Gunung Tangkuban Parahu, Antara Legenda Sangkuriang dan Erupsi

Karena kuatnya cerita Sangkuriang, ada banyak penulis yang menuliskan kisah ini. Salah satu di antaranya ialah Utuy Tatang Sontani, sastrawan asal Cianjur, Jawa Barat.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 27 Jul 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2019, 06:00 WIB
Kawah Tangkuban Parahu
Kawah Tangkuban Parahu (sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Bandung Gunung Tangkuban Parahu sejak lama dikenal sebagai obyek wisata dengan pemandangan yang sangat indah. Lokasi ini jadi salah satu destinasi wajib wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung.

Berada di Cikole, Lembang yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Subang, Gunung Tangkuban Parahu juga menjadi simbol dari cerita rakyat nusantara bertajuk Sangkuriang.

Ya, asal usul Gunung Tangkuban Perahu tidak bisa dilepaskan dengan legenda Sangkuriang, sebuah kisah cinta terlarang antara anak kepada ibunya, Dayang Sumbi.

Alkisah, hiduplah seorang anak bernama Sangkuriang yang gemar berburu di hutan. Pada suatu waktu dia pergi menghilang ke hutan untuk mencari tahu siapa ayahnya.

Sangkuriang kemudian kembali. Dayang Sumbi lalu bercerita, bahwa dirinya adalah ibunya, sementara ayahnya adalah situmang (seekor anjing). Tak terima kenyataan, Sangkuriang yang berteman dengan siluman mengaku bahwa ia mencintai Dayang Sumbi dan ingin memperistrinya.

Dayang Sumbi yang sebenarnya ibunda Sangkuriang bingung dan akhirnya memberi syarat kepada Sangkuriang untuk membuat danau dan perahu yang harus diselesaikan sebelum fajar terbit. Tentu syarat itu hanya akal-akalan Dayang Sumbi agar tidak menikah dengan putranya sendiri.

Namun, saat semua syarat hampir terpenuhi, Dayang Sumbi ditolong koleganya membakar hutan agar suasana malam itu mirip dengan situasi fajar. Melihat cahaya terang, Sangkuriang murka hingga menendang perahu yang hampir beres itu hingga terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

Demikian cerita Sangkuriang yang melegenda. Bukan hanya warga Jawa Barat, namun cerita tersebut sudah menjadi salah satu dongeng wajib bagi anak-anak yang dikisahkan guru di depan kelas.

Lebih jauh bernostalgia, legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis legenda Sangkuriang sendiri ada pada Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15.

Karena kuatnya cerita Sangkuriang, ada banyak penulis yang menuliskan kisah ini. Salah satu di antaranya ialah Utuy Tatang Sontani, sastrawan asal Cianjur, Jawa Barat.

Utuy menuliskan kisah berjudul Sang Kuriang, terbitan Balai Pustaka. Selain itu, karya Utuy juga sering dipakai dalam pementasan opera.

 

 

Simak video pilihan berikut ini

Mengenal Erupsi Gunung Tangkuban Parahu

Gunung Tangkuban Parahu
Pemerintah daerah setempat telah menutup Kawasan Wisata Gunung Tangkuban Parahu pascaerupsi pada Jumat sore ini (26/7) pukul 15.48 Wib. (Dok Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB)

Meski menyimpan cerita menarik, Gunung Tangkuban Parahu juga punya aktivitas vulkanik sebagaimana gunung api lainnya di Indonesia.

Salah satunya terekam tepat pada Jumat (26/7/2019), pukul 15.48 WIB. Gunung yang dikenal sebagai tempat wisata itu erupsi dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 200 meter di atas puncak atau sekitar 2.284 meter di atas permukaan laut.

Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Badan Geologi, Hendra Gunawan mengatakan, secara umum tipikal erupsi Gunung Tangkuban Parahu adalah freatik berupa semburan lumpur dingin warna hitam dari Kawah Ratu.

Sebelumnya, kata dia, erupsi terjadi pada Oktober 2013 dengan landaan erupsi hanya di dalam lubang kawah.

"Sejak tahun 2017, 2018, 2019 pada bulan Juni-Juli terpantau gempa uap air/asap yg diduga disebabkan berkurangnya air tanah akibat perubahan musim, sehingga air tanah yg ada mudah terpanaskan, dan sifatnya erupsi pendek," kata Hendra.

Oleh karena itu, sejak 10 hari yang lalu PVG melalui pos menyampaikan peringatan kepada pengelola  kawasan untuk meningkatkan kesiapsiagaan kemungkinan erupsi seperti yang terjadi pada Oktober 2013, dan diikuti surat peringatan kemungkinan bisa erupsi tiba-tiba.

Sedangkan radius aman erupsi, kata dia, seperti halnya freatik pada Oktober 2013 adalah tidak mendekat kawah atau kurang lebih 500 m (radius bibir kawah 400 m).

Menurut Hendra, erupsi susulan dapat saja terjadi dengan potensi landaan masih di sekitar dasar kawah. Namun tetap dasar utama yang menentukan adalah data yang terekam saat ini.

"Karena dasar dari peningkatan status adalah tingkat ancaman, dan saat ini tingkat ancaman masih di dalam kawah, sehingga belum perlu naik status, kecuali ke depannya ada potensi radius landaan yg membesar," ujarnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya