, 00:01 WIB
Curhat Komisioner KPU
Komisioner KPU RI membagi pengalamannya dalam menyelenggarakan pemilu serentak kepada mahasiswa dan akdemisi di UGM (LIputan6.com/ switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Pemilu 2019 telah mengukir sejarah pemilu di Indonesia melalui pemilu serentak. Lima kertas surat suara diberikan langsung kepada pemilih sampai muncul pendapat pemilu ini merupakan pemilihan terumit di dunia.

"Menurut saya, pemilu serentak semacam ini untuk pertama kalinya dan cukup sekali ini saja," ujar Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner KPU RI memulai perbincangannya dalam sarasehan refleksi pemilu bertajuk Mengulik Dinamika Pemilu 2019 di Digilib Cafe Fisipol UGM, Jumat (26/4/2019).

Ia menilai penyelenggaraan pemilu serentak 2019 sudah melebihi batas kemampuan manusia Indonesia. Secara fisik, pemilu serentak mengakibatkan 255 petugas KPPS meninggal dan1.470 petugas KPPS sakit. Kemungkinan, jumlah ini bisa bertambah.

Di sela-sela sarasehan, ia juga mengajak hadirin untuk berdoa bersama-sama, mendoakan petugas KPPS yang meninggal. KPU juga mengupayakan pemberian santunan.

"Sebenarnya saya tidak tega kalau berbicara seperti ini," tutur Pramono.

Ia berpendapat teknis penyelenggaraan pemilu serentak yang memicu jatuhnya petugas KPPS sebagai korban. Pemilu dengan lima surat suara sekaligus membuat petugas KPPS membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan proses pemungutan dan penghitungan suara, termasuk menyalin dari plano ke C1 kuarto.

Pramono membandingkan pada Pemilu 2014 menerapkan empat surat suara dan  sebagian besar TPS menyelesaikan proses melewati waktu tengah malam. Jadi, secara otomatis waktu yang jauh lebih panjang dibutuhkan untuk pemilu kali ini.

Ia menyebutkan dalam pemilu kali ini KPU mengurangi jumlah maksimal pemilih per TPS dari 500 menjadi 300 orang menjadi 300. Akibatnya, jumlah TPS dan anggaran membengkak.

"Banyak petugas yang akhirnya tidak sanggup secara fisik, proses penghitungan suara pemilu harus selesai hari itu dan menunggu pun dalam keadaan tegang," kata Pramono.

Aturan yang Mengikat

Curhat Komisioner KPU
Komisioner KPU RI membagi pengalamannya dalam menyelenggarakan pemilu serentak kepada mahasiswa dan akdemisi di UGM (LIputan6.com/ switzy Sabandar)

Bukan tanpa sebab mereka harus menyelesaikan proses pemilihan suara dari pemungutan sampai penghitungan di hari yang sama. Pramono mengungkapkan latar penyelenggaraan pemilu tahun ini adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Putusan MK Nomor 14/PUU-IX/2013.

Menurut Pramono, dari desain pemilu serentak ada beberapa klausul regulasi yang implikasi teknisnya di luar perkiraan.

Ia mencontohkan Pasal 383 (2) menyebutkan penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS yang bersangkutan pada hari pemungutan suara, ada pula Putusan MK Nomor 20 Tahun 2019 yang intinya bisa memperpanjang waktu penghitungan suara 12 jam namun tanpa jeda.

Selain kesulitan petugas KPPS dalam penghitungan suara, Pramono menuturkan pemilu serentak kali ini juga melahirkan tumpang tindih eksekutif legislatif dan isu lokal nasional.

Isu pilpres yang mendominasi juga membuat caleg sulit mengkampanyekan diri, pemilih kesulitan mengenal profil serta visi misi partai dan caleg, dan pemilih sulit menjatuhkan pilihan.

Masalah lain yang dihadapi adalah KPU menjadi sasaran hoaks. Mafindo mencatat sampai 9 April 2019 terdapat 24 hoaks yang menyerang KPU.

Bentuk hoaks ada dua macam, disinformasi yang mengabarkan fakta dan fitnah. "KPU sudah mengambil langkah klarifikasi dan langkah hukum," ucap Pramono.

Solusi Teknis Penyelenggaraan Pemilu yang Lebih Baik

Curhat Komisioner KPU RI
Komisioner KPU RI membagi pengalamannya dalam menyelenggarakan pemilu serentak kepada mahasiswa dan akdemisi di UGM (LIputan6.com/ switzy Sabandar)

Pramono menyebutkan sejumlah solusi sebagai strategi untuk pelaksanaan pemilu yang lebih baik. Ia berpendapat mengurangi jumlah suara yang dicoblos dalam satu hari pemilihan bisa menjadi salah satu strategi.

"Memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal, misalnya," ujarnya.

Kedua, mengurangi waktu yang diperlukan pemilih ketika mencoblos di TPS dan mengurangi waktu bagi KPPS dalam menghitung surat suara. Ini bisa dilakukan lewat sistem proporsional daftar tertutup.

Artinya, ketika memilih caleg cukup mencoblos partai saja, bukan mencoblos nama. Bagi pemilih ini memudahkan, walaupun mungkin bagi caleg justru mempersulit karena mereka bergantung kepada pembagian kursi di partai.

"Bagi pemilih ini bisa mengembalikan kepercayaan kepada partai," kata Pramono.

Solusi ketiga yang ditawarkan adalah mengurangi peredaran hoaks dengan menurunkan presidential threshold sehingga memungkinkan muncul paslon lebih banyak. Menurutnya, hoaks pasti selalu ada, akan tetapi cara ini bisa meminimalkan pembelahan kubu di masyarakat.

Terakhir, memangkas waktu rekapitulasi dengan mengadopsi e-rekapitulasi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya