KabarPapua.co, Jayapura - Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Apolo Safanpo, menanggapi soal kepulangan mahasiswa Papua dari sejumlah kota studi. Â
Ia menyebutkan tak mudah memindahkan mahasiswa yang studi di luar Papua, untuk langsung bergabung dengan perguruan tinggi tanah Papua.
Apolo menyebutkan ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, jika seorang mahasiswa ingin pindah dari satu kampus ke kampus lainnya. Persyaratan ini tak hanya berlaku di Papua, namun sudah menjadi keputusan dan aturan secara nasional.
Advertisement
Saat ini, kepulangan ratusan mahasiswa Papua ke kampung halamannya, disoroti secara serius oleh Rektor Uncen. Ia berharap kepulangan mahasiswa Papua dari sejumlah kota studi di Indonesia harus dipertimbangkan lagi.
Baca Juga
"Apabila alasan memulangkan mahasiswa Papua karena keamanan dan mahasiswa merasa tak nyaman, sebaiknya pemerintah atau siapapun bisa langsung berkoordinasi dengan Kapolda Papua dan nantinya Kapolda akan koordinasi dengan polda-polda di tempat anak Papua menimba ilmu, agar ada jaminan keamanan dan anak kita bisa kuliah dengan baik," ujar Apolo.
Dirinya menambahkan, jika mengharuskan mahasiswa Papua kembali pulang, maka harus dapat dipastikan mahasiswa ini akan melanjutkan kuliah di mana.
"Ini kan sudah dalam proses belajar. Jika dalam satu semester tak kuliah, maka pihak kampus akan memberikan surat peringatan. Lalu, jika dalam dua semester berturut-turut tak kuliah, maka mahasiswanya langsung dianggap drop out (DO)," ujarnya.
Rektor Uncen mengaku saat ini kapasitas Uncen sudah kelebihan muatan. Tahun ajaran baru 2019, terdapat  12.800 ribu calon mahasiswa yang melamar ke Uncen. Lalu, dalam seleksinya, Uncen hanya mampu menampung 6.000-an. Padahal daya tampung siswa baru di Uncen hanya 4.000-an orang.
 "Tahun ini, kami terpaksa membuka lebih kelas baru, karena lebih banyak mahasiswa Papua yang mendaftar. Kini, Uncen memiliki daya tampung terbatas dan tenaga dosen yang juga terbatas. Ini harus dipahami bersama," katanya.
Tidak Bisa Sembarangan
Rektor Uncen juga menyebutkan hal lainnya yang harus diketahui soal kepulangan mahasiswa Papua adalah, terbatasnya jurusan kuliah di Papua.
Termasuk akreditasi program studi pada perguruan tinggi yang akan menjadi tujuan pemindahan mahasiswa, harus sama atau lebih tinggi dari kampus asalnya.
"Perlu juga diingat, bahwa tak sembarang bisa masuk perguruan tinggi negeri, karena proses seleksi dilakukan secara nasional," ujar Apolo.
Apolo melanjutkan, dalam pemindahan mahasiswa antar perguruan tinggi di Indonesia, ia tetap akan dilihat tahun angkatannya, apakah sesuai atau tidak dan apakah bisa mendapat ijin akses pada Pusdatin Kemeristek Dikti, untuk dimasukan data pada perguruan tujuan.
"Pendataan ini kan semua dilakukan online, sehingga segalanya akan menjadi transparan," ucapnya.
Ia meminta semua pihak duduk bersama, antara Gubernur Papua dan Papua Barat termasuk dari perguruan tinggi, DPR kedua provinsi, serta MRP untuk mempertimbangkan bersama, berdialog mencari jalan keluar dan solusi terbaik untuk mahasiswa yang sudah terlanjur pulang ke Papua.
"Jika masalah ini tak langsung diselesaikan, akan menimbulkan masalah sosial baru bagi pemerintah dan perguruan tinggi yang ada di Papua dan Papua Barat," jelasnya.
Advertisement
Bukan Kampus Penyelamat
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Isak Rumbarar yang ikut hadir dalam pertemuan di Polda Papua menyebutkan, aturan yang akan diterapkan USTJ akan sama yang diterapkan oleh Uncen atau perguruan tinggi dimanapun bersama, terkait pemindahan seorang mahasiswa dari satu perguruan tinggi ke perguruan tinggi lainnya.
"Ada sejumlah data dan syarat yang harus dikonversi dan sebagainya, sesuai dengan aturan secara nasional. Tak mungkin USTJ akan menerima ratusan mahasiswa sekaligus saat ini, apalagi proses pembelajaran sedang berlangsung," kata Isak.
Isak mengakui syarat lain yang harus diperhatikan dalam pemindahan mahasiswa adalah harus dilihat rekam jejak pendidikannya selama menempuh pendidikan di kota studi asal.
"Artinya begini, jika si mahasiswa dalam menempuh pendidikan di kampus asalnya kurang betul, bukan berarti dia kembali ke Papua dan kampus di sini (kampus di Papua) berfungsi sebagai kampus penyelamat, cara ini tak boleh dan akan bertentangan dengan Dikti.
Isak mengklaim USTJ sangat kecil kemungkinan akan menerima banyaknya mahasiswa saat ini pulang ke Papua. "Kemungkinan itu bisa saja ada, tak lebih dari 10-20 orang, USTJ juga tak bisa menampung lagi," tuturnya. Â