Liputan6.com, Yogyakarta - Data mengungkap, pada 2011 terdapat 1,4 juta anak di bawah 15 tahun di seluruh dunia masuk dalam kriteria International Classification of Dieases (ICD-10) untuk kebutaan ireversibel, dengan ketajaman penglihatan lebih rendah dan 20/400 atau 10 tingkat di bawah jarak pandang mata normal.
Data dari Riskesdas tahun 2013 juga mencatat, jumlah penderita tunanetra untuk anak-anak usia 6–14 tahun di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, meningkat dua kali lipat dari data tahun 2010. Hal ini jelas perlu ditanggapi dengan serius mengingat anak-anak perlu mendapat banyak jenis asupan informasi untuk mengasah daya kreativitas mereka.
Salah satu sumber informasi yang banyak diperoleh oleh tunanetra salah satunya lewat peran buku braille. Braille atau huruf braille merupakan sebuah sistem tulisan sentuh dimana setiap huruf dan nomor alfabet diwakili oleh simbol rabaan yang unik. Namun untuk beberapa kasus penggunaan braille masih menemui kendala.
Advertisement
Kurangnya ketersediaan jenis buku-buku versi braille menghabat keterjangkauan mereka pada jenis buku dengan berbagai macam tema. Instruksi berbasis teknologi dengan memanfaatkan kompensasi indera lain yang masih berfungsi, seperti indera pendengaran, dinilai sangat efektif.
Berangkat dari masalah tersebut, tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, yakni Yassir Dinhaz dari Sekolah Vokasi, bersama-sama dengan Mahmud Fauzi dan Nicolas Christianto dari Fakultas Teknik, berkolaborasi untuk menciptakan perangkat yang mampu mengolah teks dalam media cetak menjadi keluaran suara bernama BR-BLIND.
Perangkat BR-BLIND ini langsung terhubung dengan tunanetra dan mampu menfasilitasi mereka untuk dapat mengakses informasi yang tidak mereka peroleh dari buku-buku versi braille.
Perangkat ini menggunakan beberapa algoritma Image Preprocessing sebelum dikonversi menjadi teks oleh OCR (Object Character Recognition). Keluaran teks akan diubah menjadi keluaran suara oleh TTS (Text-to-Speech) Engine. Selain itu, pemakaian alat yang dapat diakses tanpa menggunakan koneksi internet dinilai potensial untuk dikembangkan khususnya pada daerah-daerah remote dimana internet sangat sulit untuk diakses.
Perangkat ini juga didukung oleh skema desain yang ramah disabilitas sehingga mampu meningkatkan independent accessibility dan menekan tingkat dependency on help bagi para penggunannya. (Nicolas/ Mahasiswa UGM 2017)
Â
Â